Wikipedia

Hasil penelusuran

Kamis, 04 Februari 2021

SEJARAH PERKEMBANGAN HUKUM PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA ZAMAN HINDIA BELANDA KE HUKUM NASIONAL

 



SEJARAH PERKEMBANGAN HUKUM PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA ZAMAN HINDIA BELANDA KE HUKUM NASIONAL



BAB 1
PENDAHULUAN

A.Latar Belakang

Sejarah telah mencatat bahwa penjajahan Belanda atas kepulauan nusantara,berawal pada tahun1619.Dalam tahun itu, pasukan vereenigde oost Indische Compangni (VOC) di bawah pimpinan Jan Pieterzoon Coen berhasil merebut Jayakarta dan kemudian mendirikan kota baru yang diberi nama Batavia.VOC yang semula merupakan perusahaan dangang Belanda yang bertujuan mendapatkan menopoli atas perdagangan rempah-rempah di wilayah kepulauan nusantara, kemudian berkembang menjadi suatu kekuatan penjajah. Untuk memenuhi ambisinya, VOC dibawah pimpinan J.P.Coen tidak segan-segan berperang menghancurkan kekuasaan raja-raja pribumi yang menghambat usaha mereka,  khususnya kerajaan-kerajaan di jawa dan Maluku.Kemudian melalui politik devide et impera voc tidak saja berhasil memperluas wilayah perdagangannya, tetapi juga memperoleh tambahan tanah jajahan.

Pada akhirnya VOC lebih cenderung untuk mempertahankan dan memperluas tanah jajahan ketimbang melakukan misi utamanya yaitu usaha perdagang.Selain itu,banyak pejabat voc di Batavia berlaku curang, pemborosan, infesiensi dan korupsi yang turut memperburuk kondisi keuangan perusahaan. Hutang yang sudah menumpuk pada pemerintah Belanda tidak mungkin lagi terbayar.Akhirnya setelah dinyatakan bangkrut (failliet), maka pada tanggal 1 Januari 1800,VOC di bubarkan dengan ketentuan semua tanah jajahan miliknya diambil alih oleh pemerintah Belanda. Sejak itu pula terbentuk secara resmi pemerintahan colonial Hindia Belanda yang berkuasa hingga tanggal 8 maret 1942 yaitu ketika Belanda menyerah tanpa syarat pada balatentara Jepang dalam perang Pacifik.

Sejalan dengan kesimpulan diatas, dapat dipahami jika VOC   sebagai perusahaan dagang dalam meluaskan usahanya ke berbagai macam perkebunan tidak pernah menunjukkan minat pada usaha pertambangan (menambang sendiri). Maka demikian,VOC tetap terlibat dalam kegiatan perdagangan hasil-hasil tambang,sebagaimana dicatat oleh sejarah bahwa pada tahun 1710 mulai melakukan pembelian timah dari Sultan Palembang yang dihasilkan oleh tambang-tambang yang dikerjakan oleh orang-orang Cina di Pulau Bangka. Bahkan pada akhirnya VOC memperoleh monopoli atas perdagangan timah ini,jadi peranannya hanya sebagai tengkulak yang tidak pernah berminat melakukan pertambangan sendiri.

Keterlibatan swasta mendorong Pemerintah Hindia Belanda membentuk suatu Komisi khusus (1850) untuk mempelajari dan menyusun bentuk pengaturan usaha pertambangan.Komisi berhasil menyusun sebuah peraturan pertambangan (mijnreglement) yang pertama, peraturan ini memungkinkan pemberian hak atau konsesi penambangan kepada swasta warga negara Belanda,tetapi masih terbatas untuk daerah-daerah di luar Pulau Jawa. Pengecualian Pulau Jawa karena Pemerintah Hindia Belanda berpendapat akan timbul konflik (overlapping) antara hak pertambangan dan system cultuurstelsel dalam pertanian dan perkebunan yang telah diberlakukan di Pulau Jawa.Pemerintah Hindia Belanda rupanya belum mendapatkan cara yang tepat bagaimana cara memisahkan hak atas tanah dan hak atas bahan galian yang terdapat didalam tanah yang bersangkutan.

Oleh karena mulai dirasakan perlunya mengatur kegiatan pertambangan secara khusus,pada tahun 1852 pemerintah mendirikan “Dienst van het Mijnwezen” (Jawatan Pertambangan).

Tugas jawatan ini adalah melakukan eksplorasi geologi-pertambangan di beberapa daerah untuk kepentingan pemerintah Hindia Belanda.Hasil penemuannya antara lain;endapan batubara Ombilin Sumatera Barat(1866), namun baru berhasil ditambang oleh pemerintah pada tahun 1891.Penjajahan Belanda Mijnwet system kontrak 5A. Sejak zaman Hindia Belanda,di Nusantara berlaku Mijnwet dengan semua peraturan pelaksanaan dan perubahannya. Dalam Mijnwet tidak dibedakan antara minyak dan gas bumi dengan bahan galian lainnya. Oleh sebab itu,pengusahaan kedua bahan tambang ini diatur berdasarkan asas hukum yang sama,kecuali segi teknik yang memerlukan pengaturan terpisah.

Semenjak Proklamasi kemerdekaan dan Indonesia mempunyai UUD 1945 yang berlaku sejak 18 Agustus 1945,Undang-undang pertambangan pada masa Hindia Belanda masih tetap diberlakukan untuk waktu yang cukup lama,meskipun dirasakan tidak sesuai dengan prinsip dasar yang terkandung dalam pasal 33 ayat (3) UUD 1945.

Usaha pemerintah menggantikan Mijnwet telah dimulai sejak adanya Mosi Teuku Moehammad Hasan dan kawan-kawan pada tahun 1951, yang diikuti dibentuknya Panitia Negara Urusan Pertambangan (PNUP). Salah satu tugas PNUP adalah mempersiapkan undang-undang pertambangan Indonesia yang sesuai dengan keadaan alam kemerdekaan berdasarkan ekonomi nasional. Panitia ini berhasil menyusun rancangan undang-undang (RUU) pertambangan, namun sampai PNUP bubar, RUU ini tidak pernah menjadi undang-undang karena banyaknya kepentingan politik pada masa itu.

Setelah Presiden mendekritkan berlakunya UUD 1945, barulah Indonesia mempunyai undang-undang pertambangan nasional, yaitu UU No.37prp Tahun 1960 tentang pertambangan. Pertambangan dapat lebih berkembang sejalan dengan dibukanya pintu bagi penanaman modal asing menurut UU No.1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing,maka diterbitkan UU No.11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertambangan, menggantikan UU No.37 prp Tahun 1960.

Krisis moneter di Indonesia yang terjadi pada tahun 1997 memberikan dampak yang luas pada perkonomian Nasional, yang berakhirnya pemerintahan Soeharto pada tahun 1998 dan memasuki masa reformasi.Beberapa situasi penting yang berubah, menyangkut perubahan lingkungan strategis,antara lain, semangat otonomi daerah, globalisasi, hak asasi manusia, hak atas kekayaan intelektual, demokratisasi dan lingkungan hidup. Perubahan-perubahan itu di antisipasi oleh Pemerintah dalam berbagai kebijakan maka lahirlah UU NO. 4 Tahun 2009 tetang Pertambangan Mineral dan Batubara.


B.Rumusan Masalah

Adapun yang menjadi rumusan masalah dalam tulisan ini adalah bagaimana menelisik  Sejarah perkembangan hukum pertambangan mineral dan batubara sejak zaman Hindia Belanda ke  hukum nasional.


BAB II
PEMBAHASAN

Sejarah pengaturan pertambangan mineral dan batubara sejak zaman Hindia Belanda ke hukum nasional.

A.    Masa kekuasaan VOC (1619-1799)

Sejarah telah mencatat bahwa penjajahan Belanda atas kepulauan Nusantara,berawal pada tahun 1619.Dalam tahun itu pasukan vereeningde Oost Indische Compagnie (VOC) dibawah pimpinan Jan Pieterzoon Coen berhasil merebut Jakarta dan kemudian mendirikan kota baru yang diberi nama Batavia. VOC, yang semula merupakan perusahaan dagang Belanda yang bertujuan  mendapatkan  monopoli atas perdagangan rempah-rempah di wilayah kepulauan Nusantara, kemudian berkembang menjadi suatu kekuatan penjajah.Untuk memenuhi ambisinya, VOC dibawah pimpinan J.P.Coen tidak segan-segan berperang menghancurkan kekuasaan raja-raja pribumi yang menghambat usaha mereka,khususnya kerjaan-kerajaan di Jawa dan Maluku.Kemudian memulai politik devide et impera VOC tidak saja berhasil memperluas wilayah perdagangannya, tetapi juga memperoleh tambahan tanah jajahan.

Pada akhirnya VOC lebih cenderung untuk mempertahankan dan memperluas tanah jajahan ketimbang melakukan misi utamanya yaitu usaha perdagang.Selain itu,banyak pejabat VOC di Batavia berlaku curang,pemborosan, infensiensi dan korupsi yang turut memperburuk kondisi keuangan perusahaan.Hutang yang sudah menumpuk pada Pemerintah Belanda tidak mungkin lagi terbayar.Akhirnya setelah dinyatakan bangkrut (failliet)

 Januari 1800,VOC dibubarkan dengan ketentuan semua tanah jajahan dan miliknya diambil alih oleh pemerintah colonial Hindia Belanda yang berkuasa hingga tanggal 8 maret 1942 yaitu ketika Belanda menyerah tanpa syarat pada balatentara Jepang.

Selanjutnya bagaimana dan apa yang telah dilakukan Belanda dalam sektor pertambangan selama lebih dari tiga abad penjajahannya di Hindia Belanda. Seotaryo Sigit, seorang pakar pertambangan terkemuka Indonesia, menyimpulkan bahwa;

 “Dalam hal penyelidikan geologi yang bersifat mendasar, cukup banyak yang telah melakukan dan dihasilkan oleh para pakar Belanda. Hal ini tidak mengherankan,karena Bangsa Belanda sejak dulu sudah terkenal memiliki ilmuan-ilmuan besar di berbagai bidang. Dalam bidang bidang pertambangan sebaliknya, ternyata orang-orang Belanda tidak mampu mengembangkan Hindia Belanda suatu wilayah pertambangan terkemuka, meskipun potensi mineral wilayah ini,sesungguhnya cukup besar. Hal ini-pun tidak perlu mengherankan,karena negeri Belanda dasarnya rakyat Belanda hidup dari pertanian dan perdagangan’’

Sejalan dengan kesimpulan di atas,dapat dipahami, jika VOC sebagai perusahaan dagang dalam meluaskan usahanya ke berbagai macam perkebunan tidak pernah menujukkan minat pada usaha pertambangan (menambang sendiri). Meskipun demikian, VOC tetap terlihat dalam kegiatan perdagangan hasil-hasil tambang,sebagaimana dicatat oleh sejarah bahwa pada tahun 1710 mulai melakukan pembelian timah dari Sultan Palembang yang dihasilkan oleh tambang-tambang yang di kerjakan oleh orang-orang cina di pulau Bangka. Bahkan pada akhirnya VOC memperoleh monopoli atas perdagangan timah ini, jadi peranannya hanya sebagai tengkulak yang tidak pernah berminat melakukan pertambangan sendiri.


B.     Masa Pemeritahan Hindia Belanda (1800-1942)

Setelah pengambilalihan semua milik (asset) dan kegiatan  VOC oleh Pemerintah Hindia Belanda sampai jatuhnya Hindia Belanda ke tangan inggris (1811), khusus yang berkenaan dengan usaha/kegiatan pertambangan tidak banyak mengalami perubahan yang berarti.Baru setelah inggris menyerahkan kembali tanah jajahan ini kepada Belanda (1816) dilakukanlah perubahan dalam cara pemerintahan Hindia Belanda.

Kegiatan pemerintahan selanjutnya hanya mencakup tugas tugas pemerintahan murni,sedangkan kegiatan perdagangan,pertanian, perkebunan dan industry kecil dan sebagainya diserahkan kepada pihak swasta. Dalam suasana liberalisasi perekonomian, muncullah keinginan pihak swasta dan perorangan Belanda untuk mengusahakan pertambangan. Minat swasta tertuju kepada timah dan batubara.Kedua komoditi tersebut, memiliki prospek pemasaran yang jelas ketika itu.

Keterlibatan swasta mendorong Pemerintah Hindia Belanda membentuk suatu Komisi khusus (1850)   untuk mempelajari dan menyusun bentuk pengaturan usaha pertambangan. Komisi berhasil menyusun sebuah peraturan pertambangan (mijnreglement) yang pertama.Peraturan ini memungkinkan pemberian hak atau konsesi penambangan kepada swasta warga Negara Belanda, tetapi masih terbatas untuk daerah-daerah di luar Pulau Jawa.Pengecualian Pulau Jawa karena Pemerintah Hindia Belanda berpendapat akan timbul konflik (overlapping) antara hak pertambangan dan system cultuurstelsel dalam pertanian dan perkebunan yang telah diberlakukan di Pulau Jawa.Pemerintah Hindia Belanda rupanya belum mendapatkan cara yang tepat bagaimana cara memisahkan hak atas tanah dan hak atas bahan galian yang terdapat di dalam tanah yang bersangkutan .

Oleh karena mulai dirasakan perlunya mengatur kegiatan pertambangan secara khusus,pada tahun 1852 pemerintah mendirikan “Dienst van het Mijnwezen” (Jawatan Pertambangan). Tugas jawatan ini adalah melakukan eksplorasi geologi-pertambangan di beberapa daerah untuk kepentingan pemerintah Hindia Belanda.Hasil penemuan antara lain; endapan batubara Ombilin Sumatera Barat (1866), namun baru berhasil ditambang oleh Pemerintah pada tahun 1891.

Sementara pada bidang usaha perminyakan dimulai tahun 1871. Pengusaha (swasta) Belanda memegang peranan yang aktif.A.J.Zylker, seorang pengusaha tembakau merupakan pemegang konsesi pertama yang diberikan pada tahun 1883. Kemudian pada tahun 1890 Royal Dutch Company, mengambil alih konsesi Zylker dan menjadikan perusahaan ini nomor dua terbesar di dunia.Sampai tahun 1911 Royal Dutch-Shell yang dikenal di Hindia Belanda sebagai (Bataffsche Petroleum Maatschappij (BPM) minyak satu-satunya perusahaan minyak yang beroperasi atas dasar konsesi (concessie). Konsesi yang berjangka waktu 75 tahun hanya berlangsung hingga tahun1928,bahkan konsesi tahun 1930 dipersingkat menjadi 40 tahun saja.

Pemerintah Hindia Belanda yang memperoleh royalty sebesar 20% dari keuntungan bersih, mulai melakukan intervensi dengan asumsi bahwa system konsesi lebih banyak menguntungkan perusahaan.Intervensi ini dengan membentuk Nederlandsche Indische Ardalie Maatschappij (NIAM) pada tahun 1930-an,sebagai patungan antara Pemerintah dengan BPM atas dasar fifty-fifty. Perkembangan demikian jelas memperlihatkan semakin pentingnya peran pemerintah dan swasta dalam usaha pertambangan.

Lambatnya perkembangan pertambangan ini,antara lain disebabkan oleh belum adanya peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang pertambangan.Baru pada tahun 1899, pemerintah Hindia Belanda berhasil mengundangkan Indische Mijnwet (Staatblad 1899-214). Indian Mijnwet hanya mengatur mengenai penggolongan bahan galian dan pengusahaan  pertambangan.

Oleh karena Indische Mijnwet hanya mengatur pokok-pokok persoalan saja,sehingga pemerintah colonial mengeluarkan peraturan pelaksanaan berupa Mijnordonnantie yang diberlakukan mulai 1 mei 1907.Mijnordonnantie mengatur pula mengenai Pengawasan Keselamatan Kerja (tercantum dalam pasal 356 sampai dengan pasal 612). Kemudian pada tahun 1930 Mijnordonnantie 1907 dicabut dan diperbaharui dengan Mijnordonnantie 1930 yang berlaku sejak tanggal 1 juli 1930.Dalam Mijnordonnantie 1930, tidak lagi mengatur mengenai Pengawasan Keselamatan Kerja Pertambangan, tetapi diatur tersendiri dalam Mijn Politie Reglement (Staatblad 1930 No.341) yang hingga kini masih berlaku.

Dalam pelaksanaan Indisce Mijnwet terdapat hal-hal yang masih menghambat kegiatan swasta,dan telah mengalami dua kali amandement (perubahan) yaitu pada tahun 1910 dan 1918.Setelah itu kegiatan pertambangan swasta dapat benar-benar berkembang dan mencapai puncaknya akhir 1930-an,menjelang pecahnya Perang Dunia II.

Semasa Hindia Belanda, usaha pertambangan dilaksanakan oleh pemerintah maupun oleh swasta dengan menggunakan berbagai pola atau bentuk perizinan.Semula memang telah menjadi kebijaksanaan pemerintah Hindia Belanda untuk mengusahakan sendiri tambang-tambang besar yang dinilai vital seperti tambang batu-bara dan timah.Akan tetapi untuk beberapa proyek yang besar seperti pengembangan tambang nikel di Sulawesi Tenggara, pengusahannya dilakukan oleh pihak swasta berdasarkan suatu kontrak khusus dari pemerintah.Kontrak itu,dikenal dengan sebutan 5a contract karena didasarkan pada ketentuan pasal 5a Indisce Mijnwet.

Pasal 5a adalah pasal yang ditambahkan pada Indisce Mijnwet saat dilakukan amandement tahun 1910. Bunyi Pasal 5a selengkapnya sebagai berikut:

1.   Het Gouverment is bevoegd opsporingen en ont-ginningen te doenplaats hebben,waar die niet in strijd komen met aan opspoorders of  concessionarisen verlende rechten.(Pemerintah berwenang untuk melakukan penyelidikan dan eksploitasi selama hal itu tidak bertentangan dengan hak-hak yang telah diberikan kepada penyelidik atau pemegang hak konsesi).

2.   Het kan te dien einde of zelf opsporingen en ondernemen, of met personen of vennotschappen die voldoen aan het eerst lid van artikel 4 dezer wet, overeenkomsten aangaan, waarbij zij zich verbinden tot het onder-nemen van ontginningen of van opsporingen en ontginningen. (Untuk hal tersebut, pemerintah dapat melakukan sendiri penyelidikan dan  eksploitasi atau mengadakan perjanjian dengan perorangan atau perusahaan yang  memenuhi persyaratan sebagaimana tercantum pada pasal 4 undang-undang ini dan sesuai perjanjian itu mereka wajib melaksanakan eksploitasi, ataupun penyelidikan dan eksploitasi yang dimaksud).

3.   Zoodanige overeenkomsten worden niet gesloten dan nadat daartoe telken-male bij de wet machtiging is verleend.(Perjanjian demikian itu tidak akan dilaksanakan kecuali telah disahkan dengan undang- undang.

Kemudian perlu pula dicatat bahwa pada bamandement tahun 1918 dilakukan perubahan pada ketentuan ayat (3) pasal 5a Indisce Mijnwet yaitu bahwa kontrak yang mencakup kegiatan eksplorasi saja tidak perlu harus disahkan dengan undang-undang. Liberalisasi kebijaksanaan pertambangan melalui dua kali amandemen undang-undang tersebut diatas berhasil meningkatan minat pihak swasta untuk mengusahakan kegiatan eksplorasi pertambangan di Hindia Belanda,khususnya dalam kuru waktu antara tahun 1920 sampai dengan tahun 1940.

Pada masa ini yang boleh memperoleh konsesi(hak pertambangan) dan lisensi (izin pertambangan) hanyalah mereka yang tunduk kepada Hukum Barat dan perusahaan-perusahaan yang telah di daftar di negeri Belanda dan Hindia Belanda.Dengan demikian sejak semula hanyalah orang-orang asing(bukan pribumi) yang berkecimpung dalam usaha pertambangan baik usaha perminyakan maupun pertambangan umum.

Pada kepustakaan lain, Brake menuliskan bahwa pada akhir tahun 1938 menjelang jatuhnya Pemerintah Hindia Belanda terdapat 471 buah konsesi dan izin pertambangan yang masih berlaku dengan perincian sebagai berikut:

1.  268 konsesi pertambangan untuk mineral/bahan galian yang tercantum dalam      Indusce Mijnwet.

2.  3 perusahaan pertambangan milik pemerintah Hindia Belanda.

3. 2 usaha pertambangan patungan antara pemerintah Hindia Belanda dengan swasta.

4.2 usaha pertambangan yang dilakukan oleh swasta untuk pemerintah berdasarkan perjanjian khusus.

5.  14 kontrak 5a untuk tahap eksplorasi pertambangan dan 34 kontrak 5a untuk tahap eksploitasi.

6.  142 izin pertambangan untuk mineral/bahan galian yang tercantum dalam Indisce Mijnwet.

    Sampai saat jatuhnya pemerintah Hindia Belanda (1942), selain minyak bumi, bahan tambang dari negeri ini yang sesudah masuk peringkat dunia hanyalah timah saja, sedang batubara dan bauksit hanya masuk dalam pasaran internasional dalam jumlah yang sangat terbata. Meskipun demikian keadaannya, berdasarkan pengetahuan akan potensi mineral yang ada,perkembangan pertambangan ketika itu sudah dapat dikatakan optimal.


C.Perkembangan pada periode 1942-1949

Menyerahkannya tentara kerjaan Hindia Belanda KNIL,kepada balatentara jepang pada tanggal 8 maret 1942 menandai berakhirnya kekuasaan Pemerintah Hindia Belanda atas Indonesia.Selama pendudukan jepang Indische minjewet 1899 praktis tidak jalan, sebab semua kebijaksanaan mengenai pertambangan termasuk operasi minyak berada di tangan Komando Militer Jepang yang disesuaikan dengan situasi perang.

   Menjelang serbuan Jepang, tidak semua tambang di Hindia Belanda sempat dibumihanguskan oleh Belanda.Beberapa tambang yang menghasilkan bahan mentah untuk keperluan perang seperti minyak bumi, Batubara, timah, bauksit, nikel dibuka kembali dan diteruskan kegiatannya oleh orang-orang Jepang.Bahkan dengan kegigihannya yang luar biasa mereka bekerja keras untuk mencari  dan menambang bahan galian yang tidak pernah diusahakan oleh Belanda sebelumnya.

   Meskipun Jepang hanya menjajah Indonesia dalam waktu tiga tahun,Jepang telah berhasil mengembangkan potensi pertambangan Indonesia.Sejumlah tambang Batubara mereka buka untuk mendapatkan batubara kokas seperti di  daerah Kalimantan selatan, sebagian lagi di berbagai lokasi di Jawa Barat untuk memasok batubara bagi kereta api di Jawa.

Selain itu, telah diusahakan pula untuk mencari dan membuka tambang tembaga,antara lain di Tirtomoyo (jawa Tengah), Sangkar Opi (Sulawesi Selatan) Timbulun (Sumatera Barat), bijih besi di Lampung dan berbagai lokasi  di Kalimantan Selatan, sinaber di Kalimantan Barat dan Jawa Barat,bijih mangan di Pulau Doi, bauksit di Kalimantan Barat.

Pada bulan Agustus 1945, perang pasifik usai, disusul dengan perang kemerdekaan Indonesia yang berlangsung hingga akhir 1949. Selama dalam kurun waktu ini tidak banyak yang dapat dilakukan di sektor pertambangan. Sementara itu, Pemerintah Netherlands Indies civil Administration (NICA) yang berhasil menguasai sebagian pulau Jawa, dan membuka kantor Dienst van den mijnbouw di Bandung. Namun tidak banyak juga yang dapat mereka lakukan. Beberapa tambang yang sempat dikuasai oleh orang-orang Belanda, antara lain tambang timah di Bangka Belitung, tambang bauksit di Bintan mulai dibenahi, tetapi selama berkecamuknya perang kemerdekaan hingga akhir 1949 keadaannya masih jauh dari normal.

Pada tanggal 27 Desember 1949 berlangsung secara resmi penyerahan kedaulatan Belanda kepada Republik Indonesia Serikat dan pada tanggal 17 Agustus 1950 RIS dilebur menjadi Negara kesatuan Republik Indonesia.

D.  Perkembagan pada periode 1950-1966

Perkembangan kegiatan pertambangan di Indonesia dalam selama kurung waktu 1950-1966 tidak terlepas dari pengaruh perkembangan politik dalam negeri yang ditandai dengan banyak ketegangan dan pergolakan. Ketidakstabilan politik tidak memungkinkan dilaksanakannya usaha pembangunan yang berkelanjutan. Pemberontakan bersenjata timbul di beberapa daerah baik Jawa maupun di luar  Jawa. Dewan Konstituante yang di bentuk yang di bentuk menyusun Undang-Undang Dasar baru,tidak berhasil menyelesaikan tugasnya karena tidak dapat memutuskan dasar Negara. Akhirnya Konstituante dipaksa berhenti dan dibubarkan dengan Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959 sekaligus Kembali ke UUD 1945.

Di bawah demokrasi terpimpin Pemerintah langsung mengurusi dan mengelola sendiri berbagai macam kegiatan ekonomi yang di anggap penting. Akan tetapi dilain pihak Pemerintah tidak memiliki cukup dana yang di perlukan untuk melaksanakan pembangunan ekonomi sebagaimana telah direncanakan dalam pola Pembangunan Nasional Semesta Berencana yang diundangkan dalam tahun 1960. Bersamaan dengan keadaan  politik yang terus memburuk, keadaan ekonomi pun terus terus merosot. Bahkan bergolaknya rasa nasional radikal yang tidak senang adanya perusahaan dan kapital asing di Indonesia.  Hal ini berlangsung terus sehingga timbulnya pergolakan politik dalam tahun 1965-1966.

Setelah penyerahan kedaulatan dari Belanda kepada, masalah pengawasan atas usaha pertambangan timah dan minyak bumi yang masih dikuasi modal Belanda dan modal asing lainya merupakan isu politik yang sangat peka.Oleh karena itu,pada bulan Juli 1951 anggota Dewan Perwakilan Rakyat Sementara (DPRS), Teuku Mr.Moh.Hassan dan kawan-kawan menyusun mosi mendesak Pemerintah untuk segera mengambil langka-langka guna membenahi peraturan dan pengawasan usaha pertambangan di Indonesia.

Usul mosi ini yang kemudian dikenal dengan sebutan”Mosi Mr.Teuku Moh.Hassan dkk”yang memuat beberapa hal, diantarannya yang terpenting ialah mendesak pemerintah supaya:

1.   Membentuk suatu komisi Negara urusan pertambangan dalam jangka waktu satu bulan dengan tugas sebagai berikut:

a.   menyelidiki masalah pengolahan tambang minyak, timah, batubara, tambang emas/perak dan bahan mineral lainnya di Indonesia.

b.   mempersiapkan rencana Undang-Undang pertambangan Indonesia yang sesuai dengan keadaan dewasa ini.

c.   mencari pokok-pokok pikiran bagi pemerintah untuk menyelesaikan/mengatur pengolahan minyak di Sumatera khususnya dan sumber-sumber minyak di tempat lain.

d.   mencari pokok-pokok pikiran bagi Pemerintah mengenai status Pertambangan di Indonesia.

e.   mencari pokok-pokok pikiran bagi Pemerintah mengenai penetapan pajak dan penetapan harga minyak.

f.   membuat usulan lain mengenai pertambangan sebagai sumber penghasilan Negara.

2.  Menunda segala pemberian izin, konsesi, eksplorasi maupun memperpanjang izin-izin yang sudah habis waktunya, selama menunggu hasil pekerjaan Panitia Negara Urusan Pertambangan. Menanggapi mosi parlemen ini, Panitia Negara yang di bentuk pemerintah berhasil menyiapkan naskah Rancangan Undang-undang pertambangan pada awal tahun 1952. Akan tetapi karena silih bergantinya kabinet, Rancangan Undang-Undang ini tidak pernah di sampaikan kepada DPRS. Namun demikian, Pemerintah dapat menerbitkan Undang-Undang NO.10 Tahun 1959 tentang Hak-hak Pertambangan. Peraturan pelaksanaan Undang-Undang ini termuat dalam Peraturan Pemerintah NO.25 Tahun 1959.

Berdasarkan undang-undang tersebut, maka semua hak pertambangan yang terbit sebelum tahun 1949 yang selama ini belum juga dikerjakan dan diusahakan kembali, ataupun masih dalam taraf permulaan penguasaan dan tidak tidak menunjukkan kesungguhan, semuanya di batalkan. Ditetapkan pula dalam undang-undang ini, bahwa sambil menunggu undang-undang pertambangan yang baru, maka atas daerah-daerah yang akibat pembatalan tadi menjadi bebas, artinya dapat dimohonkan dan diterbitkan hak pertambangan yang baru dengan ketentuan hak tersebut hanya dapat diberikan kepada Perusahaan Negara dan atau daerah swantara. Penertiban hak pertambangan ini adalah wewenang Menteri Perindustrian (yang waktu itu membawahi sektor  pertambangan).

Pada tahun 1960 Pemerintah menerbitkan suatu peraturan mengenai pertambangan yang diundangkan sebagai peraturan Pemerintah Pengganti undang-undang yang kemudian menjadi undang-undang No.37 Prp.Tahun 1960 tentang pertambangan yang lebih dikenal sebagai undang-undang pertambangan1960. Undang-undang ini mengakhiri berlakunya Indische Mijnwet 1899 yang tidak selaras dengan cita-cita kepentingan Nasional dan merupakan undang-undang pertambangan Nasional yang pertama.

Dalam undang-undang Pertambangan 1960, mengizinkan Pemerintah menarik modal asing untuk mengembangkan bidang eksplorasi dan eksploitasi pertambangan berdasarkan pola production sharing contract. Sebagaimana diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 20 tahun 1963. Pola bagi hasil ini pada dasarnya tidak lain berupa peminjaman modal dari pihak asing yang akan dibayar kembali dengan hasil produksi. Namun pola ini, ketika itu tidak berhasil menarik minat swasta ataupun mendatangkan modal dari luar negeri sebagaimana yang diharapkan.

E.Periode1967-sekarang

Periode ini oleh Soetaryo Sigit disebutnya sebagai babak baru dalam kebijaksanaan ekonomi dan perkembangan pertambangan Indonesia. Babak baru ini diawali dengan ditetapkanya Ketetapan MPRS No.XXIII/MPRS/1966 tentang pembaharuan Kebijaksanaan Landasan Ekonomi Keuangan dan  Pembangunan. Ketetapan MPRS tersebut, memuat beberapa hal yang terkait dengan sektor pertambangan, antara lain sebagai berikut:

1.  Kekayaan potensi yang terdapat dalam alam Indonesia perlu digali dan diolah agar dapat dijadikan kekuatan ekonomi riil (Bab II pasal 8);
2.  Potensi modal, teknologi dan keahlian dari luar negeri dapat di manfaatkan untuk penanggulangan kemerosotan ekonomi serta pembangunan Indonesia (Bab II, Pasal 10);

3.  Dengan mengingat terbatasnya modal dari luar negeri, perlu segera ditetapkan undang-undang mengenai modal asing dan modal domestic (Bab VIII, pasal 62).

Berdasarkan ketetapan MPRS di atas,disusunlah rancangan undang-undang tentang Penanaman Modal Asing, kemudian diundangkan menjadi undang-undang No.1 Tahun1967 tentang Penanaman Modal Asing.Untuk menyesuaikan kebijaksanaan baru dalam perkonomian, khususnya mengenai usaha pertambangan tidak mungkin dilaksanakan tanpa mengganti undang-undang pertambangan. Menyadari sepenuhnya urgensi penanganan hal ini, Departemen Pertambangan segera membentuk Panitia Penyusunan Rancangan Undang-undang Pertambangan. Hasil kerja Panitia diajukan kepada DPR menjelang pertengahan tahun 1967. Menyusul terbitnya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing, terbit pula Undang-undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang ketentuan-ketentuan Pokok Pertambangan atau UUPP 1967.

UUPP 1967 memuat beberapa prinsip-prinsip yang berbeda dengan Indische Mijnwet:

1.  Penguasaan sumber daya alam oleh Negara sesuai dengan Pasal 33 UUD 1945,dimana Negara menguasai semua sumber daya alam sepenuh-penuhnya untuk kepentingan Negara dan kemakmuran rakyat (pasal 1).

2.  Penggolongan bahan-bahan galian dalam golongan strategis, vital dan non strategis dan  vital (pasal 3).

3.  Sifat dari perusahaan pertambangan,yang pada dasarnya harus dilakukan oleh Negara atau perusahaan Negara/daerah, sedangkan perusahaan swasta nasional/asing hanya dapat bertindak sebagai kontraktor dari Negara/Perusahaan Negara dan Badan Usaha Milik Negara (BUMN).

4.  Konsesi ditiadakan, sedang wewenang untuk melakukan usaha pertambangan diberikan berdasarkan kuasa pertambangan (KP), sebab konsesi memberikan hak yang terlalu luas dan terlalu kuat bagi pemegang konsesi. Selain itu, hak konsesi merupakan hak kebendaan (zakelijkrechts, propertyright), sehingga dapat dijadikan jaminan hipotik. Berbeda dengan hak kontraktor dan hak pemegang kuasa pertambangan,tidak mempunyai kekuatan hukum yang demikian, menurut hukum Indonesia.

Prinsip-prinsip diatas, menunjukkan betapa besar dan kuatnya hak penguasaan dan peranan  Negara atas sektor pertambangan, akan tetapi tidak berarti menutup kemungkinan turut sertanya modal dan teknologi asing dalam pengusahaan pertambangan. Karena harus diakui bahwa pengusahaan bahan galian membutuhkan modal besar, teknologi tinggi dan keahlian-keahlian tertentu.

Dengan demikian, partisipasi modal dan teknologi asing sangat diharapkan dalam pengusahaan pertambangan. Hanya saja dasar partisipasi modal asing tidak lagi sebagai concessionairis (pemegang konsesi). Mereka hanya dapat menjadi kontrakor dari Pemerintah dan pemegang Kuasa Pertambangan.

Mengenai perkembangan keterlibatan kontraktor asing di sektor pertambangan hingga tahun 1998, Kontrak Karya Pertambangan telah memasuki generasi VII,Kontrak Karya Batubara memasuki generasi III dan Kontrak Production Sharing memasuki generasi III. Dari segi produksi, hingga saat ini bagian terbesar produksi tambang utama Indonesia adalah hasil kegiatan perusahaan-perusahaan asing.Namun dalam sepuluh tahun terakhir ini, sudah mulai tampak adanya minat para pengusaha swasta nasional untuk turut bergiat dalam usaha pertambangan, baik secara sendiri maupun dalam usaha patungan dengan pihak asing. Secara substansi dapat dikatakan bahwa Undang-undang  Nomor 11 Tahun 1967 mempunyai ciri dan karakteristik sebagai berikut;

1.  Berciri sentralistik atau ortodoks;
2.  Bertentangan dengan konstitusi, yaitu yang berkaitan dengan ketentuan bahwa tambang rakyat hanya untuk memenuhi kehidupan sehari-hari;

3.  Merendahkan hak dan martabat rakyat.
    Sejalan dengan bergulirnya reformasi yang dipelopori leh mahasiswa pada Tahun 1998, telah membawa perubahan mendasar pada tata aturan dan system pemerintahan di Indonesia. Perubahan itu, adalah diterapkannya system otonomi daerah, yaitu sebuah system pemerintahan dengan pendekatan desentralisasi, dari system pemerintahan sebelumnya yang bersifat sentralistik. Landasan hukum system otonomi daerah pasca reformasi adalah UU No.22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, yang kemudian dirubah menjadi UU No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, dan setelah adanya yudicial review oleh Mahkamah Konstitusi yang berkaitan dengan muatan calon kepala daerah dari jalur independen, maka diubah menjadi UU No.12 Tahun 2008.

  Implikasi dari diterapkannya system otonomi daerah, adalah diserahkannya beberapa urusan pemerintahan yang asalnya merupakan wewenang pemerintah pusat menjadi kewenangan pemerintah daerah,kecuali urusan pertahanan dan keamanan, urusan luar negeri, urusan agama, urusan moneter,dan peradilan.Dengan demikian, urusan pertambangan adalah salah satu urusan yang merupakan wewenang atau urusan rumah tangga pemerintah daerah. Salah satu wujud konkretnya, penerbitan KP yang semula jadi urusan pemerintah pusat, dilimpahkan menjadi kewenangan pemerintah daerah.


F.Rezim undang-undang No.4 Tahun 2009

Dengan di berlakukannya UU No.4Tahun 2009 tentang mineral dan Batubara secara secara otomatis membuat UU No.11 Tahun 1967 dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Maka berakhirlah rezim KP, SIPD, PKP2B dan kontrak karya akan digantikan dengan Izin Usaha Pertambangan (“IUP”). Sedangkan untuk KP, SIPD, Kontrak Karya dan PKP2B yang telah lahir sebelum berlakunya UU No.4 Tahun 2009 tetap dihormati sampai masa berlakunya berakhir. Berikut peraturan pelaksana dari UU No.Tahun 2009:

1.PP No.22 Tahun210 tentang wilayah Pertambangan.

2.PP No.23 Tahun210 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha.
3.PP No.55 Tahun 2010 tentang konsep kontrak perjanjian digantikan dengan system IUP.

1.Kerangka Dasar undang-undang

Secara subtansi, terdapat perbedaan mendasar antara UU No.11 Tahun 1967 dengan UU No.4 Tahun 2009, baik dalam hal penggolongan bahan galian, maupun dalam kaitannya dengan system pengelolaannya.Perbedaan mendasar tersebut dapat dilihat dari sisi muatan UU No.4 Tahun 2009 yang lebih baik dari muatan UU No.11Tahun 1967. Materi muatan yang di anggap cukup baik dalam UU No. 4 Tahun 2009, diantaranya:

1. Lelang wilayah potensi bahan galian.Adanya ketentuan tentang lelang wilayah yang berpotensi mengandung bahan galian. Setiap perusahaan atau pihak yang akan melakukan pengusahaan bahan galian logam dan batubara khususnya, untuk dapat memperoleh konsesi pertambangan harus melalui proses lelang. Cara ini, dipandang sebagai suatu kemajuan dalam dunia usaha pertambangan Nasional. Ada beberapa keuntungan system penetapan konsesi melalui mekanisme lelang yaitu:

a.   Menekan timbulnya mafia izin tambang.Belakangan ini berkembang kecenderungan praktik-prakit jual beli konsesi tambang yang dilakukan oleh oknum-oknum tertentu yang biasanya mempunyai kedekatan atau akses dengan oknum pemda, yakni hanya bermodalkan membayar restribusi izin memperoleh sejumlah konsesi, tetapi bukan untuk diusahakan, melainkan untuk dijual kembali. Mekanisme lelang di harapkan efektif dalam menekan praktik jual beli izin konsesi pertambangan yang selama ini terjadi. Praktik jual beli izin tambang mendorong tumbuh suburnya mafia pertambangan. Akibat tindakan ini, tidak sedikit pihak yang semula benar-benar berniat berusaha di bidang pertambangan menjadi korban penipuan yang secara financial sangat besar jumlahnya.

b.   Media filter. Hanya perusahaan yang benar-benar siap secara financial, dan benar-benar berniat melakukan kegiatan usaha pertambangan yang akan mengikuti proses lelang, sehingga mekanisme lelang merupakan proses alamiah bagi perusahaan yang hanya hanya bermaksud coba-coba atau hanya bertindak sebagai broker izin.

c.   Meningkatkan pendapatan Negara.Melalui lelang, Negara akan memperoleh dua keuntungan sekaligus, pertama, memperoleh pemasukan bagi kas Negara, kedua, memperoleh perusahaan yang secara kualifikasi memang siap untuk melakukan kegiatan usaha pertambangan.

2.  Lebih akomodatif, yaitu dengan masuknya aturan yang berpihak kepada kepentingan rakyat, bandingkan ketentuan tentang pertambangan rakyat UU No.11 Tahun 1967 dengan ketentuan yang tertuang dalam UU No.4 Tahun 2009.

3.  Pertimbangan teknis strategis suatu bahan galian lebih ditentukan berdasarkan pertimbangan kepentingan Nasional,bukan pada jenis bahan galian.Artinya,apakah suatu bahan galian secara teknis, ekonomi, kepentingan, dan dari sisi pertahanan keamanan Negara keberadaannya strategis dan vital, maka pengelolaan menjadi kewenagan Negara/Pemerintah.
4.  Adanya pembagian kewenangan pengelolaan yang jelas antara tiap tindakan pemerintahan.

5.  Adanya upaya pengelolaan secara terintegrasi, mulai dari eksplorasi sampai pasca tambang.

Sejalan dengan itu, sesuai dengan yang tertuang dalam penjelasan umum, UU No.4 Tahun 2009 ini berusaha untuk mengakomodasi suara-suara sumbang yang selama ini mengemuka, berkaitan dengan pengelolaan dan pengusahaan bahan galian. Oleh Karena itu,undang-undang baru ini,selain berusaha mengakomodasi persoalan yang selama ini berkembang, juga menyesuaikan dengan perkembangan perubahan pembangunan pertambangan baik yang bersifat Nasional maupun Internasonal. Pemikiran akomodasi persoalan dan perkembangan itu tertuang dalan pokok-pokok pikiran, sebagai berikut:


1.  Mineral dan batubara sebagai sumber daya yang tak terbarukan di kuasai oleh Negara dan pengembangan serta pendayagunaannya dilaksanakan oleh pemerintah dan pemerintah daerah bersama dengan pelaku usaha.
2.  Pemerintah selanjutnya memberikan kesempatan kepada badan usaha yang berbadan hukum Indonesia, koperasi, perseorangan, maupun masyarakat setempat untuk melakukan pengusahaan mineral dan batubara berdasarkan izin, yang sejalan dengan otonomi daerah, diberikan oleh pemerintah dan/atau pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya masing-masing.

3.  Dalam rangka penyelenggaraan desentralisasi dan otonomi daerah, pengelolaan pertambangan mineral dan batubara dilaksanakan berdasarkan prinsip eksternalitas, akuntabilitas, dan efisiensi yang melibatkan pemerintah dan pemerintah.
4.  Usaha pertambangan harus memberikan manfaat ekonomi dan sosial bagi sebar-besarnya kesejahteraan rakyat.




#
#
Pengacara Terbaik WILSON COLLING And ASSOCIATES ... Profesional - Professional Lawyer - The Law Office Of WILSON COLLING AND 

.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar