Advokat WILSON COLLING, SH.MH.(Foto istimewa) |
Wilson Colling meminta pemerintah dalam melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Kementerian Kelautan dan Perikanan, dan Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi mengkaji kembali bahkan membatalkan rencana pembuangan limbah tailng kedalam laut Pulau Obi. Pembuangan limbah nikel untuk pabrik proyek hidrometalurgi itu disebut bakal menambah laju kerusakan ruang hidup masyarakat pesisir d pulau-pulau kecil yang selama ini telah hancur oleh industri ekstraktif, tak terkecuali merusak lingkungan
Menurut Wilson Colling, Obi hanya pulau kecil dengan luas 3.111 kilometer persegi dikelilingi banyak pulau-pulau kecil memilik kerentanan ekologis yang sangat tinggi, hasil alam yang kaya jadi primadona bagi investor pertambangan nikel di Pulau obi, di eksploitasi secara besar-besaran oleh Pihak PT Harita Nikel telah memiliki smelter dan telah beroperasi sejak 2016 melalui anak perusahaan PT Trimegah Bangun Persada (TBP) di Desa Kawasi, Kecamatan Obi selatan, Kabupaten Halmahera Selatan (Halsel), Provinsi Maluku utara (Malut) sedang membangun pabrik bahan baku baterai mobil listrik. Saat ini Harita Group melalui anak perusahaan PT Trimegah Bangun Persada, yang telah dan tengah meminta rekomendasi dari pemerintah pusat dari ketiga Kementerian terkait guna pemanfaatan laut Pulau Obi di jadikan tempat pembuangan limbah nikel.
Wilson Colling menyampaikan, PT Trimegah Bangun Persada (TBP), telah mendapatkan izin Pembuangan limbah tailing kelaut berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Maluku Utara No 502/02/DPMPTSP2019 tentang izin pemanfaatan tata ruang laut sebagai pembuangan tailing di Pulau Obi, sejak 2 Juli 2020, izin diberikan karena dianggap telah memenuhi Perda tentang Rencana Zonasi Wilayah Pesisir Pulau-Pulau Kecil (RZWP3K) Maluku Utara
Dalam catatan Kami tim Advokasi Peduli Hukum Lingkungan Lingkar Tambang Masyarakat Obi, rencana pihak perusahaan PT Trimegah Bangun Persada, menjadikan perairan Pulau Obi, sebagai tempat pembuangan limbah tailing ke dalam laut sebesar 6 (enam) juta ton setiap tahunya, pembuangan tailing melalui jaringan pipa pada kedalaman 150-250 meter (490-820 kaki) dibawah permukaan laut, yang akan ditenggelamkan ke dasar laut setidaknya satu kilometer (3.300)ft). Dan menurut keterangan atau informasi yang kami miliki ada dua lokasi yang menjadi sasaran pembuangan limbah tailing, yakni Desa Kawasi, Kecamatan Obi Selatan yang dimana lokasi industri tambang beroperasi dan opsi kedua Desa Soligi, Kecamatan Obi Selatan.
Hal ini terkonfirmasi pernyataan pemerintah pusat melalui Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, dan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) yang sedang memproses izin proyek penempatan tambang tailing kedalam laut atau deep sea mine tailing placement (DTSP) di perairan Pulau Obi, mengutip dari salah satu media nasional pernyataan juru Bicara Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Selasa (Tempo.Co, Jakarta,21/7/2020) mengatakan : “Jodi mengatakan proses DTSP atau menempatkan tailing kedalam laut menjadi opsi dari pembuangan akhir pencucian asam tingkat tinggi alas high pressure acid leaching (HPAL) yang disesuaikan dengan kondisi daerah tersebut. Maluku Utara masih memiliki potensi gempa apabila dilakukan dam tailing di darat"
Pernyataan Juru bicara Kementerian (Kemenkomarinves), tersebut sangat melukai hati dan pikiran masyarakat Pulau Obi, mengatakan bahwa perairan Pulau Obi di jadikan sebagai tempat pembuangan limbah sampah adalah opsi dan/atau solusi yang terbaik, tapi tidak dengan kami masyarakat Obi, pembuangan limbah kedalam laut adalah tindakan yang tidak memanusiakan manusia itu sendiri, dan merupakan tindakan pembunuhan terhadap kehidupan masyarakat Pulau Obi, yang menggantungkan kehidupannya sebagai nelayan tradisional. Terkait rawan gempa adalah argumentasi yang mengada-ada hanya untuk meloloskan izin saja.
