Wikipedia

Hasil penelusuran

Jumat, 31 Maret 2023

PENGACARA WILSON COLLING MENYOROTI: TINDAKAN KEKERASAN OLEH OKNUM POLISI POLRES HALTIM TERHADAP WARGA DUSUN TUKUR-TUKUR DESA DODAGA, HARUS TINDAK TEGAS











--------------------------------------------------------------------
Oleh: Wilson Colling 


JAKARTA, WCALAWFIRM ~ Salah satu Wakil Ketua Dewan Pimpinan Cabang (DPC) Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi-RBA) Jakarta Pusat, Pengacara Wilson Colling, S.H, M.H, menyoroti  tindakan kekerasan oleh Oknum polisi Polres Halmahera Timur (Haltim) terhadap warga Dusun Tukur-Tukur Desa Dodaga (Suku Togutil) Kecamatan Wasilei, terkait peristiwa pembunuhan yang terjadi di Desa Gotowasi, Kabupaten Halmahera Timur, Maluku Utara—. Tindakan polisi menyiksa seseorang untuk mendapatkan bukti barang atau untuk pengakuan tidak dibenarkan dengan alasan apapun. Selain melawan hak asasi manusia, mencari informasi dengan cara semacam itu hanya menunjukkan rendahnya profesionalisme mereka. Kekerasan polisi selama interogasi harus dihentikan - terlepas dari orang tersebut terindikasi melakukan kejahatan harus menghormati prinsip asas praduga tak bersalah. Jumat (31/3/2023)

Sayangnya, praktik kekerasan oleh polisi terus terjadi. Yang terbaru, pada tanggal 22/3/2023, anggota Kepolisian Polres Halmahera Timur (Haltim), Provinsi Maluku Utara ditengarai melakukan kekerasan saat menangkap Masyarakat Adat Suku Togutil, Tobelo Dalam, Alen Baikole (polisi beri inisial AB), warga asli suku Togutil. Dia ditangkap di tempat kerjanya, di Subaim. Alen diduga mengalami penyiksaan saat penangkapan atau interogasi. Luka memar di wajah Alen terlihat dari pemukulan saat interogasi. Alen juga mengeluhkan sakit pada bagian dada dan seluruh tubuh akibat tendang tersebut. Tangan Alen juga dingin ke kursi selama proses interogasi.

Masalah menjadi serius ketika Penyidik ​​Menekan dan memaksa Y istri Alen, untuk mengakui bahwa Alen yang telah melakukan pembunuhan. Y meyakinkan penyelidik bahwa Alen tidak melakukan pembunuhan karena saat kejadian Alen bersama istri Y. Dengan nada mengancam polisi akan memenjarakan Y selama tujuh tahun, polisi memaksanya untuk membenarkan tuduhan tersebut. [dikutip dari berita:https://www.mongabay.co.id/2023/03/28/was-was-stigma-pembunuh-warga-adat-tobelo-dalam-di-dodaga-protes-tindakan-polisi/]

"Wilson Colling, menyayangkan dan mengutuk keras atas sikap dan tindakan oknum polisi Polres Halmahera Timur, atas tindakan main hakim sendiri terhadap warga Dusun Tukur-Tukur Desa Dodaga. Padahal Polisi sebenarnya secara internal memiliki aturan untuk mencegah penyiksaan berulang. Salah satunya adalah Peraturan Kapolri Nomor 8 Tahun 2009. Dalam peraturan ini, saat bertugas, polisi diwajibkan untuk menjunjung norma tinggi dan aturan yang berlaku. Polisi dilarang untuk melakukan kekerasan saat bertugas, kecuali untuk mencegah kejahatan." 

Larangan ini tertuang dalam Pasal 10 huruf (c ) Peraturan Kapolri (Perkap) Nomor 8 tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia Dalam Penyelenggaraan Tugas Polri.

Secara garis besar, Pasal 10 huruf (c) Perkap ini berbunyi, “dalam melaksanakan tugas penegakan hukum, setiap mandat/anggota Polri wajib mematuhi ketentuan perilaku (code of conduct), yaitu tidak boleh menggunakan kekerasan, kecuali dibutuhkan untuk mencegah kejahatan, membantu melakukan penangkapan terhadap pelanggaran hukum atau penangkapan sesuai dengan peraturan menggunakan kekerasan"

Larangan melakukan kekerasan saat bertugas juga tertuang dalam Perkap yang sama, Yakni pada Pasal 11 ayat (1) huruf (j), Pasal 24 huruf (b), Pasal 27 Ayat (2) huruf (h), dan Pasal 44.

Dalam perkap ini disebut tidak ada gunanya atau alasan apapun yang diperbolehkan untuk menggunakan kekerasan yang tidak berdasarkan hukum.

Polisi yang melakukan tindakan pelanggaran HAM wajib mempertanggungjawabkan sesuai dengan kode etik profesi kepolisian, disiplin dan hukum yang berlaku. Sanksi ini tertuang dalam Peraturan Kapolri (Perkap) Nomor 14 Tahun 2011 tentang Kode Etik Profesi Kepolisian Republik Indonesia. 

Perkap Nomor 14 ini juga mengatur tentang larangan melakukan kekerasan saat polisi bertugas. Dalam Pasal 13 Ayat (1) huruf (e) tertulis, “Setiap anggota Polri dilarang berperilaku kasar dan tidak patut.”

Sementara Pasal 15 huruf (e) berbunyi, “Setiap anggota Polri dilarang menilai, berucap dan bertindak sewenang-wenang.” 

Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Polri juga mengatur tentang polisi saat bertugas, yakni Pasal 14 huruf (i) dan Pasal 19. 

Pasal 14 huruf (i) berbunyi, “Dalam melaksanakan mandat pokok, Polri bertugas melindungi keselamatan jiwa raga, harta benda, masyarakat, dan lingkungan hidup dari gangguan tatanan dan/atau bencana termasuk memberikan bantuan dan pertolongan dengan menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia .”

Lanjut, Wilson Penyidik ​​​​​​​​kepolisian juga harus menyadari bahwa pengakuan tuduhan hanyalah salah satu alat bukti. Menurut KUHAP, klausa klausa bukanlah variabel terpenting dalam penyelesaian suatu masalah. Yang lebih penting adalah saksi dan dokumen lain yang membuktikan adanya kejahatan. Mereka harus mencari bukti lain untuk mendukung penyelidikan, bukan memaksa seseorang untuk mengaku."

Memaksa seseorang untuk mengaku melalui penyiksaan adalah perilaku resmi masa lalu yang harus ditolak. Cara ini justru bisa membuat polisi salah dalam mengidentifikasi tersangka. Orang-orang dipaksa untuk mengaku bersalah karena mereka tidak tahan dengan siksaan.

Menurut Wilson, cara-cara biadab dalam menginterogasi seseorang menunjukkan bahwa reformasi Polri mandek. Reformasi sudah berlangsung selama kurang lebih 20 tahun, namun polisi masih menggunakan cara-cara kuno untuk mendapatkan pengakuan. Pengetahuan mereka tentang hak asasi manusia masih terbatas.

Lebih buruk lagi: polisi tampaknya tidak menganggap serius penyiksaan. Tidak heran, hukuman yang diberikan kepada petugas polisi yang dihukum karena penyiksaan relatif ringan, bahkan ada yang tidak tunduk. 

Kekerasan polisi seringkali mengakibatkan cacat permanen, trauma bahkan ada yang kehilangan nyawa. 

Polisi harus menjamin hak-hak korban penyiksaan.Polisi seharusnya berkembang sedemikian rupa agar kekerasan tidak terulang kembali. Jika ingin tetap menjadi pengayom masyarakat, polisi harus meninggalkan tradisi bermain siksaan.

Berdasarkan deskripsi yuridis di atas, mohon kepada Kapolri, Kapolda Maluku Utara, untuk menindak tegas oknum polisi Polres Halmahera Timur, yang tidak profesional dalam menjalankan tugasnya, yang halal ini sangat berpotensi merusak Citra institusi Kepolisian.Oknum-oknum polisi yang jadi benalu dalam institusi harus dipangkas. (WCA)

______________________________________________

Referensi :

UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia diakses pada 31 Maret 2023

Perkap Nomor 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia dalam Penyelenggaraan Tugas Polri diakses pada 31 Maret 2023

Perkap Nomor 14 Tahun 2011 tentang Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia diakses pada 31 Maret 2023

Kutipan berita: diakses pada tanggal 30 Maret 2023, Judul berita: "Was-was Stigma Pembunuh, Warga Adat Tobelo Dalam di Dodaga Protes Tindakan Polisi" https://www.mongabay.co.id/2023/03/28/was- was-stigma-pembunuh-warga-adat-tobelo-dalam-di-dodaga-protes-tindakan-polisi/

Kamis, 30 Maret 2023

PENGACARA WILSON COLLING BUKA SUARA: RELOKASI WARGA DESA KAWASI TIDAK MENGAKOMODASI SEBANYAK -BANYAK ASPIRASI MASYARAKAT

 











PENGACARA WILSON COLLING BUKA SUARA:RELOKASI WARGA DESA KAWASI TIDAK MENGAKOMODASI SEBANYAK -BANYAK ASPIRASI MASYARAKAT
--------------------------------------------------------------------
Oleh:Wilson Colling


Jakarta, WCALAWFIRM ~ Salah satu Wakil Ketua Dewan Pimpinan Cabang (DPC) Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi-Rumah Bersama Advokat) Jakarta Pusat, Pengacara Wilson Colling, S.H, M.H.,  dan juga sebagai orang obi, buka suara menilai soal rencana relokasi warga Desa Kawasi, Kecamatan Obi, Kabupaten Halmahera Selatan , merupakan suatu hal yang sangat serius dan krusial. Menyangkut eksistensi dan masa depan seluruh warga Desa Kawasi. Dan bukan hanya terkait dengan kepentingan bisnis HARITA GROUP dan beberapa elit politik serta penguasa Desa Kawasi.

Oleh karena itu wajar jika sebanyak mungkin komponen masyarakat Desa Kawasi berpartisipasi dalam pengambilan keputusan dan pengujian. Salah satu pilihan adalah musyawarah mufakat oleh masyarakat kampung Kawasi.

Ujar Wilson, pendekatan proses konsensus untuk menentukan apakah akan merelokasi dan/atau mentransfer warga merupakan wujud nyata membuka peluang masyarakat seluas-luasnya kemungkinan untuk berpartisipasi. Dan persyaratan pemindahan itu harus tercantum dalam peraturan daerah (Perda) karena Desa Kawasi merupakan Desa tertua di Pulau Obi, tidak mudah dicabut dari akar budaya dan identitas sebagai warga Desa Kawasi.

“Saya menyayangkan relokasi warga Desa Kawasi yang hanya disetujui oleh Pemerintahan Daerah Kabupaten Halmahera Selatan dengan pihak Perusahaan PT Harita Group, hanya dengan nota kesepahaman atau Memorandum of Understanding (MOU) semata, tanpa menelaah peraturan, tetapi dalam proses pembahasannya tidak membuka partisipasi masyarakat secara luas- luasnya selama ini. masalah kesepakatan warga, pemerintah dan PT Harita Group dalam sosialisasi rencana relokasi."

Agar hal ini masyarakat dapat mengetahui apa alasan objektif mengapa Pemerintah dan perusahaan Harita Group melakukan relokasi Desa Kawasi tersebut, guna kepentingan hak-hak warga dan untuk mendapatkan kepastian hukum yang diatur dalam Peraturan Daerah (Perda). Terbukti banyak kritik pro dan kontra yang terjadi di kalangan masyarakat dari para elit politik dan Tokoh agama, Tokoh adat, pemerintah desa dan lintas organisasi mendatangi DPRD Halmahera Selatan, juga dari JATAM, bahkan perlawanan dari masyarakat Desa Kawasi rencana relokasi akan melakukan perlawanan.” Jakarta, Rabu (29/3/2023).

Akibat tidak melibatkan masyarakat Desa Kawasi dalam rencana relokasi ketempat hunian baru, karena prosesnya tidak transparan belum ada kesepakatan, namun pembangunan rumah dan ruang publik tetap berjalan.
Bangunan itu bernama Eco Village. . Hal ini sangat merugikan penduduk Desa Kawasi, karena merampas hak-hak penduduk.

Wajar mereka menyampaikan sikapnya termasuk bila dipaksakan relokasi masyarakat akan melakukan perlawanan keras, yang tentu saja perlawanan yang dimaksud di sini adalah mempertahankan hak-hak hukum mereka tidak sebatas rumah ganti rumah semata. Ini masalah bisnis yang meraup keuntungan yang besar tidak bisa terlihat merelokasi warga tanpa alasan yang pasti.

Lebih lanjut, Wakil Ketua Peradi DPC Jakarta Pusat ini mengaku, dirinya juga mendapat banyak keberatan terhadap rencana relokasi warga Desa Kawasi. Hal tersebut disampaikan langsung oleh masyarakat baik langsung maupun melalui saluran WhatsApp dan lainnya. Oleh karena itu, sebagai orang obi punya kewajiban moral menyampaikan secara terbuka terhadap Pemerintah maupun pihak Perusahaan PT Harita Group

“Suara-suara itu disampaikan langsung kepada Saya, baik dari para tokoh maupun masyarakat biasa. Mereka tidak dalam rangka memblokir investasi dengan rencana relokasi warga. Tapi karena proses rencana relokasi penuh dengan intrik dan siasat busuk pihak perusahaan PT Harita Group mengalihkan resiko kepada Pemerintah Daerah, bahwa rencana relokasi pemukiman warga Desa merupakan program pemerintah daerah, sedangkan pihak Perusahaan PT Harita Group hanya sebagai program pendidukung pemerintah
. Yang artinya proses relokasi tidak berdasarkan alasan tujuan guna menghindari hak dan kewajiban yang timbul di kemudian hari.

KESIMPULAN DAN SARANA:

Berdasarkan deskripsi tersebut di atas, maka saya sebagai putra Obi  memberikan saran agar rencana relokasi warga desa Kawasi Perlu dikaji kembali secara komprehensif melalui pendekatan sosiologis, antropologis dan akademis .

Meminta Pemerintah  Daerah  dan pihak Perusahaan PT Harita Group  secara terbuka dan kongkrit menyampaikan kepada masyarakat alasan rencana relokasi pemukiman warga Desa Kawasi.

Terkait ganti untung bukan sebatas rumah ganti rumah harus ada hak-hak lain yang perlu di pertimbangkan dan di bicara secara transparan. Ini urusan bisnis yang meraup keuntungan yang besar, bukan yayasan

Alasan Objektif : Rencana relokasi pemukiman warga karena kegiatan tambang nikel PT Harita Group yang sudah mengepung pemukiman warga Desa Kawasi sehingga hak konstitusional masyarakat terganggu yakni hidup sehat, menghirup udara segar dan lainnya telah dilanggar oleh pihak Perusahaan, maka alasan objektifnya harus di relokasi.

Jadi Pemerintah Daerah dan pihak Perusahaan PT Harita Group - jangan  membuat karangan bebas alasan relokasi karena daerah tersebut rawan gempa bumi. Ini yang namanya siasat busuk.

Tidak ada urgensi pemerintah daerah membuat program relokasi warga Desa Kawasi

Senin, 27 Maret 2023

PERLINDUNGAN HAK ATAS LINGKUNGAN HIDUP YANG BAIK DAN SEHAT SEBAGAI BAGIAN DARI HAK ASASI MANUSIA

 











WCALAWFIRM ~ Ketentuan Pasal 28 H Ayat (1) Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dengan tegas menyatakan, “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan ” .

Konstitusionalitas HAM atas lingkungan hidup  semakin ditekankan dalam  UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Pasal 9 ayat (3) menegaskan: “setiap orang berhak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat”.

Hal ini kemudian di pertegas lagi dengan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH). UUPPLH merupakan payung hukum dan jaminan perlindungan HAM atas lingkungan hidup. 

Berdasarkan Pasal 5 Ayat (1) UUPLH yang berbunyi: “Setiap orang mempunyai hak yang sama atas lingkungan hidup yang baik dan sehat”. Namun demikian, disamping mempunyai hak, menurut Pasal 6 Ayat (1) UUPLH: ”setiap orang berkewajiban memelihara kelestarian fungsi lingkungan hidup serta mencegah dan menanggulangi pencemaran dan perusakan lingkungan hidup”.



Selasa, 21 Maret 2023

KEADILAN RESTORATIF SEBAGAI TUJUAN PELAKSANAAN DIVERSI PADA SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK

 











______________________________________________
KEADILAN RESTORATIF SEBAGAI TUJUAN PELAKSANAAN DIVERSI PADA SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK
-------------------------------------------------------------------
Oleh: Wilson Colling

WCALAWFIRM, ~ Kejaksaan Tinggi (Kejati) DKI Jakarta menawarkan restorative justice (RJ) dalam menyelesaikan kasus penganiayaan oleh Mario Dandy Satriyo (20) terhadap David Ozora (17). Kendati demikian, keputusan apakah keadilan restoratif itu diterapkan atau tidak tergantung keluarga David.

Hal itu dikatakan oleh Kepala Kejaksaan Tinggi (Kajati) DKI Jakarta, Reda Manthovani selepas menjenguk David di RS Mayapada, Kuningan, Jakarta Selatan. Reda mengungkapkan penawaran untuk keadilan restoratif itu dilakukan sesuai dengan hukum acara yang berlaku.

“Kami akan tetap menawarkan, masalah dilakukan RJ atau tidak tergantung para pihak, khususnya keluarga korban,” jelas Reda kepada wartawan, Kamis (26/3/2023).

Akibat dari Peryataan Kepala Kejaksaan Tinggi (Kejati) mendapat reaksi keras dari kalangan masyarakat apa yang ditawarkan oleh pihak Kajati DKI Jakarta. Untuk menanggapi pernyataan Kejati kita dapat melihat dari sudut pandang undang-undang perlindungan anak apakah pernyataan Kejati DKI tersebut, menyalahi ketentuan yang ada, atau memang undang-undang mensyaratkan demikian.?

PEMBAHASAN :

Dalam kasus di atas, kita harus melihat terlebih dahulu korban usia dan pelaku tindak pidana untuk menentukan peraturan perundang-undangan yang tepat dalam penanganan kasus tersebut. Indonesia sejak tahun 2002 telah memiliki undang-undang khusus (lex specialis) dalam memberikan perlindungan terhadap anak.

Selain menjamin perlindungan selama dalam proses penyelidikan dan penyidikan, Undang-undang Nomor  35 tahun 2014 perubahan terhadap Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak  (UU PA) juga telah memberikan jaminan hukum berupa rangkaian perlindungan khusus bagi anak yang menjadi korban tindak pidana, yaitu: bayarhabilitasi (pemulihan) baik anak dalam lembaga maupun di luar lembaga, upaya perlindungan dari pemberitaan identitas melalui media massa dan untuk menghindari lebelisasi, pemberian jaminan keselamatan bagi saksi korban dan saksi ahli, baik fisik, ntar mental, maupun sosial, dan, pemberian aksesibilitas untuk mendapatkan informasi mengenai perkembangan perkara yang telah menjadikannya sebagai korban penganiayaan


Dalam undang-undang tersebut dijelaskan bahwa anak adalah seorang yang belum berusia 18 tahun (delapan belas tahun), termasuk anak yang masih dalam kandungan.
Merujuk pada ketentuan ini baik korban ( DO) maupun pelaku (AG) sama-sama berusia ABH.

Oleh karena itu, salam penanganan kasus
tersebut menggunakan dua undang-undang yakni: undang-undang nomor 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak (UU Perlindungan Anak) dan undang-undang Nomor 11 tahun 2012 tentang sistem peradilan anak (UU Sistem Peradilan Anak), dalam penanganan anak sebagai pelaku tindak pidana.

Maka menurut hemat saya Kepala Kejaksaan Tinggi (Kejati) DKI, sudah tepat menawarkan keadilan restoratif (keadilan restoratif), terlepas dari korban keluarga korban menolak tawaran tersebut, namun pihak Kejati harus menawarkan opsi itu karena merupakan sistem peradilan anak yang mengatur demikian sebagai amanat konstitusi.

Memberikan Keadilan Restoratif, bukan dalam rangka rasionalisasi tindakan pemukulan/kekerasan yang dilakukan anak di bawah umur.
Namun dimaksudkan agar penyelesaian perkara ini, dapat dimusyawarahkan secara bersama-sama dalam menjatuhkan hukuman bagi anak pelaku tindak pidana, sebagai bentuk pertanggungjawaban pelaku terhadap korban, serta memberikan efek jera meskipun bukan melalui penjara. persetujuan dan persetujuan dari pihak korban menjadi wajib dalam Keadilan dipulihkan /Diversi

KESIMPULAN

Berdasarkan deskripsi yuridis di atas, kesimpulan menjadi saya, Anak merupakan amanat dari Tuhan Yang Maha Esa yang di dalam melekat harkat dan martabat sebagai manusia seutuhnya. Hak-hak setiap anak wajib dijunjung tinggi tanpa anak tersebut meminta.

Kasus anak di bawah umur yang dibawa dalam proses peradilan adalah kasus-kasus yang serius saja, itu pun harus selalu mengutamakan prinsip kepentingan terbaik bagi anak, serta proses penghukuman adalah jalan terakhir (ultimum remedium) dengan tetap tidak mengabaikan hak-hak anak.
Di luar itu kasus-kasus anak dapat diselesaikan melalui mekanisme non formal yang berpedoman pada pedoman yang baku. Bentuk penanganan non formal dapat dilakukan dengan keadilan dipulihkan/diversi sebagaimana proses mediasi yang difasilitasi oleh penegak hukum pada setiap tingkat untuk mencapai keadilan restoratis yang dapat diselesaikan dengan kewajiban anak yang berhadapan dengan hukum yang mengikuti pendidikan dan atau pelatihan lembaga tertentu seperti berupa tindakan lain yang dilakukan dengan pemulihan bagi anak serta korban, ataupun jika terpaksa terjadi penghukuman hak anak tidak boleh diabaikan.
Sehingga pada akhirnya penanganan non formal dapat dilaksanakan dengan baik jika diimbangi dengan upaya menciptakan sistem peradilan yang kondusif

Sesungguhnya, diversi dapat digambarkan sebagai suatu sistem dimana fasilitator mengatur proses penyelesaian pihak-pihak yang bertikai untuk mencapai penyelesaian yang memuaskan sebagai keadilan restoratif. Tradisi dan mekanisme musyawarah mufakat merupakan wujud nyata dalam memperkuat hukum yang hidup dalam masyarakat sejak dulu. Dengan demikian, inti dari keadilan restoratif adalah penyembuhan, pembelajaran, moral, partisipasi dan perhatian masyarakat, dialog, rasa memaafkan, tanggung jawab dan membuat perubahan, semua ini merupakan pedoman bagi proses pemulihan dalam perspektif keadilan restoratif.(WCA)

---------------------------------------------------------------------

Dasar Hukum :
Undang-undang Nomor 17 Tahun 2016 tentang perubahan kedua atas undang-undang nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Kemudian diubah dengan UU Nomor  35 tahun 2014 (UUPA)
Undang-undang Nomor 11 tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Anak

//_________
#lawyerlifestyle
#lawyermotivation
#wcalafirm #edukasihukum
#justice # lawyered #lawyersday
#wcalawfirm #firmahukum #lawfirmjakarta
#lawfirmjakartaselatan #kantorhukumjakarta
#kantorhukumjakartaselatan #kantorhukumindonesia
#lawyerjakarta #lawyerjakartaselatan #advokatjakarta #advokatindonesia #advokatperadi #lawyerlife#kutipanbijak
#lawyerindonesia #pengacaraindonesia
#pengacarajakarta #advokatindonesia
#kutipantokoh #queteslawyer #kutipanhukum #quoteslawyer

Sabtu, 18 Maret 2023

HUKUM JADI BARANG DAGANGAN PRADOKS PENEGAKKAN HUKUM INDONESIA












Oleh:  Wilson Colling


Jakarta, WCALAWFIRM,~ Ketentuan Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945, dengan tegas menyatakan “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.”

Dalam kenyataannya ketentuan-ketentuan imperatif dalam rumusan pasal tersebut acapkali dilanggar bahkan amputasi oleh aparat berseragam yang menyebut dirinya sebagai PENEGAK HUKUM.

Berbagai peristiwa yang terjadi di tengah-tengah masyarakat yang ditemukan dan disaksikan dengan mata kepala sendiri maupun melalui media elektronik maupun melalui media cetak pada hakikatnya bersifat paradoks.

Indonesia adalah negara hukum tetapi dalam prakteknya tidak mencerminkan sebagai negara hukum, bahkan banyak tindakan aparat penegak hukum tugas dan fungsinya bertentangan dengan hukum baik dalam proses penyelidikan, penyidikan dengan waktu yang tidak menentu alias perkara jalan di tempat. Dan bahkan aparat penegakan hukum yang menunggu perkara tersebut viral baru ditindak lanjuti tak ubahnya mental aparat penegak hukum kita seperti "  PEMADAM KEBAKARAN  "

Paradoks aparat penegak hukum Indonesia yang menjadi realitas memilihkan adalah di satu sisi apabila masyarakat miskin yang bersalah ringan, namun mereka diganjar dengan hukuman yang berat, sedangkan di sisi lain apabila kelompok Borjuis yang melakukan kejahatan berat, akan tetapi mereka mendapatkan hukuman yang sangat ringan. Meskipun dalam hukum terdapat asas "  HUKUM TIDAK BOLEH BERBELAS KASIHAN",
namun kebijakan penal yang terkandung di dalamnya dianggap bertentangan dengan nalar (  Contra Rationem)  .

Saat ini masyarakat tidak merasakan adanya  SUPREMASI HUKUM  yang mewujudkan persamaan kedudukan dihadapan hukum (equality before the law)

Pada akhirnya, kalangan masyarakat umum menganggap bahwa pada kenyataannya "Hukum Tidak Dapat Melawan Kekuasaan" (contra vim non valet ius), karena faktanya mereka alami bahwa hukum di negara Indonesia seperti MATA PISAU yang tajam ke bawah tatapi tumpul ke atas .

Hukum terkesan menjadi "  BARANG  DAGANGAN  " yang dapat diperjualbelikan oleh kalangan yang memiliki kekuatan orang yang mempunyai pengaruh dan sudah pasti  CUKONG  pemilik modal yang disebut "  KAUM KAPITALIS " . Kepercayaan masyarakat terhadap penegakan hukum di Indonesia pada akhirnya menjadi sangat buruk akibat hukum transaksional, yang berdampak pada HUKUM KEHILANGAN KEWIBAWAAN"

Lebih dari itu, akibat dari tidak profesionalisme aparat penegakan hukum kita, sehingga pada tahun 2001 sampai dengan 2002 sempat jadi trending topik di media sosial Twitter dan lainnya terkait #TagarPercumaLaporPolisi ini merupakan ungkapan jujur ​​mengecewakan masyarakat terhadap kebanyakan oknum kepolisian yang tidak profesional. Tagar tersebut mendapatkan dukungan luas di media sosial yang sangat dekat dengan persoalan masyarakat.

Sangat penting dipahami kenyataan sosial
yang terjadi di Indonesia sekarang ini adalah kecenderungan bahwa kepercayaan masyarakat terhadap Tugas Hukum yang bersifat dwitunggal yaitu memberikan “Kepastian Hukum” dan Kesebandingan Hukum telah kehilangan makna, sehingga tujuan hukum untuk mewujudkan perdamaian hidup bersama sangat sulit dicapai, karena dewasa ini masyarakat Indonesia cenderung melakukan hakim main sendiri  (eigen richting )

Berdasarkan deskripsi tersebut di atas, maka menjadi kesimpulan saya dalam upaya mengembalikan kepercayaan masyarakat terhadap polisi. Saya menyarankan agar polisi segera dan mampu membenahi kinerjanya. Polisi harus melayani masyarakat dengan maksimal tanpa memandang tingkat sosial secara terbuka. Sehingga keberadaan polisi dapat dirasakan oleh seluruh masyarakat Indonesia.

" Selain itu, internal polisi juga harus tegas dalam menangani anggota kepolisian yang bekerja tidak sesuai dengan kode etik Polri.

Oleh karena itu, saya mengapresiasi langkah Kapolri yang berani memecat pejabat polri yang melakukan pelanggaran." (WCA)

"............ ✍️

_______//__________
#lawyerlifestyle
#lawyermotivation
#wcalafirm  #edukasihukum
#justice  #lawyered  #lawyersday
#wcalawfirm  #firmahukum  #lawfirmjakarta
#lawfirmjakartaselatan  #kantorhukumjakarta
#kantorhukumjakartaselatan  #kantorhukumindonesia
#lawyerjakarta  #lawyerjakartaselatan
#lawyerindonesia  #pengacaraindonesia
#pengacarajakarta  #advokatindonesia  #advokatjakarta  #advokatindonesia  #advokatperadi
#lawyerlife  #kutipanbijak  #kutipantokoh  #queteslawyer  #kutipanhukum #quoteslawyer