Wikipedia

Hasil penelusuran

Senin, 03 April 2023

𝗣𝗼𝗹𝗲𝗺𝗶𝗸 𝗥𝗲𝗹𝗼𝗸𝗮𝘀𝗶 𝗪𝗮𝗿𝗴𝗮 𝗞𝗮𝘄𝗮𝘀𝗶, 𝗔𝗽𝗮𝗸𝗮𝗵 𝗜𝗻𝗶 𝗦𝗶𝗮𝘀𝗮𝘁 𝗕𝘂𝗿𝘂𝗸 𝗛𝗮𝗿𝗶𝘁𝗮 𝗚𝗿𝗼𝘂𝗽?












🅆🄲🄰🄻🄰🅆🄵🄸🅁


𝗣𝗼𝗹𝗲𝗺𝗶𝗸 𝗥𝗲𝗹𝗼𝗸𝗮𝘀𝗶 𝗪𝗮𝗿𝗴𝗮 𝗞𝗮𝘄𝗮𝘀𝗶, 𝗔𝗽𝗮𝗸𝗮𝗵 𝗜𝗻𝗶 𝗦𝗶𝗮𝘀𝗮𝘁 𝗕𝘂𝗿𝘂𝗸 𝗛𝗮𝗿𝗶𝘁𝗮 𝗚𝗿𝗼𝘂𝗽?


𝗝𝗔𝗞𝗔𝗥𝗧𝗔, 𝗪𝗖𝗔𝗟𝗔𝗪𝗙𝗜𝗥𝗠 – Relokasi warga Desa Kasi, Halmahera Selatan, Maluku Utara mendapat dari Wakil Ketua Dewan Pimpinan Cabang (DPC) Perhimpunan Advokat Peradi (Peradi -RBA) Jakarta Pusat Pengacara Wilson Colling. Wilson menilai relokasi warga Desa Kawasi, merupakan hal yang serius dan krusial.

Pria asal Obi ini menyatakan, relokasi tersebut menyangkut eksistensi dan masa depan seluruh warga Desa Kawasi.

“Dan bukan hanya terkait dengan kepentingan bisnis Harita Group dan beberapa elit politik serta penguasa Desa Kawasi,” ujarnya, Ahad, 02 April 2023.

Oleh karena itu, sambung dia, wajar jika sebanyak mungkin komponen masyarakat Desa Kawasi berpartisipasi dalam pengambilan keputusan dan pengujian. Salah satu pilihan adalah musyawarah mufakat oleh masyarakat kampung Kawasi.

Pendekatan proses konteks untuk menentukan apakah akan merelokasi dan/atau memindahkan warga, merupakan wujud nyata.

Di mana membuka peluang masyarakat seluas-luasnya, memungkinkan untuk berpartisipasi.

“Dan persyaratan pemindahan itu harus tercantum dalam peraturan daerah (Perda),” ujarnya.

Sebab, lanjut Wilson, Desa Kawasi merupakan desa tertua di Pulau Obi. “Tidak mudah dicabut dari akar budaya dan identitas sebagai warga Desa Kawasi,” uca dia.

Menurutnya, masyarakat dapat mengetahui apa alasan objektif mengapa pemerintah dan perusahaan Harita Group melakukan relokasi Desa Kawasi tersebut.

Guna kepentingan hak-hak warga dan untuk mendapatkan kepastian hukum yang diatur dalam perda, ungkapnya.

Hal itu terbukti banyak kritik pro dan kontra yang terjadi di kalangan masyarakat.

Di mulai dari para elit politik dan tokoh agama, tokoh adat, pemerintah desa dan lintas organisasi. Semuanya mendatangi DPRD Halmahera Selatan, juga dari JATM.

“Bahkan perlawanan dari masyarakat Desa Kawasi rencana relokasi akan melakukan perlawanan,” timpalnya.

Ia menambahkan, pembangunan eco village tanpa transparansi, justru sangat merugikan penduduk Desa Kawasi, karena merampas hak-hak penduduk.

“Wajar mereka menyampaikan sikapnya, termasuk bila dipaksakan relokasi masyarakat akan melakukan perlawanan keras. Yang tentu saja perlawanan yang dimaksud di sini adalah mempertahankan hak-hak hukum mereka, tidak sebatas rumah ganti rumah semata. Ini masalah bisnis yang meraup keuntungan besar, tidak bisa dilihat merelokasi warga tanpa alasan yang pasti,” tegas Wilson.

Merelokasi warga Desa Kawasi membuat Wilson mendapat banyak keberatan.

Masyarakat menyampaikan secara langsung maupun, melalui saluran WhatsApp dan lainnya.

“Oleh karena itu, sebagai orang Obi punya kewajiban menyampaikan secara terbuka terhadap pemerintah, maupun pihak perusahaan PT Harita Group. Masyarakat menyampaikan suara-suara itu secara langsung kepada saya, baik dari para tokoh maupun masyarakat biasa. Mereka tidak dalam rangka memblokir investasi dengan rencana relokasi warga. 

Tapi karena proses rencana relokasi penuh dengan intrik dan siasat pihak jahat perusahaan PT Harita Group mengalihkan risiko ke pemerintah daerah, bahwa rencana relokasi pemukiman warga desa merupakan program pemerintah daerah, sedangkan pihak PT Harita Group hanya sebagai pendukung program pemerintah. Yang artinya proses relokasi tidak berdasarkan alasan tujuan guna menghindari hak dan kewajiban yang timbul di kemudian hari,” jabarnya.

Wilson menyarankan, pihak-pihak terkait perlu mengakaji ulang soal rencana relokasi warga Desa Kawasi. Dengan demikian secara komprehensif melalui pendekatan sosiologis, antropologi dan akademisi.

“Meminta pemerintah daerah dan pihak perusahaan PT Harita Group secara terbuka dan konkrit menyampaikan, kepada masyarakat alasan rencana relokasi pemukiman warga Desa Kawasi. Menyoal perubahan untung bukan sebatas rumah ganti rumah, tetapi ada hak-hak lain yang perlu dipertimbangkan dan dibicarakan secara transparan. Ini urusan bisnis yang meraup keuntungan yang besar, bukan yayasan,” ujarnya.

Alasan tujuannya, kata dia, rencana relokasi pemukiman warga karena kegiatan tambang nikel PT Harita Group yang sudah mengepung pemukiman warga Desa Kawasi.

Di antaranya hidup sehat, menghirup udara segar dan lainnya telah dilanggar oleh pihak perusahaan, maka alasan objektifnya harus direlokasi.

Jadi PT Harita Group jangan membuat karangan bebas alasan relokasi karena daerah tersebut rawan gempa bumi. Ini namanya siasat busuk,” tegasnya 🆆🅲🅰

Sabtu, 01 April 2023

Polres Halmahera Timur: Dalam Menegakkan Hukum Dengan Melanggar Hukum dan HAM, Terhadap Warga Dusun Tukur-tukur Desa Dodaga Suku Togutil



















Oleh: Wilson Colling, SH, MH
Pemerhati Hukum Indonesia 


Jakarta, WCALAWFIRM - Tindakan kekerasan oleh Oknum Polisi Polres Halmahera Timur (Haltim) terhadap warga Dusun Tukur-tukur Desa Dodaga (Suku Togutil), Kecamatan Wasilei, atas tuduhan pembunuhan yang terjadi di Desa Gotowasi, Kabupaten Halmahera Timur, Maluku Utara, menjadi sorotan publik. Salah satu Wakil Ketua Dewan Pimpinan Cabang (DPC) Perhimpunan Advokat Indonesia ( PERADI-Rumah Bersama Advokat ) Jakarta Pusat, Pengacara Wilson Colling juga sebagai pemerhati hukum Indonesia mendesak Kapolda Maluku Utara agar mencopot Kapolres AKBP Setyo Agus Hermawan, Halmahera Timur (Timur) atas insiden tersebut.

"Sebagai bentuk pertanggungjawaban pimpinan, sanksi juga patut diberikan kepada Kapolres AKBP Setyo Agus Hermawan Halmahera Timur. Kapolda Maluku Utara sebaiknya mencopot Kapolres Halmahera Timur dari jabatannya. Hal ini penting dilakukan untuk menjaga citra kepolisian sebagai pelindung, pengayom, dan pelayan masyarakat," ujar Advokat Wilson, dalam keterangan., Sabtu (01/4/2023).

Sayangnya, praktik kekerasan oleh polisi terus terjadi. Yang terbaru, pada tanggal 22/3/2023, anggota Kepolisian Polres Halmahera Timur (Haltim), Provinsi Maluku Utara ditengarai melakukan kekerasan saat menangkap Masyarakat Adat Suku Togutil, Tobelo Dalam, Alen Baikole (polisi beri inisial AB), warga asli suku Togutil . Dia ditangkap di tempat kerjanya, di Subaim. Atas tuduhan peristiwa pembunuhan terhadap warga Talib Muhip Desa Gotowasi, Kecamatan Maba Selatan, Halmahera Timur, Maluku Utara, pada Oktober 2022. Alen diduga mengalami penyiksaan saat penangkapan atau interogasi. Luka memar di wajah Alen terlihat dari pemukulan saat interogasi. Alen juga mengeluhkan sakit pada bagian dada dan seluruh tubuh akibat tendang tersebut. Tangan Alen juga kedinginan ke kursi selama proses interogasi.

Menurut keterangan Istri Alen berinisial Y ketika Polisi Penyidik ​​menekan dan memaksa (Y) istri Alen, untuk mengakui bahwa Alen yang telah melakukan pembunuhan. Y meyakinkan penyidik ​​bahwa Alen tidak melakukan pembunuhan karena saat kejadian Alen bersama istri Y. Dengan nada mengancam polisi akan memenjarakan Y selama tujuh tahun, polisi memaksanya untuk membenarkan tuduhan tersebut.

Masalah tambah serius karena pada hari Kamis, (23/3/2023) Puluhan warga Dusun Tukur-Tukur, Desa Dodaga, Halmahera Timur, Maluku Utara, merupakan Masyarakat Adat Tobelo Dalam,, menghadang dan mengusir sejumlah anggota kepolisian dari Polres Halmahera Timur, yang mendatangi Dusun Tukur-tukur untuk mencari dan menangkap warga yang dituduh membunuh. Situasi sempat panas, dan nyaris ricuh setelah anggota polisi nekat memasuki pemukiman. Dari rekaman video amatir terlihat warga histeris. Kerena warga menganggap tindakan pihak kepolisian merupakan bentuk kriminalisasi hukum terhadap mereka selama ini yang mereka rasakan.

______________________________________________
TANGGAPAN KAPOLRES HALTIM AKBP Setyo Agus Hermawan, 
--------------------------------------------------------------------

Terkait Peristiwa Pembunuhan warga Desa Gotowasi, Kecamatan Maba Selatan, Halmahera Timur, Maluku Utara, pada Oktober 2022, saat dikonfirmasi mengatakan, bekerja berdasarkan bukti dan petunjuk atas perbuatan para tersangka, bukan karena lainnya. Mereka bekerja terkait kasus pembunuhan tahun 2022. Hasil penyelidikan empat orang tersangka yang melakukan pembunuhan. Dia bilang, bukan menyasar Suku Tobelo Dalam, tapi tersangka dari Dusun Tukur-tukur.

Informasi dari Polres Haltim menyatakan, penangkapan berdasarkan laporan warga atas pembunuhan terhadap warga Talib Muhip Desa Gotowasi, Kecamatan Maba Selatan, Halmahera Timur, Maluku Utara, pada Oktober 2022.

AKBP Setyo Agus Hermawan, Kapolres Haltim dalam jumpa pers 27 Maret lalu mengatakan, kasus pembunuhan terjadi di kebun saat Talip sedang mengolah kopra. Saat kejadian Talib bersama beberapa keluarganya. Yang lain melarikan diri, Talib meninggal dunia.

“Kejadian itu langsung dilaporkan ke Polsek Maba Selatan dan dilimpahkan ke Polres Haltim. Setelah kami laporkan langsung oleh TKP (tempat kejadian perkara). Saat oleh TKP kami menemukan beberapa barang bukti yakni anak panah, darah dan pohon pisang yang ditebas pelakunya,” katanya dalam rilis mereka..

Setelah 11 hari kejadian mereka mengeluarkan suat penyidikan. Setelah kurang lebih empat bulan, Polres Haltim memeriksa saksi 16 orang, dua orang sebagai tersangka pembunuhan. Dalam pengembangan kasus, katanya, ada dua pelaku lain yang berasal dari Dusun Tukur-tukur.

Dua penangkapan yang ditangkap, Sy, petani dari Desa Gaitoli, Kecamatan Maba yang ditahan 21 Maret 2023 dan AB dari Dusun Tukur-tukur, Desa Dodaga, ditahan 22 Maret 2023.

“Sementara dua tersangka lain yang belum ditangkap hingga saat ini AB dan OB, keduanya di Dusun Tukur-tukur, Desa Dodaga,” katanya. Inisial antara pelaku yang sudah ditangkap dan yang belum ditangkap polisi tulis sama dalam rilis mereka.

Setyo mengatakan, motif pembunuhan karena dendam terkait dengan kasus pembunuhan di Waci pada 2019. Salah satu keluarga pelaku dipidana di lapas Ternate. “Kecewa yang tidak diinginkan itu muncul niat pembalasan dengan pembunuhan di Maba Selatan.”

Dia menyebutkan, keempat orang berkumpul di Dusun Tukur-tukur untuk mencari kayu gaharu. Setyo menuding, cari kayu sebagai alasan untuk rencana pembunuhan. Keempat orang itu dengan mobil Avanza putih dari Dusun Tukur-tukur menuju Jalan Gotowasi.

Dia bilang, OB merencanakan pembunuhan lalu mengajak orang ketiga lainnya. Polisi menjerat pelaku dengan pasal perencanaan pembunuhan.
______________________________________________
TANGGAPAN SAYA TERHADAP TINDAKAN KEKERASAN TERHADAP WARGA DUSUN TUKUR-TUKUR DESA DODAGA ( SUKU TOGUTIL) OLEH OKNUM POLISI POLRES HALTIM 
--------------------------------------------------------------------

Dari berbagai rangkaian peristiwa yang dikemukakan di atas, Polisi sebagai Aparat Penegak Hukum (APH) dinilai acapkali malah menjadi aktor dibalik penegakan hukum yang melakukan pelanggaran Hukum dan HAM. Sederet kasus yang menjerat polisi pun muncul ke publik akhir-akhir ini. Mulai dari pembunuhan, penganiayaan/melakukan penyiksaan, penggunaan/bandar narkoba (menjual barang bukti).

Menurut Wilson, Tindakan polisi menyiksa seseorang untuk mendapatkan bukti barang atau untuk mendapatkan pengakuan tidak dibenarkan dengan alasan apapun. Selain melawan hak asasi manusia, mencari informasi dengan cara semacam itu hanya menunjukkan rendahnya profesionalisme mereka. Kekerasan polisi selama interogasi harus dihentikan - terlepas dari orang tersebut terindikasi melakukan kejahatan harus menghormati sebagai praduga tak bersalah ( praduga tidak bersalah).

Seluruh tindakan tersebut bertentangan dengan TAP MPR No. VI/MPR/2000 dan UU No. 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian RI yang menyatakan bahwa fungsi kepolisian melindungi keamanan dan mendukung masyarakat

Serta melanggar peraturan internal Kapolri untuk mencegah penyiksaan berulang. Salah satunya adalah Peraturan Kapolri (Perkap) Nomor 8 Tahun 2009. Dalam peraturan ini, saat bertugas, polisi diwajibkan untuk menjunjung tinggi norma dan aturan yang berlaku. Polisi dilarang untuk melakukan kekerasan saat bertugas, kecuali untuk mencegah kejahatan." 

Larangan ini tertuang di dalam Pasal 10 huruf (c ) Peraturan Kapolri (Perkap) Nomor 8 tahun 2009 tentang implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia Dalam Penyelenggaraan Tugas Polri.

Secara garis besar, Pasal 10 huruf (c) Perkap ini berbunyi, "dalam melaksanakan tugas penegakan hukum, setiap tugas /anggota Polri wajib mematuhi ketentuan perilaku (code of Conduct), yaitu tidak boleh menggunakan kekerasan, kecuali dibutuhkan untuk mencegah kejahatan, membantu melakukan penangkapan terhadap pelanggaran hukum atau tersangka sesuai dengan peraturan menggunakan kekerasan"

Larangan melakukan kekerasan saat bertugas juga tertuang dalam Perkap yang sama, Yakni pada Pasal 11 ayat 1 huruf ( j), Pasal 24 huruf (b), Pasal 27 Ayat (2) huruf (h), dan Pasal 44.

Dalam Perkap ini disebut tidak ada pengecualian atau alasan apapun yang dibolehkan untuk menggunakan kekerasan yang tidak berdasarkan hukum.

Polisi yang melakukan tindakan melanggar HAM wajib mempertanggungjawabkan sesuai dengan kode etik profesi kepolisian, disiplin dan hukum yang berlaku. Sanksi ini tertuang dalam Peraturan Kapolri (Perkap) Nomor 14 Tahun 2011 tentang Kode Etik Profesi Kepolisian Republik Indonesia. 

Perkap Nomor 14 ini juga mengatur tentang larangan melakukan kekerasan saat polisi bertugas. Dalam Pasal 13 Ayat (1) huruf (e) tertulis, “Setiap anggota Polri dilarang berperilaku kasar dan tidak patut.”

Lanjut, Wilson Penyidik ​​kepolisian juga harus memahami bahwa pengakuan tersangka hanyalah salah satu alat bukti. Menurut KUHAP, pengakuan tersangka bukanlah variabel terpenting dalam penyelesaian suatu perkara. Yang lebih penting adalah saksi dan dokumen lain yang membuktikan adanya kejahatan. Mereka harus mencari bukti lain untuk mendukung penyelidikan, bukan memaksa seseorang untuk mengaku."

Memaksa seseorang untuk mengaku melalui penyiksaan adalah perilaku resmi masa lalu yang harus ditolak. Cara ini justru bisa membuat polisi salah dalam mengidentifikasi tersangka. Orang-orang dipaksa untuk mengaku bersalah karena mereka tidak tahan dengan siksaan.

Menurut Wilson, cara-cara biadab dalam menginterogasi seseorang menunjukkan bahwa reformasi Polri mandek. Reformasi sudah berlangsung selama kurang lebih 20 tahun, namun polisi masih menggunakan cara-cara kuno untuk mendapatkan pengakuan. Pengetahuan mereka tentang hak asasi manusia masih terbatas.

Lebih buruk lagi: polisi tampaknya tidak menganggap serius penyiksaan. Tidak mengherankan, hukuman yang diberikan kepada petugas polisi yang dihukum karena penyiksaan relatif ringan, bahkan ada yang tidak diselidiki. 

Kekerasan polisi seringkali mengakibatkan cacat permanen, trauma bahkan ada yang kehilangan nyawa. 

Polisi harus menjamin hak-hak korban penyiksaan. Polisi seharusnya berkembang sedemikian rupa agar kekerasan tidak terulang kembali. Jika ingin tetap menjadi pengayom masyarakat, polisi harus meninggalkan tradisi bermain siksaan.

Oleh karena itu, Terkait dengan perilaku oknum yang mencoreng nama institusi Polri, pimpinan Polri (Kapolda Maluku Utara) harus menindak tegas dengan cara memberikan sanksi kode etik sampai dengan pemberhentian dengan tidak hormat (PTDH) atau paling tidak dilakukan pembinaan.

Wilson, bahwa upaya tersebut dilakukan untuk meningkatkan profesionalitas anggota Polri dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat, yang tidak profesional dalam menjalankan tugasnya sangat berpotensi merusak Citra institusi Kepolisian. Oknum-oknum polisi yang jadi benalu dalam institusi harus dipangkas. (WCA)
______________________________________________
Referensi:

TAP MPR No. VI/MPR/2000, diakses pada tanggal 01/4/2023
UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia diakses pada tanggal 31
Perkap Nomor 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia dalam Penyelenggaraan Tugas Polri diakses pada tanggal 31 Maret 2023
Perkap Nomor 14 Tahun 2011 tentang Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia diakses pada tanggal 31 Maret 2023
Kutipan berita: diakses pada tanggal 30 Maret 2023, Judul berita: "Was-was Stigma Pembunuh, Warga Adat Tobelo Dalam di Dodaga Protes Tindakan Polisi" https://www.mongabay.co.id/2023/03/28/was-was-stigma-pembunuh-warga-adat-tobelo-dalam-di-dodaga-protes-tindakan-polisi/

Jumat, 31 Maret 2023

PENGACARA WILSON COLLING MENYOROTI: TINDAKAN KEKERASAN OLEH OKNUM POLISI POLRES HALTIM TERHADAP WARGA DUSUN TUKUR-TUKUR DESA DODAGA, HARUS TINDAK TEGAS











--------------------------------------------------------------------
Oleh: Wilson Colling 


JAKARTA, WCALAWFIRM ~ Salah satu Wakil Ketua Dewan Pimpinan Cabang (DPC) Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi-RBA) Jakarta Pusat, Pengacara Wilson Colling, S.H, M.H, menyoroti  tindakan kekerasan oleh Oknum polisi Polres Halmahera Timur (Haltim) terhadap warga Dusun Tukur-Tukur Desa Dodaga (Suku Togutil) Kecamatan Wasilei, terkait peristiwa pembunuhan yang terjadi di Desa Gotowasi, Kabupaten Halmahera Timur, Maluku Utara—. Tindakan polisi menyiksa seseorang untuk mendapatkan bukti barang atau untuk pengakuan tidak dibenarkan dengan alasan apapun. Selain melawan hak asasi manusia, mencari informasi dengan cara semacam itu hanya menunjukkan rendahnya profesionalisme mereka. Kekerasan polisi selama interogasi harus dihentikan - terlepas dari orang tersebut terindikasi melakukan kejahatan harus menghormati prinsip asas praduga tak bersalah. Jumat (31/3/2023)

Sayangnya, praktik kekerasan oleh polisi terus terjadi. Yang terbaru, pada tanggal 22/3/2023, anggota Kepolisian Polres Halmahera Timur (Haltim), Provinsi Maluku Utara ditengarai melakukan kekerasan saat menangkap Masyarakat Adat Suku Togutil, Tobelo Dalam, Alen Baikole (polisi beri inisial AB), warga asli suku Togutil. Dia ditangkap di tempat kerjanya, di Subaim. Alen diduga mengalami penyiksaan saat penangkapan atau interogasi. Luka memar di wajah Alen terlihat dari pemukulan saat interogasi. Alen juga mengeluhkan sakit pada bagian dada dan seluruh tubuh akibat tendang tersebut. Tangan Alen juga dingin ke kursi selama proses interogasi.

Masalah menjadi serius ketika Penyidik ​​Menekan dan memaksa Y istri Alen, untuk mengakui bahwa Alen yang telah melakukan pembunuhan. Y meyakinkan penyelidik bahwa Alen tidak melakukan pembunuhan karena saat kejadian Alen bersama istri Y. Dengan nada mengancam polisi akan memenjarakan Y selama tujuh tahun, polisi memaksanya untuk membenarkan tuduhan tersebut. [dikutip dari berita:https://www.mongabay.co.id/2023/03/28/was-was-stigma-pembunuh-warga-adat-tobelo-dalam-di-dodaga-protes-tindakan-polisi/]

"Wilson Colling, menyayangkan dan mengutuk keras atas sikap dan tindakan oknum polisi Polres Halmahera Timur, atas tindakan main hakim sendiri terhadap warga Dusun Tukur-Tukur Desa Dodaga. Padahal Polisi sebenarnya secara internal memiliki aturan untuk mencegah penyiksaan berulang. Salah satunya adalah Peraturan Kapolri Nomor 8 Tahun 2009. Dalam peraturan ini, saat bertugas, polisi diwajibkan untuk menjunjung norma tinggi dan aturan yang berlaku. Polisi dilarang untuk melakukan kekerasan saat bertugas, kecuali untuk mencegah kejahatan." 

Larangan ini tertuang dalam Pasal 10 huruf (c ) Peraturan Kapolri (Perkap) Nomor 8 tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia Dalam Penyelenggaraan Tugas Polri.

Secara garis besar, Pasal 10 huruf (c) Perkap ini berbunyi, “dalam melaksanakan tugas penegakan hukum, setiap mandat/anggota Polri wajib mematuhi ketentuan perilaku (code of conduct), yaitu tidak boleh menggunakan kekerasan, kecuali dibutuhkan untuk mencegah kejahatan, membantu melakukan penangkapan terhadap pelanggaran hukum atau penangkapan sesuai dengan peraturan menggunakan kekerasan"

Larangan melakukan kekerasan saat bertugas juga tertuang dalam Perkap yang sama, Yakni pada Pasal 11 ayat (1) huruf (j), Pasal 24 huruf (b), Pasal 27 Ayat (2) huruf (h), dan Pasal 44.

Dalam perkap ini disebut tidak ada gunanya atau alasan apapun yang diperbolehkan untuk menggunakan kekerasan yang tidak berdasarkan hukum.

Polisi yang melakukan tindakan pelanggaran HAM wajib mempertanggungjawabkan sesuai dengan kode etik profesi kepolisian, disiplin dan hukum yang berlaku. Sanksi ini tertuang dalam Peraturan Kapolri (Perkap) Nomor 14 Tahun 2011 tentang Kode Etik Profesi Kepolisian Republik Indonesia. 

