Wikipedia

Hasil penelusuran

Rabu, 02 Februari 2022

Professional Advocate And Legal Consultants | WCA LAWFIRM

Wilson Colling, S.H., M.H.













Jadilah seorang advokat yang menjadi tempat dari kebijaksanaan. keberanian. kesucian diri. dan keadilan 

Tetap positif, dan fokus bekerja pada rencana untuk menjadi pengacara terbaik yakin kita bisa "⚖

Minggu, 23 Januari 2022

 Tanggung jawab ekspedisi atas kerusakan barang. Bagaimana pengaturan perjanjian dan tahap-tahap dalam kepengurusannya? 

Pembahasan mengenai peraturan dan juga tahapan-tahapan untuk mengurus kerusakan barang yang terjadi. Adapun mengulas mengenai bentuk tanggung jawab terhadap pemilik barang atau pengirim sampai barang tersebut tiba di lokasi tujuan.

Tanggung Jawab Perusahaan Angkutan Laut

Seseorang yang menggunakan jasa ekspedisi laut apakah dapat menuntut apabila barang yang dipercayakan oleh ekspedisi tersebut mengalami kerusakan? Adapun tanggung jawab ekspedisi atas kerusakan barang yang diasumsikan perusahaan angkutan laut nasional sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran.


Selain itu, diatur pula dalam Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2010 tentang Angkutan di Perairan (PP 20/2010) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2010 tentang Angkutan di Perairan.


Pasal 1 angka 29 PP 20/2010 menyebutkan:


Perusahaan Angkutan Laut Nasional adalah perusahaan angkutan laut berbadan hukum Indonesia yang melakukan kegiatan angkutan laut di dalam wilayah perairan Indonesia dan/atau dari dan ke pelabuhan di luar negeri.

Tanggung jawab ekspedisi atas kerusakan barang ditentukan dalam Pasal 40 UU Pelayaran yang berbunyi:

Perusahaan angkutan di perairan bertanggung jawab terhadap keselamatan dan keamanan penumpang dan/atau barang yang diangkutnya

Perusahaan angkutan di perairan bertanggung jawab terhadap muatan kapal sesuai dengan jenis dan jumlah yang dinyatakan dalam dokumen muatan dan/atau perjanjian atau kontrak pengangkutan yang telah disepakati.

Kemudian, tanggung jawab ekspedisi atas kerusakan barang ditentukan pada Pasal 41 ayat (1) UU Pelayaran jo. Pasal 181 ayat (2) PP 20/2010 yang menyatakan bahwa tanggung jawab tersebut dapat ditimbulkan sebagai akibat pengoperasian kapal, berupa:

Kematian atau lukanya penumpang yang diangkut

Musnah, hilang, atau rusaknya barang yang diangkut

Keterlambatan angkutan penumpang dan/atau barang yang diangkut, atau

Kerugian pihak ketiga

Berdasarkan penjelasan dan ketentuan di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa tanggung jawab ekspedisi atas kerusakan barang mengacu apabila barang tersebut musnah, hilang, atau rusak barang yang diangkut.

Batasan tanggung jawab ekspedisi terhadap pengguna jasa

Tanggung jawab ekspedisi atas kerusakan barang memiliki batasannya tersendiri. Batasannya didasarkan pada kesepakatan bersama antara pengguna dan penyedia jasa sesuai dengan perjanjian angkutan atau sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Serta terbatas terhadap jenis dan jumlah yang dinyatakan dalam dokumen muatan atau yang lebih dikenal dengan “bill of lading”. 

Bill of lading merupakan salah satu dokumen paling penting yang berlaku dalam kegiatan pengiriman barang domestik maupun ekspor dan impor, jika dalam bahasa Indonesia diartikan sebagai konosemen. Dokumen ini merupakan surat tanda terima barang yang telah muat dalam kapal dan juga menjadi bukti kepemilikan barang dan sebagai bukti adanya kontrak atau perjanjian pengangkutan barang melalui laut.


Kembali pada tanggung jawab ekspedisi atas kerusakan barang maka dari itu perusahaan angkutan laut harus berhati-hati terhadap barang yang diangkutnya. Untuk mengalihkan risiko terhadap gugatan ganti kerugian oleh pengiriman, perusahaan angkutan laut mengasuransikan barang yang diangkut. Asuransi terhadap barang angkutan ini sifatnya diwajibkan oleh peraturan perundang-undangan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 41 ayat (3) UU Pelayaran jo. Pasal 181 ayat (3) PP 20/2010.

Perasuransian Barang Muatan

Adapun biaya asuransi untuk mengcover biaya yang dibebankan kepada pengirim atau pengguna jasa. Perjanjian asuransi yang dibuat adalah antara perusahaan asuransi sebagai penanggung dengan pengirim/pengguna jasa sebagai tertanggung. Walaupun dapat dimungkinkan pula perjanjian asuransi dilaksanakan oleh perusahaan asuransi dengan perusahaan angkutan laut untuk kepentingan pengirim/pengguna jasa.


Asuransi dinyatakan dalam Pasal 246 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang, yaitu:

Asuransi atau pertanggungan adalah perjanjian, di mana penanggung mengikat diri terhadap tertanggung dengan memperoleh premi, untuk memberikan kepadanya ganti rugi karena suatu kehilangan, kerusakan, atau tidak mendapat keuntungan yang diharapkan, yang mungkin akan dapat diderita karena suatu peristiwa yang tidak pasti.

Khususnya untuk asuransi angkutan laut, tanggung jawab perusahaan asuransi atau penanggung ditegaskan dalam Pasal 637 KUHD yang berbunyi:


Adalah yang harus dipikul oleh si penanggung yaitu segala kerugian dan kerusakan yang menimpa kepada barang-barang yang dipertanggungkan karena angin taufan, hujan lebat, pecahnya kapal, terdamparnya kapal, menggulingnya kapal, penubrukan, karena kapalnya dipaksa mengganti haluan atau perjalanannya, karena pembuangan barang-barang ke laut; karena kebakaran, paksaan, banjir perampasan, bajak laut atau perampok, penahanan atas perintah dari pihak atasan, pernyataan perang, tindakan-tindakan pembalasan; segala kerusakan yang disebabkan karena kelalaian, kealpaan atau kecurangan nakhoda atau anak buahnya, atau pada umumnya karena segala malapetaka yang datang dari luar, yang bagaimanapun juga, kecuali apabila oleh ketentuan undang-undang atau oleh sesuatu janji di dalam polisnya, si penanggung dibebaskan dari pemikiran sesuatu dari berbagai bahaya tadi.

Ganti Rugi oleh Perusahaan Angkutan Laut

Dalam situasi tertentu, pihak perusahaan angkutan laut tetap harus bertanggung jawab untuk membayar ganti kerugian yang diderita oleh pengirim/pengguna jasa berdasarkan ketentuan Pasal 40 dan Pasal 41 UU Pelayaran jo. Pasal 181 PP 20/2010 sebagaimana telah diuraikan di atas.

Tanggung jawab ekspedisi atas kerusakan barang dapat digugat oleh pihak pengguna jasa untuk meminta ganti rugi berdasarkan perbuatan melawan hukum sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang berbunyi:

Tiap perusahaan yang melanggar hukum dan membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang menimbulkan kerugian itu karena kesalahannya untuk menggantikan kerugian tersebut.

Pasal 1365 KUH Perdata juga menegaskan bahwa setiap orang bertanggung jawab, bukan hanya atas perbuatannya, namun juga karena adanya suatu kelalaian atau kesembronoannya.

Dengan kasus ini, tanggung jawab ekspedisi atas kerusakan barang pengguna jasa akan dipertanyakan. Karena pengguna jasa mengalami kerugian, karena barang yang dikirim rusak. Kerusakan barang tersebut dikarenakan oleh kelalaian pihak perusahaan angkutan laut, karena tidak menghubungkan container reefer dengan listrik di pelabuhan tujuan.