Wikipedia

Hasil penelusuran

Sabtu, 01 April 2023

Polres Halmahera Timur: Dalam Menegakkan Hukum Dengan Melanggar Hukum dan HAM, Terhadap Warga Dusun Tukur-tukur Desa Dodaga Suku Togutil



















Oleh: Wilson Colling, SH, MH
Pemerhati Hukum Indonesia 


Jakarta, WCALAWFIRM - Tindakan kekerasan oleh Oknum Polisi Polres Halmahera Timur (Haltim) terhadap warga Dusun Tukur-tukur Desa Dodaga (Suku Togutil), Kecamatan Wasilei, atas tuduhan pembunuhan yang terjadi di Desa Gotowasi, Kabupaten Halmahera Timur, Maluku Utara, menjadi sorotan publik. Salah satu Wakil Ketua Dewan Pimpinan Cabang (DPC) Perhimpunan Advokat Indonesia ( PERADI-Rumah Bersama Advokat ) Jakarta Pusat, Pengacara Wilson Colling juga sebagai pemerhati hukum Indonesia mendesak Kapolda Maluku Utara agar mencopot Kapolres AKBP Setyo Agus Hermawan, Halmahera Timur (Timur) atas insiden tersebut.

"Sebagai bentuk pertanggungjawaban pimpinan, sanksi juga patut diberikan kepada Kapolres AKBP Setyo Agus Hermawan Halmahera Timur. Kapolda Maluku Utara sebaiknya mencopot Kapolres Halmahera Timur dari jabatannya. Hal ini penting dilakukan untuk menjaga citra kepolisian sebagai pelindung, pengayom, dan pelayan masyarakat," ujar Advokat Wilson, dalam keterangan., Sabtu (01/4/2023).

Sayangnya, praktik kekerasan oleh polisi terus terjadi. Yang terbaru, pada tanggal 22/3/2023, anggota Kepolisian Polres Halmahera Timur (Haltim), Provinsi Maluku Utara ditengarai melakukan kekerasan saat menangkap Masyarakat Adat Suku Togutil, Tobelo Dalam, Alen Baikole (polisi beri inisial AB), warga asli suku Togutil . Dia ditangkap di tempat kerjanya, di Subaim. Atas tuduhan peristiwa pembunuhan terhadap warga Talib Muhip Desa Gotowasi, Kecamatan Maba Selatan, Halmahera Timur, Maluku Utara, pada Oktober 2022. Alen diduga mengalami penyiksaan saat penangkapan atau interogasi. Luka memar di wajah Alen terlihat dari pemukulan saat interogasi. Alen juga mengeluhkan sakit pada bagian dada dan seluruh tubuh akibat tendang tersebut. Tangan Alen juga kedinginan ke kursi selama proses interogasi.

Menurut keterangan Istri Alen berinisial Y ketika Polisi Penyidik ​​menekan dan memaksa (Y) istri Alen, untuk mengakui bahwa Alen yang telah melakukan pembunuhan. Y meyakinkan penyidik ​​bahwa Alen tidak melakukan pembunuhan karena saat kejadian Alen bersama istri Y. Dengan nada mengancam polisi akan memenjarakan Y selama tujuh tahun, polisi memaksanya untuk membenarkan tuduhan tersebut.

Masalah tambah serius karena pada hari Kamis, (23/3/2023) Puluhan warga Dusun Tukur-Tukur, Desa Dodaga, Halmahera Timur, Maluku Utara, merupakan Masyarakat Adat Tobelo Dalam,, menghadang dan mengusir sejumlah anggota kepolisian dari Polres Halmahera Timur, yang mendatangi Dusun Tukur-tukur untuk mencari dan menangkap warga yang dituduh membunuh. Situasi sempat panas, dan nyaris ricuh setelah anggota polisi nekat memasuki pemukiman. Dari rekaman video amatir terlihat warga histeris. Kerena warga menganggap tindakan pihak kepolisian merupakan bentuk kriminalisasi hukum terhadap mereka selama ini yang mereka rasakan.

______________________________________________
TANGGAPAN KAPOLRES HALTIM AKBP Setyo Agus Hermawan, 
--------------------------------------------------------------------

Terkait Peristiwa Pembunuhan warga Desa Gotowasi, Kecamatan Maba Selatan, Halmahera Timur, Maluku Utara, pada Oktober 2022, saat dikonfirmasi mengatakan, bekerja berdasarkan bukti dan petunjuk atas perbuatan para tersangka, bukan karena lainnya. Mereka bekerja terkait kasus pembunuhan tahun 2022. Hasil penyelidikan empat orang tersangka yang melakukan pembunuhan. Dia bilang, bukan menyasar Suku Tobelo Dalam, tapi tersangka dari Dusun Tukur-tukur.

Informasi dari Polres Haltim menyatakan, penangkapan berdasarkan laporan warga atas pembunuhan terhadap warga Talib Muhip Desa Gotowasi, Kecamatan Maba Selatan, Halmahera Timur, Maluku Utara, pada Oktober 2022.

AKBP Setyo Agus Hermawan, Kapolres Haltim dalam jumpa pers 27 Maret lalu mengatakan, kasus pembunuhan terjadi di kebun saat Talip sedang mengolah kopra. Saat kejadian Talib bersama beberapa keluarganya. Yang lain melarikan diri, Talib meninggal dunia.

“Kejadian itu langsung dilaporkan ke Polsek Maba Selatan dan dilimpahkan ke Polres Haltim. Setelah kami laporkan langsung oleh TKP (tempat kejadian perkara). Saat oleh TKP kami menemukan beberapa barang bukti yakni anak panah, darah dan pohon pisang yang ditebas pelakunya,” katanya dalam rilis mereka..

Setelah 11 hari kejadian mereka mengeluarkan suat penyidikan. Setelah kurang lebih empat bulan, Polres Haltim memeriksa saksi 16 orang, dua orang sebagai tersangka pembunuhan. Dalam pengembangan kasus, katanya, ada dua pelaku lain yang berasal dari Dusun Tukur-tukur.

Dua penangkapan yang ditangkap, Sy, petani dari Desa Gaitoli, Kecamatan Maba yang ditahan 21 Maret 2023 dan AB dari Dusun Tukur-tukur, Desa Dodaga, ditahan 22 Maret 2023.

“Sementara dua tersangka lain yang belum ditangkap hingga saat ini AB dan OB, keduanya di Dusun Tukur-tukur, Desa Dodaga,” katanya. Inisial antara pelaku yang sudah ditangkap dan yang belum ditangkap polisi tulis sama dalam rilis mereka.

Setyo mengatakan, motif pembunuhan karena dendam terkait dengan kasus pembunuhan di Waci pada 2019. Salah satu keluarga pelaku dipidana di lapas Ternate. “Kecewa yang tidak diinginkan itu muncul niat pembalasan dengan pembunuhan di Maba Selatan.”

Dia menyebutkan, keempat orang berkumpul di Dusun Tukur-tukur untuk mencari kayu gaharu. Setyo menuding, cari kayu sebagai alasan untuk rencana pembunuhan. Keempat orang itu dengan mobil Avanza putih dari Dusun Tukur-tukur menuju Jalan Gotowasi.

Dia bilang, OB merencanakan pembunuhan lalu mengajak orang ketiga lainnya. Polisi menjerat pelaku dengan pasal perencanaan pembunuhan.
______________________________________________
TANGGAPAN SAYA TERHADAP TINDAKAN KEKERASAN TERHADAP WARGA DUSUN TUKUR-TUKUR DESA DODAGA ( SUKU TOGUTIL) OLEH OKNUM POLISI POLRES HALTIM 
--------------------------------------------------------------------

Dari berbagai rangkaian peristiwa yang dikemukakan di atas, Polisi sebagai Aparat Penegak Hukum (APH) dinilai acapkali malah menjadi aktor dibalik penegakan hukum yang melakukan pelanggaran Hukum dan HAM. Sederet kasus yang menjerat polisi pun muncul ke publik akhir-akhir ini. Mulai dari pembunuhan, penganiayaan/melakukan penyiksaan, penggunaan/bandar narkoba (menjual barang bukti).

Menurut Wilson, Tindakan polisi menyiksa seseorang untuk mendapatkan bukti barang atau untuk mendapatkan pengakuan tidak dibenarkan dengan alasan apapun. Selain melawan hak asasi manusia, mencari informasi dengan cara semacam itu hanya menunjukkan rendahnya profesionalisme mereka. Kekerasan polisi selama interogasi harus dihentikan - terlepas dari orang tersebut terindikasi melakukan kejahatan harus menghormati sebagai praduga tak bersalah ( praduga tidak bersalah).

Seluruh tindakan tersebut bertentangan dengan TAP MPR No. VI/MPR/2000 dan UU No. 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian RI yang menyatakan bahwa fungsi kepolisian melindungi keamanan dan mendukung masyarakat

Serta melanggar peraturan internal Kapolri untuk mencegah penyiksaan berulang. Salah satunya adalah Peraturan Kapolri (Perkap) Nomor 8 Tahun 2009. Dalam peraturan ini, saat bertugas, polisi diwajibkan untuk menjunjung tinggi norma dan aturan yang berlaku. Polisi dilarang untuk melakukan kekerasan saat bertugas, kecuali untuk mencegah kejahatan." 

Larangan ini tertuang di dalam Pasal 10 huruf (c ) Peraturan Kapolri (Perkap) Nomor 8 tahun 2009 tentang implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia Dalam Penyelenggaraan Tugas Polri.

Secara garis besar, Pasal 10 huruf (c) Perkap ini berbunyi, "dalam melaksanakan tugas penegakan hukum, setiap tugas /anggota Polri wajib mematuhi ketentuan perilaku (code of Conduct), yaitu tidak boleh menggunakan kekerasan, kecuali dibutuhkan untuk mencegah kejahatan, membantu melakukan penangkapan terhadap pelanggaran hukum atau tersangka sesuai dengan peraturan menggunakan kekerasan"

Larangan melakukan kekerasan saat bertugas juga tertuang dalam Perkap yang sama, Yakni pada Pasal 11 ayat 1 huruf ( j), Pasal 24 huruf (b), Pasal 27 Ayat (2) huruf (h), dan Pasal 44.

Dalam Perkap ini disebut tidak ada pengecualian atau alasan apapun yang dibolehkan untuk menggunakan kekerasan yang tidak berdasarkan hukum.

Polisi yang melakukan tindakan melanggar HAM wajib mempertanggungjawabkan sesuai dengan kode etik profesi kepolisian, disiplin dan hukum yang berlaku. Sanksi ini tertuang dalam Peraturan Kapolri (Perkap) Nomor 14 Tahun 2011 tentang Kode Etik Profesi Kepolisian Republik Indonesia. 

Perkap Nomor 14 ini juga mengatur tentang larangan melakukan kekerasan saat polisi bertugas. Dalam Pasal 13 Ayat (1) huruf (e) tertulis, “Setiap anggota Polri dilarang berperilaku kasar dan tidak patut.”

Lanjut, Wilson Penyidik ​​kepolisian juga harus memahami bahwa pengakuan tersangka hanyalah salah satu alat bukti. Menurut KUHAP, pengakuan tersangka bukanlah variabel terpenting dalam penyelesaian suatu perkara. Yang lebih penting adalah saksi dan dokumen lain yang membuktikan adanya kejahatan. Mereka harus mencari bukti lain untuk mendukung penyelidikan, bukan memaksa seseorang untuk mengaku."

Memaksa seseorang untuk mengaku melalui penyiksaan adalah perilaku resmi masa lalu yang harus ditolak. Cara ini justru bisa membuat polisi salah dalam mengidentifikasi tersangka. Orang-orang dipaksa untuk mengaku bersalah karena mereka tidak tahan dengan siksaan.

Menurut Wilson, cara-cara biadab dalam menginterogasi seseorang menunjukkan bahwa reformasi Polri mandek. Reformasi sudah berlangsung selama kurang lebih 20 tahun, namun polisi masih menggunakan cara-cara kuno untuk mendapatkan pengakuan. Pengetahuan mereka tentang hak asasi manusia masih terbatas.

Lebih buruk lagi: polisi tampaknya tidak menganggap serius penyiksaan. Tidak mengherankan, hukuman yang diberikan kepada petugas polisi yang dihukum karena penyiksaan relatif ringan, bahkan ada yang tidak diselidiki. 

Kekerasan polisi seringkali mengakibatkan cacat permanen, trauma bahkan ada yang kehilangan nyawa. 

Polisi harus menjamin hak-hak korban penyiksaan. Polisi seharusnya berkembang sedemikian rupa agar kekerasan tidak terulang kembali. Jika ingin tetap menjadi pengayom masyarakat, polisi harus meninggalkan tradisi bermain siksaan.

Oleh karena itu, Terkait dengan perilaku oknum yang mencoreng nama institusi Polri, pimpinan Polri (Kapolda Maluku Utara) harus menindak tegas dengan cara memberikan sanksi kode etik sampai dengan pemberhentian dengan tidak hormat (PTDH) atau paling tidak dilakukan pembinaan.

Wilson, bahwa upaya tersebut dilakukan untuk meningkatkan profesionalitas anggota Polri dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat, yang tidak profesional dalam menjalankan tugasnya sangat berpotensi merusak Citra institusi Kepolisian. Oknum-oknum polisi yang jadi benalu dalam institusi harus dipangkas. (WCA)
______________________________________________
Referensi:

TAP MPR No. VI/MPR/2000, diakses pada tanggal 01/4/2023
UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia diakses pada tanggal 31
Perkap Nomor 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia dalam Penyelenggaraan Tugas Polri diakses pada tanggal 31 Maret 2023
Perkap Nomor 14 Tahun 2011 tentang Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia diakses pada tanggal 31 Maret 2023
Kutipan berita: diakses pada tanggal 30 Maret 2023, Judul berita: "Was-was Stigma Pembunuh, Warga Adat Tobelo Dalam di Dodaga Protes Tindakan Polisi" https://www.mongabay.co.id/2023/03/28/was-was-stigma-pembunuh-warga-adat-tobelo-dalam-di-dodaga-protes-tindakan-polisi/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar