By: WCALAWFIRM
BAB 1
PENDAHULUAN
A.Latar Belakang
Sejarah
telah mencatat bahwa penjajahan Belanda atas kepulauan
nusantara,berawal pada tahun1619.Dalam tahun itu,pasukan vereenigde oost
Indische Compangni (VOC) di bawah pimpinan Jan Pieterzoon Coen berhasil
merebut Jayakarta dan kemudian mendirikan kota baru yang diberi nama
Batavia.VOC yang semula merupakan perusahaan dangang Belanda yang
bertujuan mendapatkan menopoli atas perdagangan rempah-rempah di wilayah
kepulauan nusantara,kemudian berkembang menjadi suatu kekuatan
penjajah.Untuk memenuhi ambisinya,VOC dibawah pimpinan J.P.Coen tidak
segan-segan berperang menghancurkan kekuasaan raja-raja pribumi yang
menghambat usaha mereka, khususnya kerajaan-kerajaan di
jawa dan Maluku.Kemudian melalui politik devide et impera voc tidak saja
berhasil memperluas wilayah perdagangnnya,tetapi juga memperoleh
tambahan tanah jajahan.
Pada
akhirnya VOC lebih cenderung untuk mempertahankan dan memperluas tanah
jajahan ketimbang melakukan misi utamanya yaitu usaha perdagang.Selain
itu,banyak pejabat voc di Batavia berlaku curang,pemborosan,infesiensi
dan korupsi yang turut memperburuk kondisi keuangan perusahaan.Hutang
yang sudah menumpuk pada pemerintah Belanda tidak mungkin lagi
terbayar.Akhirnya setelah dinyatakan bangkrut (failliet),maka pada
tanggal 1 Januari 1800,VOC di bubarkan dengan ketentuan semua tanah
jajahan miliknya diambilalih oleh pemerintah Belanda.Sejak itu pula
terbentuk secara resmi pemerintahan colonial Hindia Belanda yang
berkuasa hingga tanggal 8 maret 1942 yaitu ketika Belanda menyerah tanpa
syarat pada balatentara Jepang dalam perang Pacifik.
Sejalan dengan kesimpulan diatas,dapat dipahami jika VOC
sebagai perusahaan dagang dalam meluaskan usahanya ke berbagai macam
perkebunan tidak pernah menunjukkan minat pada usaha pertambangan
(menambang sendiri).Maka demikian,VOC tetap terlibat dalam kegiatan
perdagangan hasil-hasil tambang,sebagaimana dicatat oleh sejarah bahwa
pada tahun 1710 mulai melakukan pembelian timah dari Sultan Palembang
yang dihasilkan oleh tambang-tambang yang dikerjakan oleh orang-orang
Cina di Pulau Bangka.Bahkan pada akhirnya VOC memperoleh monopoli atas
perdagangan timah ini,jadi peranannya hanya sebagai tengkulak yang tidak
pernahberminat melakukan pertambangan sendiri.
Keterlibatan
swasta mendorong Pemerintah Hindia Belanda membentuk suatu Komisi
khusus (1850) untuk mempelajari dan menyusun bentuk pengaturan usaha
pertambangan.Komisi berhasil menyusun sebuah peraturan
pertambangan (mijnreglement) yang pertama.peraturan ini memungkinkan
pemberian hak atau konsesi penambangan kepada swasta warga negra
Belanda,tetapi masih terbatas untuk daerah-daerah di luar Pulau
Jawa.Pengecualian Pulau Jawa karena pemerintah Hindia Belanda
berpendapat akan timbul konflik (overlapping) antara hak pertambangan dan system cultuurstelsel dalam pertanian dan perkebunan yang telah
diberlakukan di Pulau Jawa.Pemerintah Hindia Belanda rupanya belum
mendapatkan cara yang tepat bagaimana cara memisahkan hak atas tanah dan
hak atas bahan galian yang terdapat didalam tanah yang bersangkutan
Oleh karena mulai dirasakan perlunya mengatur kegiatan pertambangan secara
khusus,pada tahun 1852 pemerintah mendirikan “Dienst van het
Mijnwezen”(Jawatan Pertambangan).
Tugas jawatan ini adalah melakukan
eksplorasi geologi-pertambangan di beberapa daerah untuk kepentingan
pemerintah Hindia Belanda.Hasil penemuannya antara lain;endapan batubara
Ombilin Sumatera Barat(1866),namun baru berhasil ditambang oleh
pemerintah pada tahun 1891.Penjajahan Belanda Mijnwet system kontrak
5A.Sejak zaman Hindia Belanda,di Nusantara berlaku Mijnwet dengan semua
peraturan pelaksanaan dan perubahannya.Dalam Mijnwet tidak dibedakan
antara minyak dan gas bumi dengan bahan galian lainnya.Oleh sebab
itu,pengusahaan kedua bahan tambang ini diatur berdasarkan asas hukum
yang sama,kecuali segi teknik yang memerlukan pengaturan terpisah.
Semenjak
Proklamasi kemerdekaan dan Indonesia mempunyai UUD 1945 yang berlaku
sejak 18 Agustus 1945,Undang-undang pertambangan pada masa Hindia
Belanda masih tetap diberlakukan untuk waktuyang cukup lama,meskpun
dirasakan tidak sesuai dengan prinsip dasar yang terkandung dalam pasal
33 ayat (3) UUD 1945.
Usaha
pemerintah menggantikan Mijnwet telah dimulai sejak adanya Mosi Teuku
Moehammad Hasan dan kawan-kawan pada tahun 1951,yang diikuti dibentuknya
Panitia Negara Urusan Pertambangan (PNUP).Salah satu tugas PNUP adalah
mempersiapkan undang-undang pertambangan Indonesia yang sessuai dengan
keadaan alam kemerdekaan berdasarkan ekonomi nasional.Panitia ini
berhasil menyusun rancangan undang-undang (RUU) pertambangan,namun sampai
PNUP bubar,RUU ini tidak pernah menjadi undang-undang karena banyaknya
kepentingan politik pada masa itu.
Setelah
Presiden mendekritkan berlakunya UUD 1945,barulah Indonesia mempunyai
undang-undang pertambangan nasional,yaitu UU No.37prp Tahun 1960 tentang
pertambangan.Pertambangan dapat lebih berkembang sejalan dengan
dibukanya pintu bagi penanaman modal asing menurut UU No.1 Tahun 1967
tentang Penanaman Modal Asing,maka diterbitkan UU No.11 Tahun 1967
tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertambangan,menggantikan UU No.37 prp
Tahun 1960.
Krisis
moneter di Indonesia yang terjadi pada tahun 1997 memberikan dampak
yang luas pada perkonomian Nasional,yang berakhirnya pemerintahan
Soeharto pada tahun 1998 dan memasuki masa reformasi.Beberapa situasi
penting yang berubah,menyakut perubahan lingkungan strategis,antara
lain,semangat otonomi daerah,globalisasi,hak asasi manusia, hak atas
kekayaan intelektual,demokratisasi dan lingkungan
hidup.Perubahan-perubahan itu di antisipasi oleh Pemerintah dalam
berbagai kebijakan maka lahirlah UU NO.4 Tahun 2009 tetang pertambangan
mineral dan Batubara.
B.Rumusan Masalah
Adapun yang menjadi rumusan masalah dalam tulisan ini adalah bagaimana menelisik Sejarah perkembangan hukum pertambangan mineral dan batubara sejak zaman Hindia Belanda ke hukum nasional.
BAB II
PEMBAHASAN
Sejarah pengaturan pertambangan mineral dan batubara sejak zaman Hindia Belanda ke hukum nasional.
A. Masa kekuasaan VOC (1619-1799)
Sejarah
telah mencatat bahwa penjajahan Belanda atas kepulauan
Nusantara, berawal pada tahun 1619. Dalam tahun itu pasukan vereeningde
Oost Indische Compagnie(VOC)dibawah pimpinan Jan Pieterzoon Coen
berhasil merebut Jakarta dan kemudian mendirikan kota baru yang diberi
nama Batavia.VOC, yang semula merupakan perusahaan dagang Belanda yang
bertujuan mendapatkan monopoli atas
perdagangan rempah-rempah di wilayah kepulauan Nusantara,kemudian
berkembang menjadi suatu kekuatan penjajah.Untuk memenuhi ambisinya,VOC
dibawah pimpinan J.P.Coen tidak segan-segan berperang menghancurkan
kekuasaan raja-raja pribumi yang menghambat usaha mereka, khususnya
kerjaan-kerajaan di Jawa dan Maluku.Kemudian memulai politik devide et
impera VOC tidak saja berhasil memperluas wilayah perdagangannya, tetapi
juga memperoleh tambahan tanah jajahan.
Pada
akhirnya VOC lebih cenderung untuk mempertahankan dan memperluas tanah
jajahan ketimbang melakukan misi utamanya yaitu usaha perdagang.Selain
itu,banyak pejabat VOC di Batavia berlaku curang, pemborosan, infensiensi
dan korupsi yang turut memperburuk kondisi keuangan perusahaan.Hutang
yang sudah menumpuk pada Pemerintah Belanda tidak mungkin lagi
terbayar.Akhirnya setelah dinyatakan bangkrut (failliet), maka pada
tanggal 1 Januari 1800,VOC dibubarkan dengan ketentuan semua tanah
jajahan dan miliknya diambil alih oleh pemerintah colonial Hindia
Belanda yang berkuasa hingga tanggal 8 maret 1942 yaitu ketika Belanda
menyerah tanpa syarat pada balatentara jepang.
Selanjutnya
bagaimana dan apa yang telah dilakukan Belanda dalam sektor
pertambangan selama lebih dari tiga abad penjajahannya di Hindia
Belanda.Seotaryo Sigit,seorang pakar pertambangan terkemuka
Indonesia, menyimpulkan bahwa;
“Dalam
hal penyelidikan geologi yang bersifat mendasar,cukup banyak yang telah
melakukan dan dihasilkan oleh para pakar Belanda.Hal ini tidak
mengherankan, karena Bangsa Belanda sejak dulu sudah terkenal memiliki ilmuwan-ilmuwan besar di berbagai bidang. Dalam bidang bidang pertambangan
sebaliknya,ternyata orang-orang Belanda tidak mampu mengembangkan Hindia
Belanda suatu wilayah pertambangan terkemuka,meskipun potensi mineral
wilayah ini,sesungguhnya cukup besar. Hal ini-pun tidak perlu
mengherankan, karena negeri Belanda dasarnya rakyat Belanda hidup dari
pertanian dan perdagangan’’
Sejalan dengan kesimpulan di atas,dapat dipahami,jika VOC sebagai perusahaan
dagang dalam meluaskan usahanya ke berbagai macam perkebunan tidak
pernah menunjukkan minat pada usaha pertambangan (menambang
sendiri). Meskipun demikian,VOC tetap terlihat dalam kegiatan perdagangan
hasil-hasil tambang,sebagaimana dicatat oleh sejarah bahwa pada tahun
1710 mulai melakukan pembelian timah dari Sultan Palembang yang
dihasilkan oleh tambang-tambang yang di kerjakan oleh orang-orang cina
di pulau Bangka.Bahkan pada akhirnya VOC memperoleh monopoli atas
perdagangan timah ini,jadi peranannya hanya sebagai tengkulak yang tidak
pernah berminat melakukan pertambangan sendiri.
B. Masa Pemerintahan Hindia Belanda (1800-1942)
Setelah pengambilalihan semua milik (asset) dan kegiatan
VOC oleh Pemerintah Hindia Belanda sampai jatuhnya Hindia Belanda ke
tangan inggris (1811), khusus yang berkenaan dengan usaha/kegiatan
pertambangan tidak banyak mengalami perubahan yang berarti. Baru setelah
inggris menyerahkan kembali tanah jajahan ini kepada Belanda (1816)
dilakukanlah perubahan dalam cara pemerintahan Hindia Belanda.
Kegiatan
pemerintahan selanjutnya hanya mencakup tugas tugas pemerintahan
murni,sedangkan kegiatan perdagangan,pertanian, perkebunan dan industry
kecil dan sebagainya diserahkan kepada pihak swasta. Dalam suasana
liberalisasi perekonomian, muncullah keinginan pihak swasta dan
perorangan Belanda untuk mengusahakan pertambangan.Minat swasta tertuju
kepada timah dan batubara.Kedua komoditi tersebut,memiliki prospek
pemasaran yang jelas ketika itu.
Keterlibatan swasta mendorong Pemerintah Hindia Belanda membentuk suatu Komisi khusus(1850)
untuk mempelajari dan menyusun bentuk pengaturan usaha
pertambangan. Komisi berhasil menyusun sebuah peraturan pertambangan
(mijnreglement) yang pertama.Peraturan ini memungkinkan pemberian hak
atau konsesi penambangan kepada swasta warga Negara Belanda,tetapi masih
terbatas untuk daerah-daerah di luar Pulau Jawa.Pengecualian Pulau Jawa
karena Pemerintah Hindia Belanda berpendapat akan timbul
konflik (overlapping) antara hak pertambangan dan system cultuurstelsel
dalam pertanian dan perkebunan yang telah diberlakukan di Pulau
Jawa.Pemerintah Hindia Belanda rupanya belum mendapatkan cara yang tepat
bagaimana cara memisahkan hak atas tanah dan hak atas bahan galian yang
terdapat di dalam tanah yang bersangkutan .
Oleh
karena mulai dirasakan perlunya mengatur kegiatan pertambangan secara
khusus,pada tahun 1852 pemerintah mendirikan “Dienst van het
Mijnwezen”(Jawatan Pertambangan).Tugas jawatan ini adalah melakukan
eksplorasi geologi-pertambangan di beberapa daerah untuk kepentingan
pemerintah Hindia Belanda.Hasil penemuan antara lain;endapan batubara
Ombilin Sumatera Barat(1866),namun baru berhasil ditambang oleh
Pemerintah pada tahun 1891.
Sementara pada bidang usaha perminyakan dimulai tahun
1871.Pengusaha(swasta)Belanda memegang peranan yang
aktif.A.J.Zylker,seorang pengusaha tembakau merupakan pemegang konsesi
pertama yang diberikan pada tahun 1883.Kemudian pada tahun 1890 Royal
Dutch Company,mengambil alih konsesi Zylker dan menjadikan perusahaan
ini nomor dua terbesar di dunia.Sampai tahun 1911 Royal Dutch-Shell yang
dikenal di Hindia Belanda sebagai (Bataffsche Petroleum
Maatschappij (BPM) minyak satu-satunya perusahaan minyak yang
beroperasi atas dasar konsesi(concessie). Konsesi yang berjangka waktu 75
tahun hanya berlangsung hingga tahun1928,bahkan konsesi tahun 1930
dipersingkat menjadi 40 tahun saja.
Pemerintah
Hindia Belanda yang memperoleh royalty sebesar 20% dari keuntungan
bersih,mulai melakukan intervensi dengan asumsi bahwa sistem konsesi
lebih banyak menguntungkan perusahaan.Intervensi ini dengan membentuk
Nederlandsche Indische Ardalie Maatschappij (NIAM) pada tahun
1930-an,sebagai patungan antara Pemerintah dengan BPM atas dasar
fifty-fifty.Perkembangan demikian jelas memperlihatkan semakin
pentingnya peran pemerintah dan swasta dalam usaha pertambangan.
Lambatnya
perkembangan pertambangan ini,antara lain disebabkan oleh belum adanya
peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang pertambangan.Baru
pada tahun 1899,pemerintah Hindia Belanda berhasil mengundangkan
Indische Mijnwet (Staatblad 1899-214).Indische Mijnwet hanya mengatur
mengenai penggolongan bahan galian dan pengusahaan pertambangan.
Oleh
karena Indische Mijnwet hanya mengatur pokok-pokok persoalan
saja,sehingga pemerintah colonial mengeluarkan peraturan peleksanaan
berupa Mijnordonnantie yang diberlakukan mulai 1 mei
1907.Mijnordonnantie mengatur pula mengenai Pengawasan Keselamatan Kerja
(tercantum dalam pasal 356 sampai dengan pasal 612).Kemudian pada tahun
1930 Mijnordonnantie 1907 dicabut dan diperbaharui dengan
Mijnordonnantie 1930 yang berlaku sejak tanggal 1 juli 1930.Dalam
Mijnordonnantie 1930, tidak lagi mengatur mengenai Pengawasan Keselamatan
Kerja Pertambangan,tetapi diatur tersendiri dalam Mijn Politie
Reglement(Staatblad 1930 No.341)yang hingga kini masih berlaku.
Dalam
pelaksanaan Indisce Mijnwet terdapat hal-hal yang masih menghambat
kegiatan swasta,dan telah mengalami dua kali amandement (perubahan)
yaitu pada tahun 1910 dan 1918.Setelah itu kegiatan pertambangan swasta
dapat benar-benar berkembang dan mencapai puncaknya akhir
1930-an,menjelang pecahnya Perang Dunia II.
Semasa
Hindia Belanda,usaha pertambangan dilaksanakan oleh pemerintah maupun
oleh swasta dengan menggunakan berbagai pola atau bentuk
perizinan.Semula memang telah menjadi kebijaksanaan pemerintah Hindia
Belanda untuk mengusahakan sendiri tambang-tambang besar yang dinilai
vital seperti tambang batu-bara dan timah.Akan tetapi untuk beberapa
proyek yang besar seperti pengembangan tambang nikel di Sulawesi
Tenggara, pengusahaannya dilakukan oleh pihak swasta berdasarkan suatu
kontrak khusus dari pemerintah.Kontrak itu,dikenal dengan sebutan 5a
contract karena didasarkan pada ketentuan pasal 5a Indisce Mijnwet.
Pasal
5a adalah pasal yang ditambahkan pada Indisce Mijnwet saat dilakukan
amandement tahun 1910.Bunyi Pasal 5a selengkapnya sebagai berikut:
1.
Het Gouverment is bevoegd opsporingen en ont-ginningen te doenplaats
hebben,waar die niet in strijd komen met aan opspoorders of
concessionarisen verlende rechten.(Pemerintah berwenang untuk melakukan
penyelidikan dan eksploitasi selama hal itu tidak bertentangan dengan
hak-hak yang telah diberikan kepada penyelidik atau pemegang hak
konsesi).
2.
Het kan te dien einde of zelf opsporingen en ondernemen,of met personen
of vennotschappen die voldoen aan het eerst lid van artikel 4 dezer
wet,overeenkomsten aangaan,waarbij zij zich verbinden tot het
onder-nemen van ontginningen of van opsporingen en ontginningen. (Untuk
hal tersebut,pemerintah dapat melakukan sendiri penyelidikan dan
eksploitasi atau mengadakan perjanjian dengan perorangan atau perusahaan
yang memenuhi persyaratan sebagaimana tercantum pada
pasal 4 undan-undang ini dan sesuai perjanjian itu mereka wajib
melaksanakan eksploitasi,ataupun penyelidikan dan eksploitasi yang
dimaksud).
3.
Zoodanige overeenkomsten worden niet gesloten dan nadat daartoe
telken-male bij de wet machtiging is verleend.(Perjanjian demikian itu
tidak akan dilaksanakan kecuali telah disahkan dengan undang- undang.
Kemudian
perlu pula dicatat bahwa pada bamandement tahun 1918 dilakukan
perubahan pada ketentuan ayat (3) pasal 5a Indisce Mijnwet yaitu bahwa
kontrak yang mencakup kegiatan eksplorasi saja tidak perlu harus
disahkan dengan undang-undang.Liberalisasi kebijaksanaan pertambangan
melalui dua kali amandemen undang-undang tersebut di atas berhasil
meningkatan minat pihak swasta untuk mengusahakan kegiatan eksplorasi
pertambangan di Hindia Belanda,khususnya dalam kuru waktu antara tahun
1920 sampai dengan tahun 1940.
Pada
masa ini yang boleh memperoleh konsesi (hak pertambangan) dan
lisensi (izin pertambangan) hanyalah mereka yang tunduk kepada Hukum Barat
dan perusahaan-perusahaan yang telah di daftar di negeri Belanda dan
Hindia Belanda. Dengan demikian sejak semula hanyalah orang-orang
asing (bukan pribumi) yang berkecimpung dalam usaha pertambangan baik
usaha perminyakan maupun pertambangan umum.
Pada
kepustakaan lain, Braake menuliskan bahwa pada akhir tahun 1938
menjelang jatuhnya Pemerintah Hindia Belanda terdapat 471 buah konsesi
dan izin pertambangan yang masih berlaku dengan perincian sebagai
berikut:
1. 268 konsesi pertambangan untuk mineral/bahan galian yang tercantum dalam Indusce Mijnwet.
2. 3 perusahaan pertambanganmilik pemerintah Hindia Belanda.
3. 2 usaha pertambangan patungan antara pemerintah Hindia Belanda dengan swasta.
4.2 usaha pertambangan yang dilakukan oleh swasta untuk pemerintah berdasarkan perjanjian khusus.
5. 14 kontrak 5a untuk tahap eksplorasi pertambangan dan 34kontrak 5a untuk tahap eksploitasi.
6. 142 izin pertambangan untuk mineral/bahan galian yang tercantum dalam Indisce Mijnwet.
Sampai saat jatuhnya pemerintah Hindia Belanda (1942),selain minyak
bumi, bahan tambang dari negeri ini yang sudah masuk peringkat dunia
hanyalah timah saja, sedang batubara dan bauksit hanya masuk dalam
pasaran internasional dalam jumlah yang sangat terbata.Meskipun demikian
keadaannya,berdasarkan pengetahuan akan potensi mineral yang
ada, perkembangan pertambangan ketika itu sudah dapat dikatakan optimal.
C.Perkembangan pada periode 1942-1949
Menyerahkannya
tentara kerjaan Hindia Belanda KNIL, kepada balatentara jepang pada
tanggal 8 maret 1942 menandai berakhirnya kekuasaan Pemerintah Hindia
Belanda atas Indonesia. Selama pendudukan jepang Indische minjewet 1899
praktis tidak jalan, sebab semua kebijaksanaan mengenai pertambangan
termasuk operasi minyak berada di tangan Komando Militer Jepang yang
disesuaikan dengan situasi perang.
Menjelang serbuan Jepang, tidak semua tambang di Hindia Belanda sempat
dibumihanguskan oleh Belanda.Beberapa tambang yang menghasilkan bahan
mentah untuk keperluan perang seperti minyak
bumi, Batubara, timah, bousksit, nikel dibuka kembali dan diteruskan
kegiatannya oleh orang-orang Jepang.Bahkan dengan kegigihannya yang luar
biasa mereka bekerja keras untuk mencari dan menambang bahan galian yang tidak pernah diusahakan oleh Belanda sebelumnya.
Meskipun Jepang hanya menjajah Indonesia dalam waktu tiga tahun,Jepang
telah berhasil mengembangkan potensi pertambangan Indonesia.Sejumlah
tambang Batubara mereka buka untuk mendapatkan batubara kokas seperti di
daerah Kalimantan selatan,sebagian lagi di berbagai lokasi di Jawa
Barat untuk memasok batubara bagi kereta api di Jawa.
Selain
itu,telah diusahakan pula untuk mencari dan membuka tambang
tembaga,antara lain di Tirtomoyo(jawa Tengah),Sangkaropi (Sulawesi
Selatan) Timbulun(Sumatera Barat),bijih besi di Lampung dan berbagai
lokasi di Kalimantan Selatan,sinaber di Kalimantan Barat dan Jawa Barat,bijih mangan di Pulau doi,bauksit di Kalimantan Barat.
Pada
bulan Agustus 1945,perang pasifik usai,disusul dengan perang
kemerdekaan Indonesia yang berlangsung hingga akhir 1949.Selama dalam
kurun waktu ini tidak banyak yang dapat dilakukan di sector
pertambangan. Sementara itu,Pemerintah Netherlands Indies civil
Administration (NICA) yang berhasil menguasai sebagian pulau Jawa,dan
membuka kantor Dienst van den mijnbouw di Bandung.Namun tidak banyak
juga yang dapat mereka lakukan.Beberpa tambang yang sempat dikuasai oleh
orang-orang Belanda,antara lain tambang timah di Bangka
Belitung,tambang bauksit di Bintan mulai dibenahi,tetapi selama
berkecamuknya perang kemerdekaan hingga akhir 1949 keadaannya masih jauh
dari normal.
Pada
tanggal 27 Desember 1949 berlangsung secara resmi penyerahan
kedaulantan Belanda kepada Republik Indonesia Serikat dan pada tanggal
17 Agustus 1950 RIS dilebur menjadi Negara kesatuan Republik Indonesia.
D. Perkembagan pada periode 1950-1966
Perkembangan
kegiatan pertambangan di Indonesia dalam selama kurung waktu 1950-1966
tidak terlepas dari pengaruh perkembangan politik dalam negeri yang
ditandai dengan banyak ketegangan dan pergolakan.Ketidakstabilan politik
tidak memungkinkan dilaksanakannya usaha pembangunan yang
berkelanjutan.Pemberontakan bersenjata timbul di beberapa daerah baik
Jawa maupun di luar Jawa.Dewan Konstituante yang di bentuk
yang di bentuk menyusun Undang-Undang Dasar baru,tidak berhasil
menyelesaikan tugasnya karena tidak dapat memutuskan dasar
Negara.Akhirnya Konstituante dipaksa berhenti dan dibubarkan dengan
Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959 sekaligus Kembali ke UUD 1945.
Di
bawah demokrasi terpimpin Pemerintah langsung mengurusi dan mengelola
sendiri berbagai macam kegiatan ekonomi yang di anggap penting.Akan
tetapi dilain pihak Pemerintah tidak memiliki cukup dana yang di
perlukan untuk melaksanakan pembangunan ekonomi sebagaimana telah
direncanakan dalam pola Pembangunan Nasional Semesta Berencana yang
diundangkan dalam tahun 1960.Bersamaan dengan keadaan
politik yang terus memburuk, keadaan ekonomipun terus terus
merosot.Bahkan bergolaknya rasa nasional radikal yang tidak senang
adanya perusahaan dan capital asing di Indonesia.Hal ini berlangsung
terus sehingga timbulnya pergolakan politik dalam tahun 1965-1966.
Setelah
penyerahan kedaulatan dari Belanda kepada, masalah pengawasan atas usaha
pertambangan timah dan minyak bumi yang masih dikuasi modal Belanda dan
modal asing lainya merupakan isu politik yang sangat peka.Oleh karena
itu, pada bulan Juli 1951 anggota Dewan Perwakilan Rakyat Sementara
(DPRS),Teuku Mr.Moh.Hassan dan kawan-kawan menyusun mosi mendesak
Pemerintah untuk segera mengambil langkah-langkah guna membenahi peraturan
dan pengawasan usaha pertambangan di Indonesia.
Usul
mosi ini yang kemudian dikenal dengan sebutan”Mosi Mr.Teuku Moh.Hassan
dkk”yang memuat beberapa hal, diantaranya yang terpenting ialah mendesak
pemerintah supaya:
1. Membentuk suatu komisi Negara urusan pertambangan dalam jangka waktu satu bulan dengan tugas sebagai berikut:
a. menyelidiki masalah pengolahan tambang minyak, timah, batubara, tambang emas/perak dan bahan mineral lainnya di Indonesia.
b. mempersiapkan rencana Undang-Undang pertambangan Indonesia yang sesuai dengan keadaan dewasa ini.
c.
mencari pokok-pokok pikiran bagi pemerintah untuk
menyelesaikan/mengatur pengolahan minyak di Sumatera khususnya dan
sumber-sumber minyak di tempat lain.
d. mencari pokok-pokok pikiran bagi Pemerintah mengenai status Pertambangan di Indonesia.
e. mencari pokok-pokok pikiran bagi Pemerintah mengenai penetapan pajak dan penetapan harga minyak.
f. membuat usulan lain mengenai pertambangan sebagai sumber penghasilan Negara.
2.
Menunda segala pemberian izin,konsesi,eksplorasi maupun memperpanjang
izin-izin yang sudah habis waktunya,selama menunggu hasil pekerjaan
Panitia Negara Urusan Pertambangan.Menanggapi mosi parlemen ini,Panitia
Negara yang di bentuk pemerintah berhasil menyiapkan naskah Rancangan
Undang-undang pertambangan pada awal tahun 1952.Akan tetapi karena silih
bergantinya cabinet, Rancangan Undang-Undang ini tidak pernah di
sampaikan kepada DPRS. Namun demikian, Pemerintah dapat menerbitkan
Undang-Undang NO.10 Tahun 1959 tentang Hak-hak Pertambangan. Peraturan
pelaksanaan Undang-Undang ini termuat dalam Peraturan Pemerintah NO.25
Tahun 1959.
Berdasarkan
undang-undang tersebut,maka semua hak pertambangan yang terbit sebelum
tahun 1949 yang selama ini belum juga dikerjakan dan diusahakan
kembali,ataupun masih dalam taraf permulaan penguasaan dan tidak tidak
menunjukkan kesungguhan,semuanya di batalkan.Ditetapkan pula dalam
undang-undang ini,bahwa sambil menunggu undang-undang pertambangan yang
baru,maka atas daerah-daerah yang akibat pembatalan tadi menjadi
bebas,artinya dapat dimohonkan dan diterbitkan hak pertambangan yang
baru dengan ketentuan hak tersebut hanya dapat diberikan kepada
Perusahaan Negara dan atau daerah swantara.Penertiban hak pertambangan
ini adalah wewenang Menteri Perindustrian(yang waktu itu membawahi sector pertambangan).
Pada
tahun 1960 Pemerintah menerbitkan suatu peraturan mengenai pertambangan
yang diundangkan sebagai peraturan Pemerintah Pengganti undang-undang
yang kemudian menjadi undang-undang No.37 Prp.Tahun 1960 tentang
pertambangan yang lebih dikenal sebagai undang-undang
pertambangan1960 Undang-undang ini mengakhiri berlakunya Indische
Mijnwet 1899 yang tidak selaras dengan cita-cita kepentingan Nasional
dan merupakan undang-undang pertambangan Nasional yang pertama.
Dalam
undang-undang Pertambangan 1960, mengizinkan Pemerintah menarik modal
asing untuk mengembangkan bidang eksplorasi dan eksploitasi pertambangan
berdasarkan pola production sharing contract. Sebagaimana diatur dalam
Peraturan Presiden Nomor 20 tahun 1963.Pola bagi hasil ini pada dasarnya
tidak lain berupa peminjaman modal dari pihak asing yang akan dibayar
kembali dengan hasil produksi.Namun pola ini, ketika itu tidak berhasil
menarik minat swasta ataupun mendatangkan modal dari luar negeri
sebagaimana yang diharapkan.
E.Periode1967-sekarang
Periode
ini oleh Soetaryo Sigit disebutnya sebagai babak baru dalam
kebijaksanaan ekonomi dan perkembangan pertambangan Indonesia.Babak baru
ini diawali dengan ditetapkanya Ketetapan MPRS No.XXIII/MPRS/1966
tentang pembaharuan Kebijaksanaan Landasan Ekonomi Keuangan dan
Pembangunan.Ketetapan MPRS tersebut, memuat beberapa hal yang terkait
dengan sektor pertambangan,antara lain sebagai berikut:
1.
Kekayaan potensi yang terdapat dalam alam Indonesia perlu digali dan
diolah agar dapat dijadikan kekuatan ekonomi riil (Bab II pasal 8);
2.
Potensi modal,teknologi dan keahlian dari luar negeri dapat di
manfaatkan untuk penanggulangan kemerosotan ekonomi serta pembangunan
Indonesia (Bab II, Pasal 10);
3.
Dengan mengingat terbatasnya modal dari luar negeri, perlu segera
ditetapkan undang-undang mengenai modal asing dan modal
domestik (Bab VIII, pasal 62).
Berdasarkan
ketetapan MPRS di atas, disusunlah rancangan undang-undang tentang
Penanaman Modal Asing,kemudian diundangkan menjadi undang-undang No.1
Tahun1967 tentang Penanaman Modal Asing. Untuk menyesuaikan kebijaksanaan
baru dalam perkonomian, khususnya mengenai usaha pertambangan tidak
mungkin dilaksanakan tanpa mengganti undang-undang
pertambangan.Menyadari sepenuhnya urgensi penanganan hal ini, Departemen
Pertambangan segera membentuk Panitia Penyusunan Rancangan Undang-undang
Pertambangan. Hasil kerja Panitia diajukan kepada DPR menjelang
pertengahan tahun 1967. Menyusul terbitnya Undang-undang Nomor 1 Tahun
1967 tentang Penanaman Modal Asing, terbit pula Undang-undang Nomor 11
Tahun 1967 tentang ketentuan-ketentuan Pokok Pertambangan atau UUPP
1967.
UUPP 1967 memuat beberapa prinsip-prinsip yang berbeda dengan Indische Mijnwet:
1.
Penguasaan sumber daya alam oleh Negara sesuai dengan Pasal 33 UUD
1945, dimana Negara menguasai semua sumber daya alam sepenuh-penuhnya
untuk kepentingan Negara dan kemakmuran rakyat(pasal 1).
2. Penggolongan bahan-bahan galian dalam golongan strategis,vital dan non strategis dan vital (pasal 3).
3.
Sifat dari perusahaan pertambangan,yang pada dasarnya harus dilakukan
oleh Negara atau perusahaan Negara/daerah,sedangkan perusahaan swasta
nasional/asing hanya dapat bertindak sebagai kontraktor dari
Negara/Perusahaan Negara dan Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
4.
Konsesi ditiadakan, sedang wewenang untuk melakukan usaha pertambangan
diberikan berdasarkan kuasa pertambangan(KP), sebab konsesi memberikan
hak yang terlalu luas dan terlalu kuat bagi pemegang konsesi.Selain
itu, hak konsesi merupakan hak
kebendaan (zakelijkrechts, propertyright), sehingga dapat dijadikan jaminan
hipotik.Berbeda dengan hak kontraktor dan hak pemegang kuasa
pertambangan,tidak mempunyai kekuatan hukum yang demikian, menurut hukum
Indonesia.
Prinsip-prinsip
di atas, menunjukkan betapa besar dan kuatnya hak penguasaan dan peranan
Negara atas sektor pertambangan,akan tetapi tidak berarti menutup
kemungkinan turut sertanya modal dan teknologi asing dalam pengusahaan
pertambangan.Karena harus diakui bahwa pengusahaan bahan galian
membutuhkan modal besar,teknologi tinggi dan keahlian-keahlian tertentu.
Dengan
demikian,partisipasi modal dan teknologi asing sangat diharapkan dalam
pengusahaan pertambangan.Hanya saja dasar partisipasi modal asing tidak
lagi sebagai concessionairis (pemegang konsesi). Mereka hanya dapat
menjadi kontraktor dari Pemerintah dan pemegang Kuasa Pertambangan.
Mengenai
perkembangan keterlibatan kontraktor asing di sektor pertambangan
hingga tahun 1998,Kontrak Karya Pertambangan telah memasuki generasi
VII,Kontrak Karya Batubara memasuki generasi III dan Kontrak Production
Sharing memasuki generasi III.Dari segi produksi,hingga saat ini bagian
terbesar produksi tambang utama Indonesia adalah hasil kegiatan
perusahaan-perusahaan asing.Namun dalam sepuluh tahun terakhir ini,sudah
mulai tampak adanya minat para pengusaha swasta nasional untuk turut
bergiat dalam usaha pertambangan ,baik secara sendiri maupun dalam usaha
patungan dengan pihak asing.Secara substansi dapat dikatakan bahwa
Undang-undang Nomor 11 Tahun 1967 mempunyai cirri dan karakteristik sebagai berikut;
1. Berciri sentralistik atau ortodoks;
2.
Bertentangan dengan konstitusi,yaitu yang berkaitan dengan ketentuan
bahwa tambang rakyat hanya untuk memenuhi kehidupan sehari-hari;
3. Merendahkan hak dan martabat rakyat.
Sejalan dengan bergulirnya reformasi yang dipelopori oleh mahasiswa pada
Tahun 1998,telah membawa perubahan mendasar pada tata aturan dan sistem
pemerintahan di Indonesia.Perubahan itu,adalah diterapkannya sistem
otonomi daerah,yaitu sebuah sistem pemerintahan dengan pendekatan
desentralisasi,dari sistem pemerintahan sebelumnya yang bersifat
sentralistik.Landasan hukum sistem otonomi daerah pasca reformasi adalah
UU No.22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah,yang kemudian dirubah
menjadi UU No.32 Tahun 2004,tentang Pemerintahan Daerah,dan setelah
adanya yudicial review oleh Mahkamah Konstitusi yang berkaitan dengan
muatan calon kepala daerah dari jalur independen, maka diubah menjadi UU
No.12 Tahun 2008.
Implikasi dari diterapkannya sistem otonomi daerah, adalah
diserahkannya beberapa urusan pemerintahan yang asalnya merupakan
wewenang pemerintah pusat menjadi kewenangan pemerintah daerah, kecuali
urusan pertahanan dan keamanan,urusan luar negeri,urusan agama,urusan
moneter,dan peradilan.Dengan demikian,urusan pertambangan adalah salah
satu urusan yang merupakan wewenang atau urusan rumah tangga pemerintah
daerah.Salah satu wujud konkretnya, penerbitan KP yang semula jadi
urusan pemerintah pusat, dilimpahkan menjadi kewenangan pemerintah
daerah.
F.Rezim undang-undang No.4 Tahun 2009
Dengan
di berlakunya UU No.4Tahun 2009 tentang mineral dan Batubara secara
secara otomatis membuat UU No.11 Tahun 1967 dicabut dan dinyatakan tidak
berlaku.Maka berakhirlah rezim KP,SIPD, PKP2B dan kontrak karya akan
digantikan dengan Izin Usaha Pertambangan(“IUP”).Sedangkan untuk
KP,SIPD,Kontrak Karya dan PKP2B yang telah lahir sebelum berlakunya UU
No.4 Tahun 2009 tetap dihormati sampai masa berlakunya berakhir.Berikut
peraturan pelaksana dari UU No.Tahun 2009:
1.PP No.22 Tahun210 tentang wilayah Pertambangan.
2.PP No.23 Tahun210 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha.
3.PP No.55 Tahun 2010 tentang konsep kontrak perjanjian digantikan dengan sistem IUP.
1.Kerangka Dasar undang-undang
Secara
subtansi, terdapat perbedaan mendasar antara UU No.11 Tahun 1967 dengan
UU No.4 Tahun 2009,baik dalam hal penggolongan bahan galian, maupun dalam
kaitannya dengan sistem pengelolaannya. Perbedaan mendasar tersebut dapat
dilihat dari sisi muatan UU No.4 Tahun 2009 yang lebih baik dari muatan
UU No.11Tahun 1967.Materi muatan yang di anggap cukup baik dalam UU
No.4Tahun2009, diantaranya:
1. Lelang wilayah potensi bahan galian.Adanya ketentuan tentang lelang
wilayah yang berpotensi mengandung bahan galian. Setiap perusahaan atau
pihak yang akan melakukan pengusahaan bahan galian logam dan batubara
khususnya,untuk dapat memperoleh konsesi pertambangan harus melalui
proses lelang.Cara ini,dipandang sebagai suatu kemajuan dalam dunia
usaha pertambangan Nasional.Ada beberapa keuntungan sistem penetapan
konsesi melalui mekanisme lelang yaitu:
a.
Menekan timbulnya mafia izin tambang.Belakangan ini berkembang
kecenderungan praktik-praktik jual beli konsesi tambang yang dilakukan
oleh oknum-oknum tertentu yang biasanya mempunyai kedekatan atau akses
dengan oknum pemda,yakni hanya bermodalkan membayar restribusi izin
memperoleh sejumlah konsesi, tetapi bukan untuk diusahakan,melainkan
untuk dijual kembali.Mekanisme lelang di harapkan efektif dalam menekan
praktik jual beli izin konsesi pertambangan yang selama ini
terjadi.Praktik jual beli izin tambang mendorong tumbuh suburnya mafia
pertambangan.Akibat tindakan ini,tidak sedikit pihak yang semula
benar-benar berniat berusaha di bidang pertambangan menjadi korban
penipuan yang secara finansial sangat besar jumlahnya.
b.
Media filter.Hanya perusahaan yang benar-benar siap secara
finansial,dan benar-benar berniat melakukan kegiatan usaha pertambangan
yang akan mengikuti proses lelang,sehingga mekanisme lelang merupakan
proses alamiah bagi perusahaan yang hanya hanya bermaksud coba-coba atau
hanya bertindak sebagai broker izin.
c.
Meningkatkan pendapatan Negara.Melalui lelang,Negara akan memperoleh
dua keuntungan sekaligus,pertama,memperoleh pemasukan bagi kas
Negara,kedua,memperoleh perusahaan yang secara kualifikasi memang siap
untuk melakukan kegiatan usaha pertambangan.
2.
Lebih akomodatif,yaitu dengan masuknya aturan yang berpihak kepada
kepentingan rakyat,bandingkan ketentuan tentang pertambangan rakyat UU
No.11 Tahun 1967 dengan ketentuan yang tertuang dalam UU No.4 Tahun
2009.
3.
Pertimbangan teknis strategis suatu bahan galian lebih ditentukan
berdasarkan pertimbangan kepentingan Nasional,bukan pada jenis bahan
galian. Artinya, apakah suatu bahan galian secara
teknis, ekonomi, kepentingan, dan dari sisi pertahanan keamanan Negara
keberadaannya strategis dan vital, maka pengelolaan menjadi kewenagan
Negara/Pemerintah.
4. Adanya pembagian kewenangan pengelolaan yang jelas antara tiap tindakan pemerintahan.
5. Adanya upaya pengelolaan secara terintegrasi, mulai dari eksplorasi sampai pasca tambang.
Sejalan
dengan itu, sesuai dengan yang tertuang dalam penjelasan umum, UU No.4
Tahun2009 ini berusaha untuk mengakomodasi suara-suara sumbang yang
selama ini mengemuka, berkaitan dengan pengelolaan dan pengusahaan bahan
galian.Oleh Karena itu,undang-undang baru ini, selain berusaha
mengakomodasi persoalan yang selama ini berkembang, juga menyesuaikan
dengan perkembangan perubahan pembangunan pertambangan baik yang
bersifat Nasional maupun Internasional. Pemikiran akomodasi persoalan dan
perkembangan itu tertuang dalan pokok-pokok pikiran, sebagai berikut:
1.
Mineral dan batubara sebagai sumber daya yang tak terbarukan di kuasai
oleh Negara dan pengembangan serta pendayagunaannya dilaksanakan oleh
pemerintah dan pemerintah daerah bersama dengan pelaku usaha.
2.
Pemerintah selanjutnya memberikan kesempatan kepada badan usaha yang
berbadan hukum Indonesia, koperasi, perseorangan, maupun masyarakat
setempat untuk melakukan pengusahaan mineral dan batubara berdasarkan
izin, yang sejalan dengan otonomi daerah, diberikan oleh pemerintah
dan/atau pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya masing-masing.
3.
Dalam rangka penyelenggaraan desentralisasi dan otonomi
daerah,pengelolaan pertambangan mineral dan batubara dilaksanakan
berdasarkan prinsip eksternalitas, akuntabilitas, dan efisiensi yang
melibatkan pemerintah dan pemerintah.
4. Usaha pertambangan harus memberikan manfaat ekonomi dan sosial bagi sebesar-besarnya kesejahteraan rakyat.
thank you.. kalau boleh tau, dimana saya bisa temukan (sumber kepustakaan) menyangkut pertambangan masa voc - hindia belanda?
BalasHapusTerima kasih bang tulisannya. Sangat bermanfaat
BalasHapus