Menurut Tim Advokasi (PHLLT-MPO), alasan rawan gempa sangat kontradiktif dengan pihak PT TBP, juga menggunakan Argumentasi yang sama, namun maknanya berbeda bahwa penggusuran warga Desa Kawasi yang kurang lebih 700 kepala keluarga dari tempat tinggalnya dengan alasan daerah tersebut rawan gempa bumi dan berpotensi terjadi tsunami. Kedua alasan tesebut semakin membingungkan masyarakat Pulau Obi.
Terhadap persoalan tersebut kini, menjadi perhatian serius menurut perwakilan Tim Advokasi Peduli Hukum Lingkungan Lingkar Tambang Masyarakat Obi, Willy Kurama menuturkan berhak menyuarakan dan/atau mengajukan keberatan terhadap kegiatan yang dapat menimbulkan dampak terhadap lingkungan hidup. Hal ini dibenarkan sebagai partisipasi publik yang tercantum dalam Pasal 62 ayat (1) (UU 32/2009 PPLH)
TIM Advokasi Peduli Hukum Lingkungan Lingkar Tambang Masyarakat Pulau Obi melalui perwakilan Wilson Colling, menerangkan bahwa pihaknya menerima aduan atau laporan dari Asosiasi Kepala Desa, Kecamatan Obi (Kades) lingkar tambang mengatakan bahwa masyarakat Obi, di 32 (tiga puluh dua) Desa menolak rencana Pemerintah terkait pemberian izin kepada Pihak PT Trimegah Bangun Persada, rencana pembuangan limbah tailing atau sisa penambangan ke dalam laut Pulau Obi, tersebut bakal merusak ruang hidup masyarakat Obi, dan dapat menghancurkan kehidupan laut.
Sehingga untuk merespon keresahan masyarakat menurut perwakilan Willy Kurama Tim Advokasi Peduli Hukum Lingkungan Lingkar Tambang Masyarakat Obi telah mengirim Surat secara resmi dengan Nomor : 012/TIMA-MPO/VII/2020 tanggal 12 Agustus kepada Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Kementerian Kelautan dan Perikanan, dan Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, perihal penolakan izin rencana pembuangan limbah tailing kedalam Laut Pulau Obi, oleh Pihak PT Trimegah Bangun Persada
Desakan ini disampaikan oleh Perwakilan Tim Advokasi, diantaranya Wilson Colling, Christian E. Erikson, Hans William Kurama, Afril Tumutu, dan Oky Utomo, mengatakan pemerintah di minta harus memperhatikan dari sudut pandang perlindungan keselamatan ruang hidup masyarakat Obi agar dapat memberikan asas manfaat, keadilan dan kepastian hukum memberikan jaminan setiap warga negara berhak menghirup udara bersih, lingkungan hidup yang baik dan sehat sebagaimana diatur dalam Pasal 5 ayat (1) jo. Pasal 6 ayat (1) (“UU 32/2009 PPLH”) dan Pasal 9 ayat (3) Undang-Undang No.39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Hal tersebut dipertegas dan dikuatkan, Pasal 28 H ayat (1) UU NRI Tahun 1945 yang menyatakan, “….Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan." Maka, dari itu kami menunggu respon baik dari tiga Kementrian terkait atas surat yang kami sampaikan terkait perlindungan hukum terhadap masyarakat Pulau Obi.
(Foto: Warga Desa Kawasi Pulau Obi) |
Wilson Colling melanjutkan seharusnya pemerintah tidak menerbitkan izin laut Pulau Obi, di jadikan tempat pembuangan sampah, hal ini merupakan tindakan yang mencederai rasa keadilan masyarakat Pulau Obi, serta mematikan kehidupan nelayan tradisional skala kecil, hal ini bertentangan dengan Peraturan Perundangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 Undang- Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau- Pulau Kecil (”UU 26/2007”). Selain pertimbangan itu Surat Keputusan Gubenur Maluku, tersebut tidak memiliki landasan hukum yang kuat dan telah menabrak ketentuan peraturan perundang-undangan Republik Indonesia. Sebab penerbitan izin hanya berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 2019 tentang Tata Ruang Laut (“PP 32/2019”)
Oleh karenanya, Pemerintah melalui Kementrian terkait wajib berhati-hati secara detail dalam rancangan mengeluarkan izin pembuangan limbah tailing kelaut dalam Pulau Obi agar tidak menyimpang dari
Wilson Colling mengatakan, AMDAL masih menjadi proses penting dalam pengendalian lingkungan. Apalagi hasil dari AMDAL menjadi rujukan masyarakat
Harita Group melalui anak perusahaan PT TBP, adalah aktor utama meraup keuntungan, namun mengabaikan dari sisi lingkungan hidup pertambangan telah menyebabkan krisis ekologis yang sangat parah. Setiap tahun selalu terjadi banjir bandang, saat musim panas masyarakat lingkar tambang menghirup debu tanah merah akibat dari aktivitas industri pertambangan nikel yang jaraknya tidak jauh dari pemukiman warga, dan sudah dialami warga selama bertahun-tahun lamanya. Lalu dimana hasil evaluasi rencana pengelolaan lingkungan hidup yang sudah di uraikan pada dokumen ANDAL ? Bagaimana dengan Parameter kualitas udara yang dihirup oleh masyarakat lingkar tambang Desa Kawasi, Kecamatan Obi sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 41 tahun 1999 tentang Baku Mutu Udara Ambien Nasional (“PP 41/1999”) Untuk mengurangi polusi debu tanah merah Pihak perusahaan (PT TBP) akan melakukan kegiatan penyiraman minimal 2 kali sehari (pagi dan sore) utamanya disekitar jalur transportasi yang akan dilalui, lalu bagaimana dengan pemukiman warga Desa Kawasi ? Pertanyaan besarnya apakah sudah dijalankan sebagaimana mestinya?
Tidak berhenti disitu saja, anak perusahaan lainnya, PT. Gane Permai Sentosa yang beroperasi di Desa Kawasi, Kecamatan Obi, hendak menggusur lebih kurang dari 700 orang warga setempat dengan alasan daerah tersebut, rawan gempa bumi dan berpotensi terjadi tsunami.
Alasan lain yang digunakan oleh Pihak perusahaan ini adalah keberadaan pemukiman penduduk yang dekat dengan pabrik yang baru dibangun, padahal masyarakat telah lama mendiami Desa tersebut sudah puluhan tahun, jauh sebelum kedatangan Harita Group. Dengan tergusurnya masyarakat dari tempat tinggal mereka, akan terjadi gejolak sosial masalah ganti rugi dan lainnya.
Adapun alasan masyarakat Pulau obi, menolak pembuangan tailing kedalam laut obi, menyangkut kehidupan ribuan nelayan tradisional atau nelayan skala kecil yang tersebar di seluruh wilayah Pulau Obi, jika perairan di Pulau Obi tercemar dan hancur kemana nelayan masyarakat Obi harus menangkap ikan?. Oleh karenanya, jika pembuangan tailing diizinkan oleh Kementerian terkait. Indonesia akan mengalami kemunduran sebab, banyak negara, kebijakan STD telah dilarang karena merugikan ekosistem. Seperti contoh Kanada, yakni negara pertama kali memberikan izin STD tersebut,.
Alasan lainnya contoh kasus, dapat dikemukakan sebuah perusahaan pertambangan yang diduga telah melakukan “pencemaran lingkungan hidup adalah PT Newmon Minahasa Raya (NMR) telah menimbulkan dampak negatif terhadap empat orang warga Buyat. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Pusat Kajian Risiko dan Keselamatan Lingkungan Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (MIPA) UI disimpulkan ” (Gang.NTB.31Juli 2004)
Wilson Colling mengatakan, sekalipun klaim pemerintah pembuangan limbah mengunakan teknologi yang ramah lingkungan sudah melalui desain dan uji ilmiah oleh para pakar berpengalaman baik diluar maupun dalam negeri, untuk menjaga ekosistem, tak menjamin terkendalinya kualitas ruang dan lingkungan, apalagi, banyak terjadi penyimpangan dalam implementasi di lapangan. bebernya.
Menurut Wilson Colling, yang harus dilakukan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (Malut) menetapkan konsultan AMDAL yang pro-lingkungan. “Konsultan AMDAL-nya yang harus ditetapkan, konsultan yang memiliki integritas yang tidak bisa ditawar untuk kepentingan. Biar teguh pada pemikirannya tentang lingkungan dan tidak bisa dibelokin demi kepentingan bisnis semata,” tegas Wilson
Dikatakan, pemerintah seharunya berkomitmen menanggulangi kerusakan lingkungan dan mengatasinya, bukan justru memberikan ruang terjadinya kerusakan lingkungan semakin parah.“Yang di daratan saja pihak perusahaan tidak bisa mengatasi dengan baik, bagaimana cara mengontrol yang ada di dalam laut? Semakin dalam pembuangan kedalam laut, sulit untuk mengotrolnya.Walaupun dengan alasan proses percepatan investasi, bukan berarti meniadakan seluruh rambu-rambu yang mengatur tata kelola lingkungan hidup “kata Wilson
Oleh karena itu Tim Advokasi Peduli Hukum Lingkungan Lingkar Tambang Masyarakat Pulau Obi, atas alasan hukum tersebut, meminta kepada Pemerintah dalam hal ini Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Kementerian Kelautan dan Perikanan, dan Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, untuk melakukan pengawasan dengan sebijak mungkin melalui Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan ataupun peraturan perundang-undangan lainnya yang menjadi turunan agar tercipta solusi demi keadilan bagi masyarakat Indonesia yang saat ini terbebani kekhawatiran. “ Kami Menunggu respon baik dari Pemerintah ”
Dengan demikian, dari argumen yang telah diuraikan maka, Tim Advokasi Peduli Hukum Lingkungan Lingkar Tambang Masyarakat Pulau Obi menyimpulkan demi penyelamatan ruang hidup masyarakat Obi Pertama : Pembuangan Limbah tailing kedalam laut Pulau Obi adalah bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan republik Indonesia dan mencederai nilai-nilai dalam Pancasila, Kedua : Selain Investasi, aspek lingkungan juga harus menjadi perhatian serius dari pemerintah, dalam hal ini saya kira perlu ada keseimbangan antara daya dukung lingkungan dan investasi. Ruang hidup masyarakat Obi menjadi prioritas utama ke depan oleh pemerintah, Ketiga : Rencana pembuangan limbah tailling kedalam laut harus penuh kehati-hatian demi alasan kemanusiaan, mendesak pemerintah tidak memberikan izin “ Keselamatan rakyat adalah hukum tertinggi” Keempat : Opsi untuk pembuangan limbah tambang sebaiknya digunakan daratan dimana lokasi tambang beroperasi, dan Kelima : Langkah terakhir jika tidak ada kepastian dari pemerintah kemungkin terburuk Tim Advokasi Peduli Hukum Lingkungan Lingkar Tambang Masyarakat Obi, mengajukan gugatan perwakilan atau class action, yaitu hak sekelompok kecil masyarakat untuk bertindak mewakili masyarakat. “kata Wilson Colling (WCA)
Berita ini sudah dipublikasi di : Ternate Malutpost.id, Sabtu, 16 Agustus 2020
MCWNEWS. COM.HALSEL, Sabtu 15/8/2020
JAKARTA OT, Indotimur.com, Sabtu (15/8/2020)