Solusi Profesional Layanan Jasa Hukum Untuk Masyarakat

Jumat, 31 Maret 2023

PENGACARA WILSON COLLING MENYOROTI: TINDAKAN KEKERASAN OLEH OKNUM POLISI POLRES HALTIM TERHADAP WARGA DUSUN TUKUR-TUKUR DESA DODAGA, HARUS TINDAK TEGAS











--------------------------------------------------------------------
Oleh: Wilson Colling 


JAKARTA, WCALAWFIRM ~ Salah satu Wakil Ketua Dewan Pimpinan Cabang (DPC) Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi-RBA) Jakarta Pusat, Pengacara Wilson Colling, S.H, M.H, menyoroti  tindakan kekerasan oleh Oknum polisi Polres Halmahera Timur (Haltim) terhadap warga Dusun Tukur-Tukur Desa Dodaga (Suku Togutil) Kecamatan Wasilei, terkait peristiwa pembunuhan yang terjadi di Desa Gotowasi, Kabupaten Halmahera Timur, Maluku Utara—. Tindakan polisi menyiksa seseorang untuk mendapatkan bukti barang atau untuk pengakuan tidak dibenarkan dengan alasan apapun. Selain melawan hak asasi manusia, mencari informasi dengan cara semacam itu hanya menunjukkan rendahnya profesionalisme mereka. Kekerasan polisi selama interogasi harus dihentikan - terlepas dari orang tersebut terindikasi melakukan kejahatan harus menghormati prinsip asas praduga tak bersalah. Jumat (31/3/2023)

Sayangnya, praktik kekerasan oleh polisi terus terjadi. Yang terbaru, pada tanggal 22/3/2023, anggota Kepolisian Polres Halmahera Timur (Haltim), Provinsi Maluku Utara ditengarai melakukan kekerasan saat menangkap Masyarakat Adat Suku Togutil, Tobelo Dalam, Alen Baikole (polisi beri inisial AB), warga asli suku Togutil. Dia ditangkap di tempat kerjanya, di Subaim. Alen diduga mengalami penyiksaan saat penangkapan atau interogasi. Luka memar di wajah Alen terlihat dari pemukulan saat interogasi. Alen juga mengeluhkan sakit pada bagian dada dan seluruh tubuh akibat tendang tersebut. Tangan Alen juga dingin ke kursi selama proses interogasi.

Masalah menjadi serius ketika Penyidik ​​Menekan dan memaksa Y istri Alen, untuk mengakui bahwa Alen yang telah melakukan pembunuhan. Y meyakinkan penyelidik bahwa Alen tidak melakukan pembunuhan karena saat kejadian Alen bersama istri Y. Dengan nada mengancam polisi akan memenjarakan Y selama tujuh tahun, polisi memaksanya untuk membenarkan tuduhan tersebut. [dikutip dari berita:https://www.mongabay.co.id/2023/03/28/was-was-stigma-pembunuh-warga-adat-tobelo-dalam-di-dodaga-protes-tindakan-polisi/]

"Wilson Colling, menyayangkan dan mengutuk keras atas sikap dan tindakan oknum polisi Polres Halmahera Timur, atas tindakan main hakim sendiri terhadap warga Dusun Tukur-Tukur Desa Dodaga. Padahal Polisi sebenarnya secara internal memiliki aturan untuk mencegah penyiksaan berulang. Salah satunya adalah Peraturan Kapolri Nomor 8 Tahun 2009. Dalam peraturan ini, saat bertugas, polisi diwajibkan untuk menjunjung norma tinggi dan aturan yang berlaku. Polisi dilarang untuk melakukan kekerasan saat bertugas, kecuali untuk mencegah kejahatan." 

Larangan ini tertuang dalam Pasal 10 huruf (c ) Peraturan Kapolri (Perkap) Nomor 8 tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia Dalam Penyelenggaraan Tugas Polri.

Secara garis besar, Pasal 10 huruf (c) Perkap ini berbunyi, “dalam melaksanakan tugas penegakan hukum, setiap mandat/anggota Polri wajib mematuhi ketentuan perilaku (code of conduct), yaitu tidak boleh menggunakan kekerasan, kecuali dibutuhkan untuk mencegah kejahatan, membantu melakukan penangkapan terhadap pelanggaran hukum atau penangkapan sesuai dengan peraturan menggunakan kekerasan"

Larangan melakukan kekerasan saat bertugas juga tertuang dalam Perkap yang sama, Yakni pada Pasal 11 ayat (1) huruf (j), Pasal 24 huruf (b), Pasal 27 Ayat (2) huruf (h), dan Pasal 44.

Dalam perkap ini disebut tidak ada gunanya atau alasan apapun yang diperbolehkan untuk menggunakan kekerasan yang tidak berdasarkan hukum.

Polisi yang melakukan tindakan pelanggaran HAM wajib mempertanggungjawabkan sesuai dengan kode etik profesi kepolisian, disiplin dan hukum yang berlaku. Sanksi ini tertuang dalam Peraturan Kapolri (Perkap) Nomor 14 Tahun 2011 tentang Kode Etik Profesi Kepolisian Republik Indonesia. 

Perkap Nomor 14 ini juga mengatur tentang larangan melakukan kekerasan saat polisi bertugas. Dalam Pasal 13 Ayat (1) huruf (e) tertulis, “Setiap anggota Polri dilarang berperilaku kasar dan tidak patut.”

Sementara Pasal 15 huruf (e) berbunyi, “Setiap anggota Polri dilarang menilai, berucap dan bertindak sewenang-wenang.” 

Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Polri juga mengatur tentang polisi saat bertugas, yakni Pasal 14 huruf (i) dan Pasal 19. 

Pasal 14 huruf (i) berbunyi, “Dalam melaksanakan mandat pokok, Polri bertugas melindungi keselamatan jiwa raga, harta benda, masyarakat, dan lingkungan hidup dari gangguan tatanan dan/atau bencana termasuk memberikan bantuan dan pertolongan dengan menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia .”

Lanjut, Wilson Penyidik ​​​​​​​​kepolisian juga harus menyadari bahwa pengakuan tuduhan hanyalah salah satu alat bukti. Menurut KUHAP, klausa klausa bukanlah variabel terpenting dalam penyelesaian suatu masalah. Yang lebih penting adalah saksi dan dokumen lain yang membuktikan adanya kejahatan. Mereka harus mencari bukti lain untuk mendukung penyelidikan, bukan memaksa seseorang untuk mengaku."

Memaksa seseorang untuk mengaku melalui penyiksaan adalah perilaku resmi masa lalu yang harus ditolak. Cara ini justru bisa membuat polisi salah dalam mengidentifikasi tersangka. Orang-orang dipaksa untuk mengaku bersalah karena mereka tidak tahan dengan siksaan.

Menurut Wilson, cara-cara biadab dalam menginterogasi seseorang menunjukkan bahwa reformasi Polri mandek. Reformasi sudah berlangsung selama kurang lebih 20 tahun, namun polisi masih menggunakan cara-cara kuno untuk mendapatkan pengakuan. Pengetahuan mereka tentang hak asasi manusia masih terbatas.

Lebih buruk lagi: polisi tampaknya tidak menganggap serius penyiksaan. Tidak heran, hukuman yang diberikan kepada petugas polisi yang dihukum karena penyiksaan relatif ringan, bahkan ada yang tidak tunduk. 

Kekerasan polisi seringkali mengakibatkan cacat permanen, trauma bahkan ada yang kehilangan nyawa. 

Polisi harus menjamin hak-hak korban penyiksaan.Polisi seharusnya berkembang sedemikian rupa agar kekerasan tidak terulang kembali. Jika ingin tetap menjadi pengayom masyarakat, polisi harus meninggalkan tradisi bermain siksaan.

Berdasarkan deskripsi yuridis di atas, mohon kepada Kapolri, Kapolda Maluku Utara, untuk menindak tegas oknum polisi Polres Halmahera Timur, yang tidak profesional dalam menjalankan tugasnya, yang halal ini sangat berpotensi merusak Citra institusi Kepolisian.Oknum-oknum polisi yang jadi benalu dalam institusi harus dipangkas. (WCA)

______________________________________________

Referensi :

UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia diakses pada 31 Maret 2023

Perkap Nomor 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia dalam Penyelenggaraan Tugas Polri diakses pada 31 Maret 2023

Perkap Nomor 14 Tahun 2011 tentang Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia diakses pada 31 Maret 2023

Kutipan berita: diakses pada tanggal 30 Maret 2023, Judul berita: "Was-was Stigma Pembunuh, Warga Adat Tobelo Dalam di Dodaga Protes Tindakan Polisi" https://www.mongabay.co.id/2023/03/28/was- was-stigma-pembunuh-warga-adat-tobelo-dalam-di-dodaga-protes-tindakan-polisi/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar