Wikipedia

Hasil penelusuran

Minggu, 19 Januari 2014

TINJAUAN YURIDIS NORMATIF PUTUSAN PENGADILAN NEGERI SOASIO NOMOR :28/PID.B/2013/PN.SS TERHADAP ANGGOTA DPRD KOMISI III KABUPATEN HALMAHERA SELATAN PROVINSI MALUKU UTARA





OLEH:
WILSON COLLING



A.LATAR BELAKANG MASALAH

Undang-undang Negara Republik Indonesia Tahun 1945 mengamanatkan bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah Negara yang berkedaulatan rakyat yang dalam pelaksanaannya menganut prinsip kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan.
Untuk melaksanakan kedaulatan rakyat berdasarkan kerakyatan yang dipimpi n oleh himat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, perlu  diwujudkan lembaga permusyawaratan rakyat,lembaga perwakilan rakyat,dan lembaga perwakilan daerah yang mampu mengejewantahkan nilai-nilai demokrasi serta dapat menyerap dan memperjuangkan aspirasi rakyat,termasuk kepentingan daerah,agar sesuai dengan tuntutan perkembangan kehidupan berbangsa dan Negara.
Sejalan dengan perkembangan kehidupan ketatanegaraan dan politik bangsa,termasuk perkembangan dalam lembaga permusyawaratan rakyat ,lembaga perwakilan rakyat,dan lembaga perwakilan daerah,telah dibentuk Undang-Undang nomor 27 tahun 2009 tentang MPR,DPR,DPD,DPRD(MD 3).
Untuk mengembangkan kehidupan demokrasi dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah,perlau diwujudkan lembaga perwakilan rakyat daerah sebagai penyelenggara pemerintahan daerah bersama dengan pemerintah daerah sehingga mampu mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat berdasarkan aspirasi  masyarakat dalam sistem Negara kesatuan Republic Indonesia.
Dalam rangka menjalankan fungsi pengawasan terhadap jalannya pemerintahan seorang anggota MPR,DPR,DPD,dan DPRD-RI,maka setiap anggota MPR,DPR,DPD,DAN DPRD.oleh hukum diberikan hak kekebalan (immunitet) hak kekebalan itu dapat kita temui secara tegas dalam Undang-undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 pasal 20A JO.Undang-undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 tentang otonomi daerah,yang pada intinya secara hukum tidak dapat dituntut dalam menyampaikan pertanyaan atau pendapat yang dikemukakannya baik secara lisan maupun tulisan.
Dalam implementasinya tidak berbanding lurus dengan prakteknya sebagaimana penafsiran oleh penegakkan hukum dunia peradilan (polisi,jaksa,hakim)seringterjadi anggota DPRD dalam menggalang aspirasi masyarakat sering menimbulkan akibat hukum DEFAMASI yaitu pelanggaran pidana pencemaran nama baik yang dilakukan secara lisan maupun tulisan.Defamasi dalam pasal-pasal WETBOK VAN STRAFRECH0054(WvS)Belanda pada awalnya digunakan sebagai instrument untuk mengukuhkan kekuasaan otoritarian dengan hukuman kejam pada saat itu.Demikian juga halnya di Indonesia yang notabene bekas jajahan Belanda yang serta merta mengadopsi WvS ke dalam KUHP oleh rezim orde lama dan orde baru dijadikan media yang ampuh untuk melakykan pembungkaman terhadap warga yang melakukan kritik dan protes,Delik  Defamasi oleh aparat penguasa dan pihak-pihak tertentu masih dijadikan senjata ampuh untuk mereduksi kebebasan berpendapat .Sebuah gambaran dari jenis hukum yang oleh Pilippe Nonet dan Philip Selznickdisebut sebagai hukum refresif.yang mana hal tersebut dialami oleh Anggota DPRD komisi III Halmahera Tengah dalam menggalang aspirasi rakyat dituduhkan melakukan pencemaran nama baik.Sebagaimana dimaksud dalam pasal 310 ayat(1) senyatanya apa yang dituduhkan masih didalam tugas dan tanggung jawab konstitusional,dan apa yang disampaikan hal-hal yang merupakan keresahan masyarakat yang sudah menjadi konsumsi Publik (public trial) dalam putusan Pengadilan Negeri Soasio Nomor:28/Pid.B/2013/PN.SS mengadili anggota DPRD HALTENG  (YT) menjadi terdakwa secara  sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “PENGHINAAN” dan menjatuhkan pidana kepada terdakwa YT penjara selama 6 bulan.Majelis hakim dalam putusannya tidak mempertimbangkan hak imunitas.

B.ISU HUKUM
Ada beberapa isu hukum menurut saya penting dan sangat mendasar untuk ditelaah yaitu:
1.Apakah putusan Pengadilan Negeri dengan penjara 6 bulan sudah pada ratio decidendi yaitu alas an-alasan hukum yang digunakan oleh hakim untuk sampai kepada putusannya?
2.Dimana kekuatan hak imunitas anggota DPRD?

A.HAK IMUNUTAS DALAM NEGARA HUKUM INDONESIA
Dalam terminology hukum,kata imunitas merupakan terjemahan dari Bahasa inggeris immunity,yang berarti kekebalan.Kata lainya adalah imunis,yang bermakna”tidak dapat diganggu gugat.”Istilah ini terkait dengan tindakan seseorang dalam lingkup tertentu,seperti korps diplomatic atau anggata legislative.
Black’s Law Dictionary mencantumkan istilah legislative immunity yang bermakna hak kekebalan yang di berikan Konstitusi Amerika Serikat kepada anggota Kongres.Pertama, tidak boleh ditangkap pada saat sidang,kecuali terhadap tindak pidana makaar,kejahatan berat seperti pembunuhan dan pelanggaran penjanjian perdamaian.
Kedua,untuk setiap pidato atau debat yang dilakukan di parlemen,mereka mempunyai hak kekebalan,baik itu opini,pidato debat atau penyampaian pendapat,juga dalam pengambilan suara,laporan tertulis,dan penyampaian petisi secara umum yang dirasa penting oleh anggota yang di lakukan dalam rangka tugas sebagai anggota legislative.Bahkan terhadap adanya tuduhan dengan motif yang tidak jelas melakukan hal-hal di atas,tidak menghapuskan imunitas mereka, sepanjang dilakukan untuk kepentingan public.
Pembahasan mengenai Hak Imunitas aparat(pejaba) Negara sejatinya tidak dapat dilepaskan dari konsep awal  lahirnya hak imunitas itu sendiri.Konsep ini dahulu bersal dari sejarah Eropa,ketika makna kedaulatan dan penguasa (Kepala Negara)di anggap tidak dipisahkan.
Imunitas yang diberikan kepada kepala Negara dipandang merupakan perpanjangan dari imunitas yang diberikan oleh dunia Internasional berdasarkan kedaulatan Negara itu sendiri.Imunitas kedaulatan Negara bermakna bahwa suatu Negara berdaulat memiliki kekuasaan penuh untuk menjalankan kehidupan negaranya,sehingga kekuasaan demikian harus di hormati oleh setiap Negara lainnya yang juga memiliki kekuasaan tersebut.Dengan demikian,kepala Negara  diposisikan  layaknya Negara itu sendiri.
Dalam kaitanya dengan personalitas hukum,subjek hukum internasional menikmati semacam keistimewaan atau hak-hak tertentu,baik dari hukum nasional maupun hukum internasional.Keistimewaan tersebut salah satunya adalah imunitas terhadap proses hukum dari peradilan Negara lain yang dapat dinikmati oleh Negara-negara  dan organisasi internasional
Hak imunitas ini dapat di bagi dua,yaitu imunitas Negara(state immunity) dan imunitas diplomatic dan konsuler.Imunitas kepala Negara ,sebagai bagian dari pengertian  pejabat Negara,sering diidentikkan dengan sovereign immunity dalam hal perolehan kekebalan hukum.Imunitas diberikan kepada  pejabat Negara,terutama kepala Negara,kepala Negara merupakan gambaran atau perlambangan dari Negara bersangkutan.Hal ini menempatkan kepala Negara sebagai perlambangan kedaulatan suatu Negara  berdaulat,baik didalam negeri maupun di luar negeri .Dengan kekebalan hukum ,kepala Negara memiliki kompetensi untuk mengambil tindakan-tindakan yang dianggap penting dalam mewujudkan tertbnya kehidupan kenegaraan serta meningkatkan harkat dan martabat negaranya.
Pemberian hak imunitas kepada kepala Negara tidak dapat dilepaskan  dari teori imunitas Negara .Teori ini menempatkan posisi bahwa suatu Negara memiliki kekebalan  dihadapan pengadilan,baik itu nasional mauapun internasional.Sejarah dari nimunitas kedaulatan diidentikan dengan premis bahwa raja tidak dapat berbuat salah (the king can do no wrong)dan raja tidak dapat diadili oleh pengadilannya sendiri (the king cannot be sued in this own courts),yang menempatkan kedaulatan personal dari sebuah Negara ada pada kepala negaranya.
Keberadaan hak imunitas sebenarnya terkait dengan fungsi,tugas dan kewenangan dari pejabat yang memperoleh hak imunitas tersebut. Keterkaitan hak imunitas dengan fungsi,tugas dan kewenangan dari pejabat tersebut ,akan melekat sepanjang dilakukan dalam lingkup kewenangannya .Dengan hak imunitas,seorang pejabat Negara diharapkan dapat mengaktualisasikan keberadaannya sebagai wakil negara untuk melakukan fungsinya.Namun dengan batasan ,hal tersebut diberikan dalam ruang lingkup fungsi,tugas dan wewenang yang diberikan oleh undang-undang.Bagaimana jadinya apabila pejabat Negara dalam menjalankan tugas dan wewenangnya dilanda perasaaan takut,karena nantinya akan dituntut dijalur hukum ,justru akan kontra produktif dengan peran pejabat Negara tersebut sebagai wakil Negara untuk menjalankan kewenangan Negara.
Bagi seorang pejabat Negara,kekebalan hukum yang diperoleh merupakan bagian dari hak yang harus diakui oleh hukum nasional.Hal ini dilakukan demi kepentingan Negara ,dalam arti untuk kemajuan dan tata tertib kehidupan bernegara,sehingga merupakan sesuatu yang wajar apabila pejabat Negara menggunakan kekebalan dan keistimewaan tersebut untuk memperlancar pelaksanaan tugas yang dibebankan kepadanya berdasarkan undang-undang.
Anggota Legislatif
Dasar hukum,pada prinsipnya hak imunitas secara konstitusional telah diatur keberadaannya dalam Pasal 20A ayat (3) Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,yang menyebutkan bahwa :Selain hak yang diatur dalam pasal-pasal lain Undang –Undang Dasar ini,Dewan Perwakilan Rakyat mempunyai hak mengajukan pertanyaan,menyampaikan usul dan pendapat,serta hak imunitas.
Dalam pengaturan yang lebih tegas dapat dilihat dalam Pasal 366 ayat (1,2,3,dan 4) Undang-undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang MPR,DPR,DPD,DAN DPRD.
1)  Anggota DPRD kabupaten/kota mempunyai hak imunitas
2)  Anggota DPRD kabupaten/kota tidak dapat dituntut di depan pengadilan karena pernyataan,pertanyaan,dan/atau pendapat yang dikemukakannya baik secara lisan maupun tertulis didalam rapat DPRD kanupaten/kota yang berkaitan dengan fungsi serta tugas dan wewenang DPRD kabupaten/kota.
3)  Anggota DPRD kabupaten/kota tidak dapat diganti antar waktu karena pernyataan,prtanyaaan,dan/atau pendapat yang dikemukakannya didalam rapat DPRD kabupaten/kota  maupun diluar rapat DPRD kabupaten/kota yang berkaitan denagn fungsi serta tugas dan wewenang DPRD kabupaten/kota.
4)  Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku dalam hal anggota yang bersangkutan mengumumkan materi yang telah disepakati dalam rapat tertutup untuk dirahasiakan atau hal lain yang dimaksud dalam ketentuan mengenai rahasia Negara sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Berdasarkan hal tersebut ,dapat diketahui  bahwa selama  seorang anggota DPR mengemukakan pernyataan,pertanyaan dan atau pendapat yang dikemukakannya,baik secara lisan maupun tertulis,sepanjang dalam rapat DPR ataupun diluar rapat DPR serta berkaitan erat dengan fungsi serta tugas dan kewenangan DPR tidak dapat dituntut didepan pengadilan ,dan inilah yang selanjutnya disebut hak imunitas.
Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Otonomi  Daerah pasal 45 huruf d,e dan g,jo pasal 52 ayat(1) :
Pasal 45
Huruf d:memperjuangkan penungkatan kesejahteraan rakyat di daerah.
Huruf e:menyerap,menampung,menghimpun,dan menindaklanjuti aspirasi rakyat.
Huruf g:memberijan pertanggungjawaban atas tugas dan kinerjanya selaku anggota DPRD sebagai wujud tanggung jawab moral dan politis terhadap daerah pemilihannya.
Pasal 52
Ayat (1) :Anggota DPRD tidak dapat dituntut dihadapan pengadilan karena pernyataan,prtanyaan,dan/atau  pendapat yang dikemukakannya baik secara lisan maupun tertulis dalam rapat DPRD,sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan tata tertib dank ode etik DPRD.
Bedasarkan fakta-fakta hukum  serti tersebut dengan diberikanya hak imunitas kepada anggota DPRD saat menjalankan kewajiban konstitusional betapa beratnya tugas dan tanggungjawab sebagai pemegang kedaulatan rakyat setiap saat harus melakukan control pengawasan terhadap pemerintahan yang kerap akan beringsinggungan dan mengakibatkan terjadinya benturan antara kekuasaan khusunnya EKSEKUTIF dan kekuasaan LEGISLATIF para pendiri Republik Indonesia ini menyadari hal tersebut dan berangkat dari kesadaraan itu,bahwa setiap anggota MPR,DPR,DPD dan DPRD di lengkapi dengan kekebalan dari kekuasaan EKSEKUTIF

DUDUK PERKARA
Anggota DPRD  Halmahera Tengah (Yoksan Tomo) periode  Tahun 2009-2014
Yoksan Tomo merupakan anggota DPRD Halmahera Tengah Provinsi Maluku Utara Periode Tahun 2009s/d 2014.Pada tanggal 25 januari 2011,mengadakan kunjungan keluarga  silaturahmi ke Desa Sibenpopo ,guna memenuhi permintaan warga Sibenpopo untuk melihjat kondisi  jalan dan jembatan di desa Sibenpopo yang rusak dan perlu dibangun.Yoksan Tomo juga hadir dalam pertemuan yang diprakarsai oleh warga Desa Sibenpopo ,dimana pertemuan tersebut diadakan dirumah Pendeta  Djoice Dagali dan dihadiri kurang lebih 15(lima belas orang).Dalam pertemuan tersebut Yoksan Tomo menyampaikan hal-hal yang menyangkut dengan tukar guling  gedung gereja dengan menggunakan anggaran APBD 2008-2009.Berdasarkan surat perjanjian tukar guling ,secara jelas dan berdasarkan fakta  Nomor:13/100/PDHT/2008 dan Nomor:BPHS/530/C-10/XXVI/2008,menandatangani surat tukar guling tersebut oleh pemerintah Halmahera Tengah,sebagai pihak kedua yakni Ir.Basri Amal,M.M selaku  pejabat Sekretaris Daerah Kabupaten Halmahera Tengah dan Ibrahim Umar,S.Ip,M.SI. selaku Kepala Bagian Pemerintahan Kabupaten Halmahera Tengah.Mengetahui Bupati Mapa  Ali Yasin,MMt.Yoksan Tomo selaku Anggota DPRD Komisi III masih aktif,dalam pertemuan itu ada sebuah diskusi  dengan masyarakat Desa Sibenpopo tentang kinerja pemerintahan kabupaten Halmahera  Tengah.Didalam pertemuan tersebut satu peserta atau konstituen bertanya(Hermon),kurang lebih seperti ini pertanyaan yang didengarkan dan didiskusikan yang lain,”Bapak Yoksan,bagaimana kelanjutan tukar guling gedung ereja tersebut?”,lalu Anggota DPRD(Yoksan Tomo)”Adapun mengenai tukar guling tersebut tidak terlaksan karena tidak adanya anggaran pembagunan dua gedung tersebut didalam mata anggaran APBD tahun 2008-2009”.Dan kenyataanya yang membangun gedung tersebut adalah salah satu kontraktor (Nyong Angkowi) yang dibangun secara Cuma-Cuma,65% dana Nyong Angkowi dan swadaya jemaat 35% tidak menggunakan dana APBD.Sehingga Anggota DPRD berpendapat tidak sesuai dengan yang disampaikan oleh Bupati.Yang mana hal tersebut terjadi pembohongan public.Temuan tersebut  sudah ditindaklanjuti oleh Kejaksaan Negeri Weda Kabupaten Halmahera Tengah.Dengan memanggil saudara Sekda Ir.Basri Amal,MM, namun belum ada penyelesaian dan titik terang oknum jaksa tersebut dipindah tugaskan oleh Kejaksaan Negeri Weda.Yoksan Tomo,dalam waktu bersamaan ,menyampaikan juga hal-hal yang merupakan keresahan masyarakat Halmahera Tengah tentang tes pegawai CPNS tahun 2010 tidak ada terwakili dari umat nasrani hal ini sudah menjadi konsumsi public(public trial) yang mana di kabupaten Halmahera Tengah populasi umat nasrani kurang lebih 30%sehingga sesuatu yang wajar masyarakat mempertanyakan hal itu dan Anggota DPRD Halmahera Tengah(Yoksan Tomo) juga masih berada dalam ruang lingkup tugas dan tanggung jawab sebagai Anggota DPRD dalam hal untuk melakukan tugas-tugas (korektif-konstruktif)terhadap pelaksanaan pemerimtahan yang transparan,terbuka,demokratis,akuntabel,terhindar dari birokrasi yang korupsi,kolusi,dan nepotisme.Berdasarkan fakta-fakta  diatas ,bahwa yang disampaikan oleh Anggota DPRD kepada masyarakat Desa Sibenpopo ,secara konstitusi memiliki kewajiban sebagai wakil rakyat untuk menyerap,menampung ,menghimpun dan menindaklanjuti aspirasi rakyat sebagai perwujudan menjalankan fungsi control pemerintah eksekutif.

PERMASALAHAN YANG DIHADAPI OLEH ANGGOTA DPRD
Berdasarkan kunjungan pada tanggal 25 januari 2011 di Desa Sibenpopo menimbulkan akibat hukum yanga mana  anggota DPRD dituduhkan telah melakukan pencemaran nama baik kepada Bupati Ir,Maipa Alyasin Ali,MMT.Sebagaimana dimaksud pada pasal 310 ayat (1) KUHP.Anggota DPRD mengalami rekayasa dan diskriminasi hukum sejak permasalahan ini ditangani oleh pihak Kepolisisan Republik Indonesia Daerah Maluku Utara antara lain:Dalam Berita Acara Pemerisaan(BAP)penyidik kepolisian mengkodisikan atau mengarahkan pertayaan yang menjebak ke isu sara dengan kata-kata diantaranya,Bupati berbuat tidak adil,tidak memperhatikan orang Kristen(menganatirikan),tidak berlaku jujur,dan tes CPNS selama ini Nasarani jarang sekali diterima oleh pemnda Halmahera Tengah.Dan dalam pemeriksaan perkara tersebut penyidik kepolisian telah melakukan penyimpagan hukum(deviant of law) tidak memenuhi syarat normatif  sebagai penyidik sesuai dengan peraturan pemerintah Republik Indonesia Nomor 58 tahun 2010 tentang pelaksana an Kitab undang-undang KUHAP sebagaimana  diatur dalam pasal 2a ayat (1) huruf a yaitu:seorang penyidik harus berpangkat paling rendah Inspektur Dua Polisi dan berpendidikan sarjana strata satu atau yang setara,tetapi kenyataanya dalam perkara penyidikan dengan NO.LP/K/VII/2011/SPKT tanggal 25 juli 2011.penyidik masih berpangkat setingakat Bintara yang tidak mempunyai kapasitas sebagai penyidik,sedangkan kualitas penyidikan ditentukan oleh sumberdaya dan pengetahuan hukum seorang penyidik yang merupakan taruhan nasib anggota DPRD (Yoksan Tomo) dalam proses penyidikan yang dibutuhkan di tingakat penuntutan maupun peradialan. Anggota DPRD (YOKSAN TOMO) Halmahera Tengah mengalami diskriminasi hukum dan rekasaya yang dilakukan oleh BUPATI  yang begitu jelas dan nyata seluruh saksi-saksi di jemput  kerumah masing-masing oleh sopir Bupati dan semua saksi dibawah ke kediaman Bupati untuk melakukan Brain wash(cuci otak) yang mana di kondisikan secara tersistem dan terstruktur hal ini merupakan pengakuan saksi-saksi dalam fakta persidangan ketika pulang masing-masing saksi diberikan uang oleh Bupati antara lain:liberti,Matahari,Wempi Paparan,DJoice Dagali.Bahwa rekayasa dan penyimpangan hukum oleh kepolisian polda Maluku Utara begitu jelas dan nyata seluruh saksi-saksi seteoah selesai dari kediaman Bupati,saksi dibawa  menuju Guest House untuk melakukan proses pemeriksaan oleh pihak kepolisisan  Polda Maluku Utara serempak 2 kelompok secara pararel .Dalam berita Acara Pemeriksaan (BAP) seluruh keterangan yang disajikan memliki kesamaan baik titik maupun koma fakta tersebut diatas  merupakan pengakuan saksi-saksi dari pihak bupati dalam fakta persidangan lebih jelasnya dapat dilihat dalam putusan.Bahwa sangat jelas menyimpang dari ketentuan KUHAP yang dillakukan oleh pihak kepolisian Polda Maluku Utara melakukan pemeriksaan di guest house.Yang menjadi pertanyaan ,apa urgensinya sehingga melakukan  pemeriksaan pun tidak  pada tempatnya sedangkan pollres Halmahera Utara  berdiri dengan megah yang  jaraknya tidak jauh dari Guest House kurang lebih 700-800 meter?jika saja  Anggota DPRD melakukan kejahatan luar biasa menyerang kehormatan  Negara maupun teroris mungkin dapat dimaklumi.Apakah memang seperti ini aparat penegakkan hukum kita di Republik Indonesia dibumi pertiwi merah putih ini atau memang ada Undang –undang yang mengatur memberikan hak istimewa kepada Bupati Yasin Ali ?Ataukah ini merupakan tirani kekuasaan disebuah negeri yang kering dan tandus dengan masalah hukum dan keadilan bagi masyarakat yang tak berdaya.
Bahwa diskriminasi hukumoleh tirani kekuasaan tampak jelas dan nyata yang Anggota DPRD alami pada hari senin tanggal 21 maret  bertempat di dalam gedung DPRD. Setelah rapat paripurna NY.Mutiara Yasin ALI istri Bupati Yasin Ali.yang merupakan salah satu ketua komisi III DPRD Kbupatean Halmahera Tengah melakukan sebuah tindakan yang tidak terpuji dan tidak sepantasnya sebagai istri dari orang nomor 1 di Halmahera Tengah menghampiri Anggota DPRD dengan kondisi penuh amarah sambil mrenunjuk-nunjuk dan berteriak-teriak dengan suara lantang “kamu (Yoksan) telah melakukan pencemaran nama baik saya(Mutiara)dan nam baik suami saya BUPATI Yasin Ali “,dikalangan umat nasrani  bahwa Bupati selama ini menganaktirikan umat nasrani.Bahwa pada saat itu terjadi perang mulut karena Anggota DPRD tidak menerima tuduhan itu,tetapi beberapa menit kemudian Bupati Yasin Ali yang merupakan suami dari NY.MUTIARA YASIN Ali datang membantu istrinya dengan nada emosi sambil berkata kamu (YOKASAN) provakator menyebarkan isu SARA,kamu (YOKSAN)”Tara lama ngana pegigi ciri” yang artinya tidak lama gigi kamu saya(bupati) rontokin” sambil mendekati anggota DPRD (yoksan tomo) dengan gerakan mau memukul sambil di kepung oleh SPKD dan Satpol PP yang sudah disiapkan secara terencana oleh BUPATI YASiN ALI,tiba-tiba pukulan pun mendarat kemulut dengan menggunakan map kedapa anggota DPRD komisi III (Yoksan Tomo) yang dilakukan oleh MULHLIS AJARAN yang merupakan  Ketua Komisi II DPRD kaa.Halmahera Tengah dari fraksi PDIP.Situasi semakin memanas  tiba-tiba datang anggota DPRD MUHAMMAD LUKMAN wakil ketua DPRD Kab.Halama Herah Tengah dari Partai Demokrat membentak dengan suara keras mengusir sekelompok Preman berseta Bupati,sambil berkata”keluar….keluar….keluar….ini bukan kantor Bupati,ini gedung DPRD,ini masalah internal jangan ikut campur!”Bupati Yasin Ali dan sekelompok preman pun keluar meninggalkan ruangan DPRD Kab.Halmaherah Tengah.Bahwa atas kejadian tersebut anggota DPRD (Yoksan Tomo) tidak menerima tindakanke sewenang-wenangan dan penuh dengan arogansi  tuduhan yang merupakan karangan Bupati dan istrinya  MUtiara yang selama ini merasa tidak nyaman atas kritik-kritik yang di lontarkan tentang kebijakan-kebijakan yang menyimpang dari ketentuan peraturan perundang-undangan,atas kejadian penyerangan tersebut anggota DPRD (Yoksan Tomo) telah melaporkan Bupati dan kroni-kroninya kepihak kepolisan Polres Halmahera Tengah dengan  Nomor Perkara LP:STLP/09/III?SPK tanggal 25 Maret tahun 2011,tindak pidana penginaan dan penganiayaan sebagaimana dimaksud dalam pasal 310 ayat(1) Jo.352 KUHPidana namun sampai dengan saat ini kuarang lebih sudah3 (Tahun),laporan tersebut tidak jelas dan tidak ada kejelasan disilah sangat kental dengan sikap dan mental aparat penegakkan hukum melakukan diskriminasi hukum,telah mencederai jaminanan kepastian hukum yang adil dan perlakuan yang sama di muka hukum(reshtsgelikheid) atau eguality before the law syarat mutlak bagi terwujudnya pasal 1 ayat(3) UUD 1945.sangat ironis dengan mental penegakkan hukum padahal kalau bicara aturan hukum sangat jelas dalam undang_undang Nomor 2 tahun 2002 tentang polri vide pasal 2 cukup jelas tentang fungsi kepolisian melndungi,mengayomi,dan memelihara ketertiban umum,serta menegakkan hukum ini saja sudah cukup jika penegakkan hukum bersikap profesiona dan impartial (tidak memihak). Pemasalahan ini sangat  kental dengan tirani kekuasaan jika di bandingkan dengan Laporan Bupati Yasin Ali melaporakan anggota DPRD (Yoksan Tomo) kepihak kepolisian Polda Maluku Utara pada tanggal 09 november 2011 Nomor:LP/27/VII/SPKT pehak pepolisian dengan cepat  merespon dan bertindak bahkan pemeriksaan pun di lakukan bukan di kantor polisi,tetapi di Guest House dan serempak semua sakasi-saksi di periksa secara parallel tidak pada tempatnya.
Dari seluruh uraian rekayasa dan diskriminasi hukum yang di alami anggota DPRD Komisi III Kab.Halmahera Tengah yang menjadi aneh permasalahan yang lahir dari sebuah rekayasa hanya didasari
bukti yang sumir dan penuh dengan manipulative belaka bias jadi(P-21) sempuna semestinya diferensiasi kepolisian dan kejksaan berfungsi saling mengontrol dan melengkapi yang masing-masing sub sistem dalam  sistem peradilan menjalankan fungsinya secara pprofesional dan menjunjung tinggi rules of law and rule of ethics setogianya kejaksaan negeri Weda mengtakan  P-19 berkas dikembalikan kepada kepolisian karena tidak lengkap .Banyak kalangan pemerhati hukum dan keadilan mengatakan ini kasus sampah tidak perlu dipermasalahkan jika dalam hati sanubari aparat penegakkan hukum masih  mengandalkan hati nurani.Kalau aparat penegak hukum konsisten menegakkan hukum tanpa tebang pilih masih banyak kasus-kasus yang  menarik khususnya di Maluku Utara yang tidak tersentuh  oleh hukum dan ini sudah menjadi isu nasional.
Penyimpangan perilaku penegak hukum Kejaksaan Negeri Weda yang Anggota DPRD alami pada saat itu ketika pelimpahan berkas P-21 dari pihak kepolisian Kejaksaan Negeri Weda memaksakan Anggota DPRD segera ditahan terjadlah perdebatan dan menyampaikan keberatan –keberatan hari ini saya bersedia ditahan dan patuh pada hukum jika saya bersalah dan melalui proses hukum yang baik dan adil tanpa ada intrik-intrik politik kotor dengan perdebatan yang a lot alhasil tidak ditahan tetapi wajib lapor dan permasalahan yang Anggota DPRD alami ada knum kasi intel Kejaksaan Negeri Weda yang masih memiliki hati nurani menghampiri Anggota DPRD seraya berkata masalah bapak sebenarnya tidak perlu dipermasahkan tapi sudah ditunggangi oleh pihak ketiga, kami anak buah hanya mengikuti perintah dari pemimpin jadi saya sarankan (oknum kasi intel),Bapak lapor ke Jaksa Agung muda pengawas  (JAMWAS) dijakarta. 
Permasalahn dan diskriminasi hukum yang dilakukan oleh tirani kekuasaan Kabupaten Halmahera T engah menggunakan instrument-instrumen kenegaraan Provinsi Maluku Utara cukup jelas berdasarkan konstatasi fakta hukum yang diuraikan diatas sangat pradoks sikap dan mental penegakkan hukum (polisi,jaksa) ,permasalahan yang lahir dari hasil rekasaya dan sangat kental dengan nuansa politik belaka tetap memaksakan di teruskan ketingkat peradilan Pengadilan Negeri Soa Sio .Anggota DPRD (Yoksan Tomo) pun menghadapinya dengan sebuah harapan disana pasti ada keadilan sebab selama ini terbesit dalam benaknya ,bahwa pengadilan yang mandiri,netral(tidak memihak) kompeten,transparan,akuntabel dan bewibawa,yang mampu menegakkan wibawa hukum,pengayoman hukum,kepastian hukum yang merupakan condition sine qua non atau persyaratan mutlak dalam sebuah Negara yang berdasarkan hukum.
FAKTA PERSIDANGAN
Pengadilan Negeri SoaSio memutuskanperkara Nomor 28/Pid.B/2013/PN.SS pada hari kamis tanggal 11 Juni 2013 menyatakan secara sah dan meyakinkananggota DPRD komisi III (Yoksan Tomo) bersalah melakukan tindak pidana “PENGHINAAN”terhadap Bupati Yasin Ali,berikut kutipan putusan:

MENGADILI:
1.Menyatakan Terdakwa YOKSAN TOMO ,S.Th alias YOKSAN telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana”PENGHINAAN;’’
2. Menjatuhkan pidana kepada terdakwa tersebut dengan pidana penjara  selama 6(enam)bulan;
3. Mebebankan terdakwa untuk membayar biaya perkara dalam perkara ini sebesar Rp.1000,-(seribu rupiah).
Atas  putusan tersebut Anggota DPRD menganggap putusan ini telah mencederai rasa keadilan sehingga melakukan banding ke Pengadilan Tinggi Maluku Utara dengan harapan disana akan melakukan koreksi dan memutuskan berdasarkan “DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA” tetapi hasil putusan pengadilan tinggi Nomor:26/PID/2013/PT.MALUT pada tanggal 01 oktober 2013,setali tiga uang menguatkan putusan Pengadilan Negeri menjatuhkan pidana penjara 6 (enam) bulan.Bahkan isi putusan menguatkan sebelum disampaikan ke kuasa hukum principal,materi substansinya sudah dipublikasikan di media massa Pos Malut .berikut kutipan putusan:
MENGADILI
-Menerima permintaan Banding dari Penasehat Hukum Terdakwa dan Jaksa Penuntut Umum tersebut;
-Memperbaiki Putusan Pengadilan Negeri Soasio Nomor:28/Pid.B/2013/PN.SS tanggal 11 juli 2013 yang dimintakan Banding tersebut,sekedar mengenai kualifikasi tindak pidananya,sehingga amar selengkapnya berbunyi sebagai berikut:
1.  Menyatakan Terdakwa YOKSAN TOMO,S,Th alias YOKSAN telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “Pencemaran”;
2.  Menjatuhkan pidan kepada Terdakwa tersebut dengan pidana penjara selama 6(enam) bulan;
3.  Membebankan kepada Terdakwa untuk membayar biaya perkara dalam kedua tingkat Peradilan,yang untuk Tingkat Banding sebesar Rp.2.500,-(dua ribu lima ratus rupiah);
Dan dalam kostantasi fakta persidang pengadilan Negeri SoaSioa kutua majelis hakim sangat jelas tidak mencerinkan pendadilan yang afir,bijaksana,tidak adil,independen serta sangat jelas berpihak kepada Bupati Yasin Ali:dalam hal ini selalu memojokan saksi-saksi dari terdakwa YOKSAN TOMO,S.Th.pertyaan yang di lontarkan tidak mencerminkan wibawa hukum pengyaoman sebab selalu dengan nada keras memarahi saksi-saksi dari terdakwa,bahkan yang sangat konyal lagi ketua majelis hakim pada saat membuka sidang dan terbuka untuk umum langsung memgucapkan terima kasih terhadap saksi korban  BUPATI YASIN ALI  ,atas penawaran Gedung serbaguna untuk di jadikan Kantor Pengadilan Negeri SoaSio sementara,ketika kami(hakim) melakukan pengecekan bahwa gedung itu,dalam tahap proses surat tukar guling antara pemerintah kepulauan Tidore dengan pemerintah kabupaten Halmahera Tengah.

SEJARAH PERKEMBANGAN HUKUM PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA ZAMAN HINDIA BELANDA KE HUKUM NASIONAL


By: WCALAWFIRM


                                               

BAB 1
PENDAHULUAN

A.Latar Belakang

Sejarah telah mencatat bahwa penjajahan Belanda atas kepulauan nusantara,berawal pada tahun1619.Dalam tahun itu,pasukan vereenigde oost Indische Compangni (VOC) di bawah pimpinan Jan Pieterzoon Coen berhasil merebut Jayakarta dan kemudian mendirikan kota baru yang diberi nama Batavia.VOC yang semula merupakan perusahaan dangang Belanda yang bertujuan mendapatkan menopoli atas perdagangan rempah-rempah di wilayah kepulauan nusantara,kemudian berkembang menjadi suatu kekuatan penjajah.Untuk memenuhi ambisinya,VOC dibawah pimpinan J.P.Coen tidak segan-segan berperang menghancurkan kekuasaan raja-raja pribumi yang menghambat usaha mereka,  khususnya kerajaan-kerajaan di jawa dan Maluku.Kemudian melalui politik devide et impera voc tidak saja berhasil memperluas wilayah perdagangnnya,tetapi juga memperoleh tambahan tanah jajahan.

Pada akhirnya VOC lebih cenderung untuk mempertahankan dan memperluas tanah jajahan ketimbang melakukan misi utamanya yaitu usaha perdagang.Selain itu,banyak pejabat voc di Batavia berlaku curang,pemborosan,infesiensi dan korupsi yang turut memperburuk kondisi keuangan perusahaan.Hutang yang sudah menumpuk pada pemerintah Belanda tidak mungkin lagi terbayar.Akhirnya setelah dinyatakan bangkrut (failliet),maka pada tanggal 1 Januari 1800,VOC di bubarkan dengan ketentuan semua tanah jajahan miliknya diambilalih oleh pemerintah Belanda.Sejak itu pula terbentuk secara resmi pemerintahan colonial Hindia Belanda yang berkuasa hingga tanggal 8 maret 1942 yaitu ketika Belanda menyerah tanpa syarat pada balatentara Jepang dalam perang Pacifik.

Sejalan dengan kesimpulan diatas,dapat dipahami jika VOC   sebagai perusahaan dagang dalam meluaskan usahanya ke berbagai macam perkebunan tidak pernah menunjukkan minat pada usaha pertambangan (menambang sendiri).Maka demikian,VOC tetap terlibat dalam kegiatan perdagangan hasil-hasil tambang,sebagaimana dicatat oleh sejarah bahwa pada tahun 1710 mulai melakukan pembelian timah dari Sultan Palembang yang dihasilkan oleh tambang-tambang yang dikerjakan oleh orang-orang Cina di Pulau Bangka.Bahkan pada akhirnya VOC memperoleh monopoli atas perdagangan timah ini,jadi peranannya hanya sebagai tengkulak yang tidak pernahberminat melakukan pertambangan sendiri.

Keterlibatan swasta mendorong Pemerintah Hindia Belanda membentuk suatu Komisi khusus (1850) untuk mempelajari dan menyusun bentuk pengaturan usaha pertambangan.Komisi berhasil menyusun sebuah peraturan pertambangan (mijnreglement) yang pertama.peraturan ini memungkinkan pemberian hak atau konsesi penambangan kepada swasta warga negra Belanda,tetapi masih terbatas untuk daerah-daerah di luar Pulau Jawa.Pengecualian Pulau Jawa karena pemerintah Hindia Belanda berpendapat akan timbul konflik (overlapping) antara hak pertambangan dan system cultuurstelsel dalam pertanian dan perkebunan yang telah diberlakukan di Pulau Jawa.Pemerintah Hindia Belanda rupanya belum mendapatkan cara yang tepat bagaimana cara memisahkan hak atas tanah dan hak atas bahan galian yang terdapat didalam tanah yang bersangkutan

Oleh karena mulai dirasakan perlunya mengatur kegiatan pertambangan secara khusus,pada tahun 1852 pemerintah mendirikan “Dienst van het Mijnwezen”(Jawatan Pertambangan).

Tugas jawatan ini adalah melakukan eksplorasi geologi-pertambangan di beberapa daerah untuk kepentingan pemerintah Hindia Belanda.Hasil penemuannya antara lain;endapan batubara Ombilin Sumatera Barat(1866),namun baru berhasil ditambang oleh pemerintah pada tahun 1891.Penjajahan Belanda Mijnwet system kontrak 5A.Sejak zaman Hindia Belanda,di Nusantara berlaku Mijnwet dengan semua peraturan pelaksanaan dan perubahannya.Dalam Mijnwet tidak dibedakan antara minyak dan gas bumi dengan bahan galian lainnya.Oleh sebab itu,pengusahaan kedua bahan tambang ini diatur berdasarkan asas hukum yang sama,kecuali segi teknik yang memerlukan pengaturan terpisah.
Semenjak Proklamasi kemerdekaan dan Indonesia mempunyai UUD 1945 yang berlaku sejak 18 Agustus 1945,Undang-undang pertambangan pada masa Hindia Belanda masih tetap diberlakukan untuk waktuyang cukup lama,meskpun dirasakan tidak sesuai dengan prinsip dasar yang terkandung dalam pasal 33 ayat (3) UUD 1945.
Usaha pemerintah menggantikan Mijnwet telah dimulai sejak adanya Mosi Teuku Moehammad Hasan dan kawan-kawan pada tahun 1951,yang diikuti dibentuknya Panitia Negara Urusan Pertambangan (PNUP).Salah satu tugas PNUP adalah mempersiapkan undang-undang pertambangan Indonesia yang sessuai dengan keadaan alam kemerdekaan berdasarkan ekonomi nasional.Panitia ini berhasil menyusun rancangan undang-undang (RUU) pertambangan,namun sampai PNUP bubar,RUU ini tidak pernah menjadi undang-undang karena banyaknya kepentingan politik pada masa itu.
Setelah Presiden mendekritkan berlakunya UUD 1945,barulah Indonesia mempunyai undang-undang pertambangan nasional,yaitu UU No.37prp Tahun 1960 tentang pertambangan.Pertambangan dapat lebih berkembang sejalan dengan dibukanya pintu bagi penanaman modal asing menurut UU No.1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing,maka diterbitkan UU No.11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertambangan,menggantikan UU No.37 prp Tahun 1960.
Krisis moneter di Indonesia yang terjadi pada tahun 1997 memberikan dampak yang luas pada perkonomian Nasional,yang berakhirnya pemerintahan Soeharto pada tahun 1998 dan memasuki masa reformasi.Beberapa situasi penting yang berubah,menyakut perubahan lingkungan strategis,antara lain,semangat otonomi daerah,globalisasi,hak asasi manusia, hak atas kekayaan intelektual,demokratisasi dan lingkungan hidup.Perubahan-perubahan itu di antisipasi oleh Pemerintah dalam berbagai kebijakan maka lahirlah UU NO.4 Tahun 2009 tetang pertambangan mineral dan Batubara.

B.Rumusan Masalah

Adapun yang menjadi rumusan masalah dalam tulisan ini adalah bagaimana menelisik  Sejarah perkembangan hukum pertambangan mineral dan batubara sejak zaman Hindia Belanda ke  hukum nasional.



BAB II
PEMBAHASAN

Sejarah pengaturan pertambangan mineral dan batubara sejak zaman Hindia Belanda ke hukum nasional.
A.    Masa kekuasaan VOC (1619-1799)
Sejarah telah mencatat bahwa penjajahan Belanda atas kepulauan Nusantara, berawal pada tahun 1619. Dalam tahun itu pasukan vereeningde Oost Indische Compagnie(VOC)dibawah pimpinan Jan Pieterzoon Coen berhasil merebut Jakarta dan kemudian mendirikan kota baru yang diberi nama Batavia.VOC, yang semula merupakan perusahaan dagang Belanda yang bertujuan  mendapatkan  monopoli atas perdagangan rempah-rempah di wilayah kepulauan Nusantara,kemudian berkembang menjadi suatu kekuatan penjajah.Untuk memenuhi ambisinya,VOC dibawah pimpinan J.P.Coen tidak segan-segan berperang menghancurkan kekuasaan raja-raja pribumi yang menghambat usaha mereka, khususnya kerjaan-kerajaan di Jawa dan Maluku.Kemudian memulai politik devide et impera VOC tidak saja berhasil memperluas wilayah perdagangannya, tetapi juga memperoleh tambahan tanah jajahan.
Pada akhirnya VOC lebih cenderung untuk mempertahankan dan memperluas tanah jajahan ketimbang melakukan misi utamanya yaitu usaha perdagang.Selain itu,banyak pejabat VOC di Batavia berlaku curang, pemborosan, infensiensi dan korupsi yang turut memperburuk kondisi keuangan perusahaan.Hutang yang sudah menumpuk pada Pemerintah Belanda tidak mungkin lagi terbayar.Akhirnya setelah dinyatakan bangkrut (failliet), maka pada tanggal 1 Januari 1800,VOC dibubarkan dengan ketentuan semua tanah jajahan dan miliknya diambil alih oleh pemerintah colonial Hindia Belanda yang berkuasa hingga tanggal 8 maret 1942 yaitu ketika Belanda menyerah tanpa syarat pada balatentara jepang.
Selanjutnya bagaimana dan apa yang telah dilakukan Belanda dalam sektor pertambangan selama lebih dari tiga abad penjajahannya di Hindia Belanda.Seotaryo Sigit,seorang pakar pertambangan terkemuka Indonesia, menyimpulkan bahwa;
 “Dalam hal penyelidikan geologi yang bersifat mendasar,cukup banyak yang telah melakukan dan dihasilkan oleh para pakar Belanda.Hal ini tidak mengherankan, karena Bangsa Belanda sejak dulu sudah terkenal memiliki ilmuwan-ilmuwan besar di berbagai bidang. Dalam bidang bidang pertambangan sebaliknya,ternyata orang-orang Belanda tidak mampu mengembangkan Hindia Belanda suatu wilayah pertambangan terkemuka,meskipun potensi mineral wilayah ini,sesungguhnya cukup besar. Hal ini-pun tidak perlu mengherankan, karena negeri Belanda dasarnya rakyat Belanda hidup dari pertanian dan perdagangan’’
Sejalan dengan kesimpulan di atas,dapat dipahami,jika VOC sebagai perusahaan dagang dalam meluaskan usahanya ke berbagai macam perkebunan tidak pernah menunjukkan minat pada usaha pertambangan (menambang sendiri). Meskipun demikian,VOC tetap terlihat dalam kegiatan perdagangan hasil-hasil tambang,sebagaimana dicatat oleh sejarah bahwa pada tahun 1710 mulai melakukan pembelian timah dari Sultan Palembang yang dihasilkan oleh tambang-tambang yang di kerjakan oleh orang-orang cina di pulau Bangka.Bahkan pada akhirnya VOC memperoleh monopoli atas perdagangan timah ini,jadi peranannya hanya sebagai tengkulak yang tidak pernah berminat melakukan pertambangan sendiri.

B.     Masa Pemerintahan Hindia Belanda (1800-1942)

Setelah pengambilalihan semua milik (asset) dan kegiatan  VOC oleh Pemerintah Hindia Belanda sampai jatuhnya Hindia Belanda ke tangan inggris (1811), khusus yang berkenaan dengan usaha/kegiatan pertambangan tidak banyak mengalami perubahan yang berarti. Baru setelah inggris menyerahkan kembali tanah jajahan ini kepada Belanda (1816) dilakukanlah perubahan dalam cara pemerintahan Hindia Belanda.
Kegiatan pemerintahan selanjutnya hanya mencakup tugas tugas pemerintahan murni,sedangkan kegiatan perdagangan,pertanian, perkebunan dan industry kecil dan sebagainya diserahkan kepada pihak swasta. Dalam suasana liberalisasi perekonomian, muncullah keinginan pihak swasta dan perorangan Belanda untuk mengusahakan pertambangan.Minat swasta tertuju kepada timah dan batubara.Kedua komoditi tersebut,memiliki prospek pemasaran yang jelas ketika itu.
Keterlibatan swasta mendorong Pemerintah Hindia Belanda membentuk suatu Komisi khusus(1850)  untuk mempelajari dan menyusun bentuk pengaturan usaha pertambangan. Komisi berhasil menyusun sebuah peraturan pertambangan (mijnreglement) yang pertama.Peraturan ini memungkinkan pemberian hak atau konsesi penambangan kepada swasta warga Negara Belanda,tetapi masih terbatas untuk daerah-daerah di luar Pulau Jawa.Pengecualian Pulau Jawa karena Pemerintah Hindia Belanda berpendapat akan timbul konflik (overlapping) antara hak pertambangan dan system cultuurstelsel dalam pertanian dan perkebunan yang telah diberlakukan di Pulau Jawa.Pemerintah Hindia Belanda rupanya belum mendapatkan cara yang tepat bagaimana cara memisahkan hak atas tanah dan hak atas bahan galian yang terdapat di dalam tanah yang bersangkutan .
Oleh karena mulai dirasakan perlunya mengatur kegiatan pertambangan secara khusus,pada tahun 1852 pemerintah mendirikan “Dienst van het Mijnwezen”(Jawatan Pertambangan).Tugas jawatan ini adalah melakukan eksplorasi geologi-pertambangan di beberapa daerah untuk kepentingan pemerintah Hindia Belanda.Hasil penemuan antara lain;endapan batubara Ombilin Sumatera Barat(1866),namun baru berhasil ditambang oleh Pemerintah pada tahun 1891.
Sementara pada bidang usaha perminyakan dimulai tahun 1871.Pengusaha(swasta)Belanda memegang peranan yang aktif.A.J.Zylker,seorang pengusaha tembakau merupakan pemegang konsesi pertama yang diberikan pada tahun 1883.Kemudian pada tahun 1890 Royal Dutch Company,mengambil alih konsesi Zylker dan menjadikan perusahaan ini nomor dua terbesar di dunia.Sampai tahun 1911 Royal Dutch-Shell yang dikenal di Hindia Belanda sebagai (Bataffsche Petroleum Maatschappij (BPM) minyak satu-satunya perusahaan minyak yang beroperasi atas dasar konsesi(concessie). Konsesi yang berjangka waktu 75 tahun hanya berlangsung hingga tahun1928,bahkan konsesi tahun 1930 dipersingkat menjadi 40 tahun saja.
Pemerintah Hindia Belanda yang memperoleh royalty sebesar 20% dari keuntungan bersih,mulai melakukan intervensi dengan asumsi bahwa sistem konsesi lebih banyak menguntungkan perusahaan.Intervensi ini dengan membentuk Nederlandsche Indische Ardalie Maatschappij (NIAM) pada tahun 1930-an,sebagai patungan antara Pemerintah dengan BPM atas dasar fifty-fifty.Perkembangan demikian jelas memperlihatkan semakin pentingnya peran pemerintah dan swasta dalam usaha pertambangan.
Lambatnya perkembangan pertambangan ini,antara lain disebabkan oleh belum adanya peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang pertambangan.Baru pada tahun 1899,pemerintah Hindia Belanda berhasil mengundangkan Indische Mijnwet (Staatblad 1899-214).Indische Mijnwet hanya mengatur mengenai penggolongan bahan galian dan pengusahaan  pertambangan.
Oleh karena Indische Mijnwet hanya mengatur pokok-pokok persoalan saja,sehingga pemerintah colonial mengeluarkan peraturan peleksanaan berupa Mijnordonnantie yang diberlakukan mulai 1 mei 1907.Mijnordonnantie mengatur pula mengenai Pengawasan Keselamatan Kerja (tercantum dalam pasal 356 sampai dengan pasal 612).Kemudian pada tahun 1930 Mijnordonnantie 1907 dicabut dan diperbaharui dengan Mijnordonnantie 1930 yang berlaku sejak tanggal 1 juli 1930.Dalam Mijnordonnantie 1930, tidak lagi mengatur mengenai Pengawasan Keselamatan Kerja Pertambangan,tetapi diatur tersendiri dalam Mijn Politie Reglement(Staatblad 1930 No.341)yang hingga kini masih berlaku.
Dalam pelaksanaan Indisce Mijnwet terdapat hal-hal yang masih menghambat kegiatan swasta,dan telah mengalami dua kali amandement (perubahan) yaitu pada tahun 1910 dan 1918.Setelah itu kegiatan pertambangan swasta dapat benar-benar berkembang dan mencapai puncaknya akhir 1930-an,menjelang pecahnya Perang Dunia II.
Semasa Hindia Belanda,usaha pertambangan dilaksanakan oleh pemerintah maupun oleh swasta dengan menggunakan berbagai pola atau bentuk perizinan.Semula memang telah menjadi kebijaksanaan pemerintah Hindia Belanda untuk mengusahakan sendiri tambang-tambang besar yang dinilai vital seperti tambang batu-bara dan timah.Akan tetapi untuk beberapa proyek yang besar seperti pengembangan tambang nikel di Sulawesi Tenggara, pengusahaannya dilakukan oleh pihak swasta berdasarkan suatu kontrak khusus dari pemerintah.Kontrak itu,dikenal dengan sebutan 5a contract karena didasarkan pada ketentuan pasal 5a Indisce Mijnwet.
Pasal 5a adalah pasal yang ditambahkan pada Indisce Mijnwet saat dilakukan amandement tahun 1910.Bunyi Pasal 5a selengkapnya sebagai berikut:
1.   Het Gouverment is bevoegd opsporingen en ont-ginningen te doenplaats hebben,waar die niet in strijd komen met aan opspoorders of concessionarisen verlende rechten.(Pemerintah berwenang untuk melakukan penyelidikan dan eksploitasi selama hal itu tidak bertentangan dengan hak-hak yang telah diberikan kepada penyelidik atau pemegang hak konsesi).
2.   Het kan te dien einde of zelf opsporingen en ondernemen,of met personen of vennotschappen die voldoen aan het eerst lid van artikel 4 dezer wet,overeenkomsten aangaan,waarbij zij zich verbinden tot het onder-nemen van ontginningen of van opsporingen en ontginningen. (Untuk hal tersebut,pemerintah dapat melakukan sendiri penyelidikan dan eksploitasi atau mengadakan perjanjian dengan perorangan atau perusahaan yang  memenuhi persyaratan sebagaimana tercantum pada pasal 4 undan-undang ini dan sesuai perjanjian itu mereka wajib melaksanakan eksploitasi,ataupun penyelidikan dan eksploitasi yang dimaksud).
3.   Zoodanige overeenkomsten worden niet gesloten dan nadat daartoe telken-male bij de wet machtiging is verleend.(Perjanjian demikian itu tidak akan dilaksanakan kecuali telah disahkan dengan undang- undang.
Kemudian perlu pula dicatat bahwa pada bamandement tahun 1918 dilakukan perubahan pada ketentuan ayat (3) pasal 5a Indisce Mijnwet yaitu bahwa kontrak yang mencakup kegiatan eksplorasi saja tidak perlu harus disahkan dengan undang-undang.Liberalisasi kebijaksanaan pertambangan melalui dua kali amandemen undang-undang tersebut di atas berhasil meningkatan minat pihak swasta untuk mengusahakan kegiatan eksplorasi pertambangan di Hindia Belanda,khususnya dalam kuru waktu antara tahun 1920 sampai dengan tahun 1940.
Pada masa ini yang boleh memperoleh konsesi (hak pertambangan) dan lisensi (izin pertambangan) hanyalah mereka yang tunduk kepada Hukum Barat dan perusahaan-perusahaan yang telah di daftar di negeri Belanda dan Hindia Belanda. Dengan demikian sejak semula hanyalah orang-orang asing (bukan pribumi) yang berkecimpung dalam usaha pertambangan baik usaha perminyakan maupun pertambangan umum.
Pada kepustakaan lain, Braake menuliskan bahwa pada akhir tahun 1938 menjelang jatuhnya Pemerintah Hindia Belanda terdapat 471 buah konsesi dan izin pertambangan yang masih berlaku dengan perincian sebagai berikut:
1.  268 konsesi pertambangan untuk mineral/bahan galian yang tercantum dalam      Indusce Mijnwet.

2.  3 perusahaan pertambanganmilik pemerintah Hindia Belanda.
3. 2 usaha pertambangan patungan antara pemerintah Hindia Belanda dengan swasta.
4.2 usaha pertambangan yang dilakukan oleh swasta untuk pemerintah berdasarkan perjanjian khusus.
5.  14 kontrak 5a untuk tahap eksplorasi pertambangan dan 34kontrak 5a untuk tahap eksploitasi.
6.  142 izin pertambangan untuk mineral/bahan galian yang tercantum dalam Indisce Mijnwet.

    Sampai saat jatuhnya pemerintah Hindia Belanda (1942),selain minyak bumi, bahan tambang dari negeri ini yang sudah masuk peringkat dunia hanyalah timah saja, sedang batubara dan bauksit hanya masuk dalam pasaran internasional dalam jumlah yang sangat terbata.Meskipun demikian keadaannya,berdasarkan pengetahuan akan potensi mineral yang ada, perkembangan pertambangan ketika itu sudah dapat dikatakan optimal.


C.Perkembangan pada periode 1942-1949

Menyerahkannya tentara kerjaan Hindia Belanda KNIL, kepada balatentara jepang pada tanggal 8 maret 1942 menandai berakhirnya kekuasaan Pemerintah Hindia Belanda atas Indonesia. Selama pendudukan jepang Indische minjewet 1899 praktis tidak jalan, sebab semua kebijaksanaan mengenai pertambangan termasuk operasi minyak berada di tangan Komando Militer Jepang yang disesuaikan dengan situasi perang.
   Menjelang serbuan Jepang, tidak semua tambang di Hindia Belanda sempat dibumihanguskan oleh Belanda.Beberapa tambang yang menghasilkan bahan mentah untuk keperluan perang seperti minyak bumi, Batubara, timah, bousksit, nikel dibuka kembali dan diteruskan kegiatannya oleh orang-orang Jepang.Bahkan dengan kegigihannya yang luar biasa mereka bekerja keras untuk mencari  dan menambang bahan galian yang tidak pernah diusahakan oleh Belanda sebelumnya.
   Meskipun Jepang hanya menjajah Indonesia dalam waktu tiga tahun,Jepang telah berhasil mengembangkan potensi pertambangan Indonesia.Sejumlah tambang Batubara mereka buka untuk mendapatkan batubara kokas seperti di daerah Kalimantan selatan,sebagian lagi di berbagai lokasi di Jawa Barat untuk memasok batubara bagi kereta api di Jawa.
Selain itu,telah diusahakan pula untuk mencari dan membuka tambang tembaga,antara lain di Tirtomoyo(jawa Tengah),Sangkaropi (Sulawesi Selatan) Timbulun(Sumatera Barat),bijih besi di Lampung dan berbagai lokasi  di Kalimantan Selatan,sinaber di Kalimantan Barat dan Jawa Barat,bijih mangan di Pulau doi,bauksit di Kalimantan Barat.
Pada bulan Agustus 1945,perang pasifik usai,disusul dengan perang kemerdekaan Indonesia yang berlangsung hingga akhir 1949.Selama dalam kurun waktu ini tidak banyak yang dapat dilakukan di sector pertambangan. Sementara itu,Pemerintah Netherlands Indies civil Administration (NICA) yang berhasil menguasai sebagian pulau Jawa,dan membuka kantor Dienst van den mijnbouw di Bandung.Namun tidak banyak juga yang dapat mereka lakukan.Beberpa tambang yang sempat dikuasai oleh orang-orang Belanda,antara lain tambang timah di Bangka Belitung,tambang bauksit di Bintan mulai dibenahi,tetapi selama berkecamuknya perang kemerdekaan hingga akhir 1949 keadaannya masih jauh dari normal.
Pada tanggal 27 Desember 1949 berlangsung secara resmi penyerahan kedaulantan Belanda kepada Republik Indonesia Serikat dan pada tanggal 17 Agustus 1950 RIS dilebur menjadi Negara kesatuan Republik Indonesia.

D.  Perkembagan pada periode 1950-1966

Perkembangan kegiatan pertambangan di Indonesia dalam selama kurung waktu 1950-1966 tidak terlepas dari pengaruh perkembangan politik dalam negeri yang ditandai dengan banyak ketegangan dan pergolakan.Ketidakstabilan politik tidak memungkinkan dilaksanakannya usaha pembangunan yang berkelanjutan.Pemberontakan bersenjata timbul di beberapa daerah baik Jawa maupun di luar  Jawa.Dewan Konstituante yang di bentuk yang di bentuk menyusun Undang-Undang Dasar baru,tidak berhasil menyelesaikan tugasnya karena tidak dapat memutuskan dasar Negara.Akhirnya Konstituante dipaksa berhenti dan dibubarkan dengan Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959 sekaligus Kembali ke UUD 1945.
Di bawah demokrasi terpimpin Pemerintah langsung mengurusi dan mengelola sendiri berbagai macam kegiatan ekonomi yang di anggap penting.Akan tetapi dilain pihak Pemerintah tidak memiliki cukup dana yang di perlukan untuk melaksanakan pembangunan ekonomi sebagaimana telah direncanakan dalam pola Pembangunan Nasional Semesta Berencana yang diundangkan dalam tahun 1960.Bersamaan dengan keadaan  politik yang terus memburuk, keadaan ekonomipun terus terus merosot.Bahkan bergolaknya rasa nasional radikal yang tidak senang adanya perusahaan dan capital asing di Indonesia.Hal ini berlangsung terus sehingga timbulnya pergolakan politik dalam tahun 1965-1966.
Setelah penyerahan kedaulatan dari Belanda kepada, masalah pengawasan atas usaha pertambangan timah dan minyak bumi yang masih dikuasi modal Belanda dan modal asing lainya merupakan isu politik yang sangat peka.Oleh karena itu, pada bulan Juli 1951 anggota Dewan Perwakilan Rakyat Sementara (DPRS),Teuku Mr.Moh.Hassan dan kawan-kawan menyusun mosi mendesak Pemerintah untuk segera mengambil langkah-langkah guna membenahi peraturan dan pengawasan usaha pertambangan di Indonesia.
Usul mosi ini yang kemudian dikenal dengan sebutan”Mosi Mr.Teuku Moh.Hassan dkk”yang memuat beberapa hal, diantaranya yang terpenting ialah mendesak pemerintah supaya:
1.   Membentuk suatu komisi Negara urusan pertambangan dalam jangka waktu satu bulan dengan tugas sebagai berikut:
a.   menyelidiki masalah pengolahan tambang minyak, timah, batubara, tambang emas/perak dan bahan mineral lainnya di Indonesia.
b.   mempersiapkan rencana Undang-Undang pertambangan Indonesia yang sesuai dengan keadaan dewasa ini.
c.   mencari pokok-pokok pikiran bagi pemerintah untuk menyelesaikan/mengatur pengolahan minyak di Sumatera khususnya dan sumber-sumber minyak di tempat lain.
d.   mencari pokok-pokok pikiran bagi Pemerintah mengenai status Pertambangan di Indonesia.
e.   mencari pokok-pokok pikiran bagi Pemerintah mengenai penetapan pajak dan penetapan harga minyak.
f.   membuat usulan lain mengenai pertambangan sebagai sumber penghasilan Negara.
2.  Menunda segala pemberian izin,konsesi,eksplorasi maupun memperpanjang izin-izin yang sudah habis waktunya,selama menunggu hasil pekerjaan Panitia Negara Urusan Pertambangan.Menanggapi mosi parlemen ini,Panitia Negara yang di bentuk pemerintah berhasil menyiapkan naskah Rancangan Undang-undang pertambangan pada awal tahun 1952.Akan tetapi karena silih bergantinya cabinet, Rancangan Undang-Undang ini tidak pernah di sampaikan kepada DPRS. Namun demikian, Pemerintah dapat menerbitkan Undang-Undang NO.10 Tahun 1959 tentang Hak-hak Pertambangan. Peraturan pelaksanaan Undang-Undang ini termuat dalam Peraturan Pemerintah NO.25 Tahun 1959.
Berdasarkan undang-undang tersebut,maka semua hak pertambangan yang terbit sebelum tahun 1949 yang selama ini belum juga dikerjakan dan diusahakan kembali,ataupun masih dalam taraf permulaan penguasaan dan tidak tidak menunjukkan kesungguhan,semuanya di batalkan.Ditetapkan pula dalam undang-undang ini,bahwa sambil menunggu undang-undang pertambangan yang baru,maka atas daerah-daerah yang akibat pembatalan tadi menjadi bebas,artinya dapat dimohonkan dan diterbitkan hak pertambangan yang baru dengan ketentuan hak tersebut hanya dapat diberikan kepada Perusahaan Negara dan atau daerah swantara.Penertiban hak pertambangan ini adalah wewenang Menteri Perindustrian(yang waktu itu membawahi sector  pertambangan).
Pada tahun 1960 Pemerintah menerbitkan suatu peraturan mengenai pertambangan yang diundangkan sebagai peraturan Pemerintah Pengganti undang-undang yang kemudian menjadi undang-undang No.37 Prp.Tahun 1960 tentang pertambangan yang lebih dikenal sebagai undang-undang pertambangan1960 Undang-undang ini mengakhiri berlakunya Indische Mijnwet 1899 yang tidak selaras dengan cita-cita kepentingan Nasional dan merupakan undang-undang pertambangan Nasional yang pertama.
Dalam undang-undang Pertambangan 1960, mengizinkan Pemerintah menarik modal asing untuk mengembangkan bidang eksplorasi dan eksploitasi pertambangan berdasarkan pola production sharing contract. Sebagaimana diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 20 tahun 1963.Pola bagi hasil ini pada dasarnya tidak lain berupa peminjaman modal dari pihak asing yang akan dibayar kembali dengan hasil produksi.Namun pola ini, ketika itu tidak berhasil menarik minat swasta ataupun mendatangkan modal dari luar negeri sebagaimana yang diharapkan.

E.Periode1967-sekarang

Periode ini oleh Soetaryo Sigit disebutnya sebagai babak baru dalam kebijaksanaan ekonomi dan perkembangan pertambangan Indonesia.Babak baru ini diawali dengan ditetapkanya Ketetapan MPRS No.XXIII/MPRS/1966 tentang pembaharuan Kebijaksanaan Landasan Ekonomi Keuangan dan Pembangunan.Ketetapan MPRS tersebut, memuat beberapa hal yang terkait dengan sektor pertambangan,antara lain sebagai berikut:
1.  Kekayaan potensi yang terdapat dalam alam Indonesia perlu digali dan diolah agar dapat dijadikan kekuatan ekonomi riil (Bab II pasal 8);
2.  Potensi modal,teknologi dan keahlian dari luar negeri dapat di manfaatkan untuk penanggulangan kemerosotan ekonomi serta pembangunan Indonesia (Bab II, Pasal 10);
3.  Dengan mengingat terbatasnya modal dari luar negeri, perlu segera ditetapkan undang-undang mengenai modal asing dan modal domestik (Bab VIII, pasal 62).
Berdasarkan ketetapan MPRS di atas, disusunlah rancangan undang-undang tentang Penanaman Modal Asing,kemudian diundangkan menjadi undang-undang No.1 Tahun1967 tentang Penanaman Modal Asing. Untuk menyesuaikan kebijaksanaan baru dalam perkonomian, khususnya mengenai usaha pertambangan tidak mungkin dilaksanakan tanpa mengganti undang-undang pertambangan.Menyadari sepenuhnya urgensi penanganan hal ini, Departemen Pertambangan segera membentuk Panitia Penyusunan Rancangan Undang-undang Pertambangan. Hasil kerja Panitia diajukan kepada DPR menjelang pertengahan tahun 1967. Menyusul terbitnya Undang-undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing, terbit pula Undang-undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang ketentuan-ketentuan Pokok Pertambangan atau UUPP 1967.
UUPP 1967 memuat beberapa prinsip-prinsip yang berbeda dengan Indische Mijnwet:
1.  Penguasaan sumber daya alam oleh Negara sesuai dengan Pasal 33 UUD 1945, dimana Negara menguasai semua sumber daya alam sepenuh-penuhnya untuk kepentingan Negara dan kemakmuran rakyat(pasal 1).
2.  Penggolongan bahan-bahan galian dalam golongan strategis,vital dan non strategis dan  vital (pasal 3).
3.  Sifat dari perusahaan pertambangan,yang pada dasarnya harus dilakukan oleh Negara atau perusahaan Negara/daerah,sedangkan perusahaan swasta nasional/asing hanya dapat bertindak sebagai kontraktor dari Negara/Perusahaan Negara dan Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
4.  Konsesi ditiadakan, sedang wewenang untuk melakukan usaha pertambangan diberikan berdasarkan kuasa pertambangan(KP), sebab konsesi memberikan hak yang terlalu luas dan terlalu kuat bagi pemegang konsesi.Selain itu, hak konsesi merupakan hak kebendaan (zakelijkrechts, propertyright), sehingga dapat dijadikan jaminan hipotik.Berbeda dengan hak kontraktor dan hak pemegang kuasa pertambangan,tidak mempunyai kekuatan hukum yang demikian, menurut hukum Indonesia.
Prinsip-prinsip di atas, menunjukkan betapa besar dan kuatnya hak penguasaan dan peranan Negara atas sektor pertambangan,akan tetapi tidak berarti menutup kemungkinan turut sertanya modal dan teknologi asing dalam pengusahaan pertambangan.Karena harus diakui bahwa pengusahaan bahan galian membutuhkan modal besar,teknologi tinggi dan keahlian-keahlian tertentu.
Dengan demikian,partisipasi modal dan teknologi asing sangat diharapkan dalam pengusahaan pertambangan.Hanya saja dasar partisipasi modal asing tidak lagi sebagai concessionairis (pemegang konsesi). Mereka hanya dapat menjadi kontraktor dari Pemerintah dan pemegang Kuasa Pertambangan.

Mengenai perkembangan keterlibatan kontraktor asing di sektor pertambangan hingga tahun 1998,Kontrak Karya Pertambangan telah memasuki generasi VII,Kontrak Karya Batubara memasuki generasi III dan Kontrak Production Sharing memasuki generasi III.Dari segi produksi,hingga saat ini bagian terbesar produksi tambang utama Indonesia adalah hasil kegiatan perusahaan-perusahaan asing.Namun dalam sepuluh tahun terakhir ini,sudah mulai tampak adanya minat para pengusaha swasta nasional untuk turut bergiat dalam usaha pertambangan ,baik secara sendiri maupun dalam usaha patungan dengan pihak asing.Secara substansi dapat dikatakan bahwa Undang-undang  Nomor 11 Tahun 1967 mempunyai cirri dan karakteristik sebagai berikut;

1.  Berciri sentralistik atau ortodoks;
2.  Bertentangan dengan konstitusi,yaitu yang berkaitan dengan ketentuan bahwa tambang rakyat hanya untuk memenuhi kehidupan sehari-hari;
3.  Merendahkan hak dan martabat rakyat.
    Sejalan dengan bergulirnya reformasi yang dipelopori oleh mahasiswa pada Tahun 1998,telah membawa perubahan mendasar pada tata aturan dan sistem pemerintahan di Indonesia.Perubahan itu,adalah diterapkannya sistem otonomi daerah,yaitu sebuah sistem pemerintahan dengan pendekatan desentralisasi,dari sistem pemerintahan sebelumnya yang bersifat sentralistik.Landasan hukum sistem otonomi daerah pasca reformasi adalah UU No.22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah,yang kemudian dirubah menjadi UU No.32 Tahun 2004,tentang Pemerintahan Daerah,dan setelah adanya yudicial review oleh Mahkamah Konstitusi yang berkaitan dengan muatan calon kepala daerah dari jalur independen, maka diubah menjadi UU No.12 Tahun 2008.
  Implikasi dari diterapkannya sistem otonomi daerah, adalah diserahkannya beberapa urusan pemerintahan yang asalnya merupakan wewenang pemerintah pusat menjadi kewenangan pemerintah daerah, kecuali urusan pertahanan dan keamanan,urusan luar negeri,urusan agama,urusan moneter,dan peradilan.Dengan demikian,urusan pertambangan adalah salah satu urusan yang merupakan wewenang atau urusan rumah tangga pemerintah daerah.Salah satu wujud konkretnya, penerbitan KP yang semula jadi urusan pemerintah pusat, dilimpahkan menjadi kewenangan pemerintah daerah.


F.Rezim undang-undang No.4 Tahun 2009

Dengan di berlakunya UU No.4Tahun 2009 tentang mineral dan Batubara secara secara otomatis membuat UU No.11 Tahun 1967 dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.Maka berakhirlah rezim KP,SIPD, PKP2B dan kontrak karya akan digantikan dengan Izin Usaha Pertambangan(“IUP”).Sedangkan untuk KP,SIPD,Kontrak Karya dan PKP2B yang telah lahir sebelum berlakunya UU No.4 Tahun 2009 tetap dihormati sampai masa berlakunya berakhir.Berikut peraturan pelaksana dari UU No.Tahun 2009:
1.PP No.22 Tahun210 tentang wilayah Pertambangan.
2.PP No.23 Tahun210 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha.
3.PP No.55 Tahun 2010 tentang konsep kontrak perjanjian digantikan dengan sistem IUP.

1.Kerangka Dasar undang-undang

Secara subtansi, terdapat perbedaan mendasar antara UU No.11 Tahun 1967 dengan UU No.4 Tahun 2009,baik dalam hal penggolongan bahan galian, maupun dalam kaitannya dengan sistem pengelolaannya. Perbedaan mendasar tersebut dapat dilihat dari sisi muatan UU No.4 Tahun 2009 yang lebih baik dari muatan UU No.11Tahun 1967.Materi muatan yang di anggap cukup baik dalam UU No.4Tahun2009, diantaranya:

1. Lelang wilayah potensi bahan galian.Adanya ketentuan tentang lelang wilayah yang berpotensi mengandung bahan galian. Setiap perusahaan atau pihak yang akan melakukan pengusahaan bahan galian logam dan batubara khususnya,untuk dapat memperoleh konsesi pertambangan harus melalui proses lelang.Cara ini,dipandang sebagai suatu kemajuan dalam dunia usaha pertambangan Nasional.Ada beberapa keuntungan sistem penetapan konsesi melalui mekanisme lelang yaitu:

a.   Menekan timbulnya mafia izin tambang.Belakangan ini berkembang kecenderungan praktik-praktik jual beli konsesi tambang yang dilakukan oleh oknum-oknum tertentu yang biasanya mempunyai kedekatan atau akses dengan oknum pemda,yakni hanya bermodalkan membayar restribusi izin memperoleh sejumlah konsesi, tetapi bukan untuk diusahakan,melainkan untuk dijual kembali.Mekanisme lelang di harapkan efektif dalam menekan praktik jual beli izin konsesi pertambangan yang selama ini terjadi.Praktik jual beli izin tambang mendorong tumbuh suburnya mafia pertambangan.Akibat tindakan ini,tidak sedikit pihak yang semula benar-benar berniat berusaha di bidang pertambangan menjadi korban penipuan yang secara finansial sangat besar jumlahnya.
b.   Media filter.Hanya perusahaan yang benar-benar siap secara finansial,dan benar-benar berniat melakukan kegiatan usaha pertambangan yang akan mengikuti proses lelang,sehingga mekanisme lelang merupakan proses alamiah bagi perusahaan yang hanya hanya bermaksud coba-coba atau hanya bertindak sebagai broker izin.
c.   Meningkatkan pendapatan Negara.Melalui lelang,Negara akan memperoleh dua keuntungan sekaligus,pertama,memperoleh pemasukan bagi kas Negara,kedua,memperoleh perusahaan yang secara kualifikasi memang siap untuk melakukan kegiatan usaha pertambangan.

2.  Lebih akomodatif,yaitu dengan masuknya aturan yang berpihak kepada kepentingan rakyat,bandingkan ketentuan tentang pertambangan rakyat UU No.11 Tahun 1967 dengan ketentuan yang tertuang dalam UU No.4 Tahun 2009.

3.  Pertimbangan teknis strategis suatu bahan galian lebih ditentukan berdasarkan pertimbangan kepentingan Nasional,bukan pada jenis bahan galian. Artinya, apakah suatu bahan galian secara teknis, ekonomi, kepentingan, dan dari sisi pertahanan keamanan Negara keberadaannya strategis dan vital, maka pengelolaan menjadi kewenagan Negara/Pemerintah.
4.  Adanya pembagian kewenangan pengelolaan yang jelas antara tiap tindakan pemerintahan.

5.  Adanya upaya pengelolaan secara terintegrasi, mulai dari eksplorasi sampai pasca tambang.
Sejalan dengan itu, sesuai dengan yang tertuang dalam penjelasan umum, UU No.4 Tahun2009 ini berusaha untuk mengakomodasi suara-suara sumbang yang selama ini mengemuka, berkaitan dengan pengelolaan dan pengusahaan bahan galian.Oleh Karena itu,undang-undang baru ini, selain berusaha mengakomodasi persoalan yang selama ini berkembang, juga menyesuaikan dengan perkembangan perubahan pembangunan pertambangan baik yang bersifat Nasional maupun Internasional. Pemikiran akomodasi persoalan dan perkembangan itu tertuang dalan pokok-pokok pikiran, sebagai berikut:


1.  Mineral dan batubara sebagai sumber daya yang tak terbarukan di kuasai oleh Negara dan pengembangan serta pendayagunaannya dilaksanakan oleh pemerintah dan pemerintah daerah bersama dengan pelaku usaha.
2.  Pemerintah selanjutnya memberikan kesempatan kepada badan usaha yang berbadan hukum Indonesia, koperasi, perseorangan, maupun masyarakat setempat untuk melakukan pengusahaan mineral dan batubara berdasarkan izin, yang sejalan dengan otonomi daerah, diberikan oleh pemerintah dan/atau pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya masing-masing.
3.  Dalam rangka penyelenggaraan desentralisasi dan otonomi daerah,pengelolaan pertambangan mineral dan batubara dilaksanakan berdasarkan prinsip eksternalitas, akuntabilitas, dan efisiensi yang melibatkan pemerintah dan pemerintah.
4.  Usaha pertambangan harus memberikan manfaat ekonomi dan sosial bagi sebesar-besarnya kesejahteraan rakyat.




#
#
Pengacara Terbaik WILSON COLLING And ASSOCIATES ... Profesional - Professional Lawyer - The Law Office Of WILSON COLLING AND