Wikipedia

Hasil penelusuran

Selasa, 04 Agustus 2020

ADVOKAT WILSON COLLING ANGKAT BICARA PUTUSAN PENGADILAN NEGERI LABUHA TANPA PERINTAH PENAHANAN BISA DIEKSEKUSI, SURAT PUTUSAN PEMIDANAAN TIDAK BATAL DEMI HUKUM


WCALAWFIRM, - Wilson Colling,S.H., M.H., Merupakan salah satu advokat profesional meniti karir di DKI Jakarta mengatakan eksekusi putusan Pengadilan Negeri (PN) Labuha tanpa memuat status penahanan terhadap terdakwa Arther George Daeng alias Sors, surat putusan pemidanaan tidak batal demi hukum dengan sendirinya, Selasa (4/8/2020) 
Dalam keterangan yang kami himpun kejadian ini berawal dari pengerusakan dinding bangunan WC milik orang lain, namun menurut terdakwa dinding bangunan tersebut dibangun di atas tanah miliknya, yang terjadi di Desa Kawasi, Kecamatan Obi, Kabupaten Halmahera Selatan.

Hal tersebut Pengadilan Negeri Labuha pada 15 Juni 2020 telah memvonis Arther George Daeng , dengan hukuman penjara selama 5 (lima) bulan. Arther George Daeng dianggap telah melanggar Pasal 406 ayat (1) KUHP, dalam Putusan Perkara Nomor : 22/Pd. B/2020/PN.Lbh., dinyatakan pada diktum pertama dan diktum kedua mengadili : Dalam diktum pertama "menyatakan terdakwa Arter George Daeng alias Sors telah terbukti secara sah dan menyakinkan bersalah melakukan tindak pidana menghancurkan, membikin tak dapat dipakai barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian milik orang lain." 

Dalam diktum kedua dijelaskan bahwa " menjatuhkan pidana terhadap terdakwa Arther Goerge Daeng Alias Sors dengan pidana penjara selama 5 (lima) bulan." Dalam petikan putusan tidak disebutkannya perintah penahanan yang bersifat menghukum (menjatuhkan pidana) sehingga banyak pihak yang memberikan pendapat hukum mengklaim bahwa Surat Putusan tersebut batal demi hukum mengakibatkan (putusan tidak dapat) dieksekusi “Non Executable“. 



Hal itu timbul polemik mengusik rasa keadilan masyarakat, praktisi hukum serta Akademisi bidang hukum pidana, Kabupaten Halmahera Selatan, Provinsi Maluku Utara, mempertanyakan apa dasar hukum sehingga pihak jaksa dapat mengeksekusi Terdakwa? 

Wilson Colling, menyampaikan dasar klaim tersebut tidak terlepas dari pendapat-pendapat ahli hukum terkait masalah keabsahan yang tidak mencantumkan perintah penahanan sebagaimana diatur dalam Pasal 197 ayat (1) huruf “k” dan Pasal 2 KUHAP ("UU No. 8 Tahun 1981") Kitab Hukum Acara Pidana.

Menurut Pasal 197 ayat (1) huruf “k”, perintah supaya terdakwa ditahan atau tetap dalam tahanan atau dibebaskan. 

Sementara menurut Pasal 197 ayat (2) “Tidak dipenuhinya ketentuan dalam ayat (1) huruf a, b, c, e, f, h, j, k dan I pasal ini mengakibatkan putusan batal demi hukum.”  
Dimintai pendapat hukum dari Forum Komunikasi Hukum FKH OBI dan tokoh masyarakat terkait putusan tersebut, Wilson Colling dari perspektif hukum acara dan dalam praktiknya mengatakan. " Meskipun dalam Pasal 197 ayat (1) huruf k KUHAP ada ketentuan yang menyebutkan bahwa surat putusan pemidanaan harus memuat antara lain perintah supaya terdakwa ditahan, namun karena penahan itu menurut Pasal 1 butir 21 KUHAP harus dilakukan "menurut cara yang diatur dalam Undang-undang ini", maka apabila wewenang penahanan yang dimiliki Pengadilan Negeri/Pengadilan Tinggi sudah habis dipergunakan, maka Hakim Pengadilan Negeri/Pengadilan Tinggi tidak dapat memerintahkan "agar terdakwa ditahan" di dalam putusannya," bunyi SEMA 8/1985 mengatur mengenai tata cara penahanan terdakwa yang tidak tahan dalam proses penyidikan. 

Hal ini sudah dipraktikkan selama bertahun-tahun. Oleh karena itu, dalam proses penyidikan terdakwa tidak ditahan, sehingga membuat Majelis Hakim PN Labuha, dalam kutipan putusan tersebut tidak ada perintah terdakwa ditahan " Menimbang bahwa oleh karena Terdakwa tidak ditahan dan menurut pendapat tidak cukup alasan untuk menahan sebagaimana Pasal 21 KUHAP, maka Terdakwa tidak ditahan " Lantas, apa bunyi Pasal 21 tersebut? Pasal 21 KUHAP mengatur syarat memerintahkan penahanan apabila memenuhi syarat objektif dan subjektif penahanan. 

Pasal 21 tersebut melekat kepada aparat penegak hukum. Bunyi Pasal 21 ayat 1 berbunyi: Perintah penahanan atau penahanan lanjutan dilakukan terhadap seorang tersangka atau terdakwa yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti yang cukup, dalam hal adanya keadaan yang menimbulkan kekhawatiran bahwa tersangka atau terdakwa akan melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti dan atau mengulangi tindak pidana. 

Wilson atas dasar hukum di atas, maka dalam praktik peradilan yang berlaku, jarang ditemukan Pengadilan Negeri tiba-tiba menetapkan penahanan terdakwa yang sebelumnya tidak ditahan. Lanjut, Wilson dalam catatan kami masalah polemik eksekusi putusan tanpa memuat status penahanan bukan hal baru sudah sering terjadi dalam dunia peradilan kita, bukan saja terjadi pada Arther George Daeng, seperti contoh pernah heboh gara-gara masalah eksekusi putusan dalam kasus perambahan hutan di Kalimantan Selatan melalui Putusan PK No. 157 PK/Pid. Sus/2011 tanggal 16 September 2011. 
Pihak terdakwa melalui kuasa hukumnya seorang Profesor hukum terkemuka yang juga seorang Mantan Menteri Kehakiman dan Menteri Sekretaris Negara, Yusril Ihza Mahendra, menolak eksekusi dengan dalih tidak memenuhi syarat formal Pasal 197 ayat (1) huruf k KUHAP yakni tidak memuat perintah penahanan dalam putusan PK. 

Sekedar diketahui, Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan putusan pengadilan tidak wajib mencantumkan perintah ditahan, tetap dalam tahanan atau dibebaskan setelah menghapus huruf “K” dalam Pasal 197 ayat (2) KUHAP berdasarkan uji materi (Judicial Review) melalui Putusan Nomor 69/PUU-/2012 tentang pengujian Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Hukum Acara Pidana (KUHAP). Dengan dicabutnya ketentuan tersebut, maka redaksional Pasal 197 ayat (2) KUHAP selengkapnya berubah menjadi , “Tidak dipenuhinya ketentuan dalam ayat (1) huruf a, b, c, e, f, h, j, dan I pasal ini mengakibatkan putusan batal demi hukum”.

Jadi, jika surat putusan pemidanaan tidak memuat perintah supaya terdakwa ditahan atau dibebaskan, tidak mengakibatkan putusan batal demi hukum.  

Advokat WILSON COLLING, S.H., M.H. menjelaskan walaupun tidak wajib sejatinya hakim Pengadilan Negeri Labuha, dalam amar putusan pidana tetap perlu ada pernyataan bahwa terdakwa tersebut ditahan, tetap dalam tahanan, atau dibebaskan sebagai bagian dari klausula untuk menegaskan materi amar putusan lainnya, sehingga tidak menimbulkan kontroversi di kalangan masyarakat. 


Wilson colling, mengatakan ada atau tidaknya pernyataan tersebut tidak dapat dijadikan alasan untuk mengingkari kebenaran materil yang telah dinyatakan oleh hakim dalam amar putusan pada diktum pertama dan diktum kedua tersebut diatas, menyatakan bahwa terdakwa telah terbukti secara sah bersalah melakukan tindak pidana dan menjatuhkan pidana penjara selama 5 (lima) bulan. 

Dari argumen yang telah diuraikan maka, Wilson Colling, S.H., M.H. menyimpulkan, Pertama : harus dipahami bahwa suatu putusan pengadilan haruslah dinggap benar dan sah menurut hukum (res judicata pro veritate habetur) dan oleh karenanya mengikat secara hukum pula terhadap pihak yang dimaksud oleh putusan tersebut sebelum ada putusan pengadilan lain, Kedua : dalam praktinya sesuatu putusan yang mencederai rasa keadilan dan kepastian hukum bagi warga negara haruslah diuji melalui putusan pengadilan, tidak batal demi hukum dengan sendirinya, Ketiga : dalam putusan Mahkamah Konstitusi Surat Putusan pemidanaan tidak memuat perintah supaya terdakwa ditahan atau dibebaskan tidak mengakibatkan putusan batal demi hukum. 


Oleh karena itu, dapat saya katakan dengan dasar argumen dan Putusan (MK), teori serta asas hukum diatas terhadap putusan tidak memuat perintah supaya terdakwa ditahan atau dibebaskan tidak mengakibatkan putusan batal demi hukum.

Dan terhadap putusan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap pihak jaksa bisa melakukan eksekusi terhadap terpidana. Advokat Wilson Colling, S.H., M.H., menganjurkan kepada Pihak kuasa hukum atau keluarga terdakwa jika tidak puas dengan putusan tersebut, dalam rangka perlindungan terhadap hak asasi manusia, prinsip negara hukum memberi peluang untuk melakukan upaya hukum berupa perlawanan banding atau kasasi terhadap putusan pengadilan negeri hingga melakukan pengawasan dan pengamatan guna memperoleh kepastian bahwa putusan pengadilan dilaksanakan sebagaimana mestinya.

Namun dalam perkara ini dilihat dari ancaman pidananya dibawah 1 (satu) tahun sehingga tidak dapat melakukan upaya hukum kasasi sesuai Pasal 45 A Undang-Undang 5 Tahun 2004 tentang Kekuasan Kehakiman. 

Arsip Ini Sudah Di Publikasi Media Online, CerminNusantara.Co.ID Pada Tgl, 17/7/2020








Tidak ada komentar:

Posting Komentar