Perkap Nomor 14 ini juga mengatur tentang larangan melakukan kekerasan saat polisi bertugas. Dalam Pasal 13 Ayat (1) huruf (e) tertulis, “Setiap anggota Polri dilarang berperilaku kasar dan tidak patut.”

Sementara Pasal 15 huruf (e) berbunyi, “Setiap anggota Polri dilarang menilai, berucap dan bertindak sewenang-wenang.” 

Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Polri juga mengatur tentang polisi saat bertugas, yakni Pasal 14 huruf (i) dan Pasal 19. 

Pasal 14 huruf (i) berbunyi, “Dalam melaksanakan mandat pokok, Polri bertugas melindungi keselamatan jiwa raga, harta benda, masyarakat, dan lingkungan hidup dari gangguan tatanan dan/atau bencana termasuk memberikan bantuan dan pertolongan dengan menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia .”

Lanjut, Wilson Penyidik ​​​​​​​​kepolisian juga harus menyadari bahwa pengakuan tuduhan hanyalah salah satu alat bukti. Menurut KUHAP, klausa klausa bukanlah variabel terpenting dalam penyelesaian suatu masalah. Yang lebih penting adalah saksi dan dokumen lain yang membuktikan adanya kejahatan. Mereka harus mencari bukti lain untuk mendukung penyelidikan, bukan memaksa seseorang untuk mengaku."

Memaksa seseorang untuk mengaku melalui penyiksaan adalah perilaku resmi masa lalu yang harus ditolak. Cara ini justru bisa membuat polisi salah dalam mengidentifikasi tersangka. Orang-orang dipaksa untuk mengaku bersalah karena mereka tidak tahan dengan siksaan.

Menurut Wilson, cara-cara biadab dalam menginterogasi seseorang menunjukkan bahwa reformasi Polri mandek. Reformasi sudah berlangsung selama kurang lebih 20 tahun, namun polisi masih menggunakan cara-cara kuno untuk mendapatkan pengakuan. Pengetahuan mereka tentang hak asasi manusia masih terbatas.

Lebih buruk lagi: polisi tampaknya tidak menganggap serius penyiksaan. Tidak heran, hukuman yang diberikan kepada petugas polisi yang dihukum karena penyiksaan relatif ringan, bahkan ada yang tidak tunduk. 

Kekerasan polisi seringkali mengakibatkan cacat permanen, trauma bahkan ada yang kehilangan nyawa. 

Polisi harus menjamin hak-hak korban penyiksaan.Polisi seharusnya berkembang sedemikian rupa agar kekerasan tidak terulang kembali. Jika ingin tetap menjadi pengayom masyarakat, polisi harus meninggalkan tradisi bermain siksaan.

Berdasarkan deskripsi yuridis di atas, mohon kepada Kapolri, Kapolda Maluku Utara, untuk menindak tegas oknum polisi Polres Halmahera Timur, yang tidak profesional dalam menjalankan tugasnya, yang halal ini sangat berpotensi merusak Citra institusi Kepolisian.Oknum-oknum polisi yang jadi benalu dalam institusi harus dipangkas. (WCA)

______________________________________________

Referensi :

UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia diakses pada 31 Maret 2023

Perkap Nomor 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia dalam Penyelenggaraan Tugas Polri diakses pada 31 Maret 2023

Perkap Nomor 14 Tahun 2011 tentang Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia diakses pada 31 Maret 2023

Kutipan berita: diakses pada tanggal 30 Maret 2023, Judul berita: "Was-was Stigma Pembunuh, Warga Adat Tobelo Dalam di Dodaga Protes Tindakan Polisi" https://www.mongabay.co.id/2023/03/28/was- was-stigma-pembunuh-warga-adat-tobelo-dalam-di-dodaga-protes-tindakan-polisi/

Kamis, 30 Maret 2023

PENGACARA WILSON COLLING BUKA SUARA: RELOKASI WARGA DESA KAWASI TIDAK MENGAKOMODASI SEBANYAK -BANYAK ASPIRASI MASYARAKAT

 











PENGACARA WILSON COLLING BUKA SUARA:RELOKASI WARGA DESA KAWASI TIDAK MENGAKOMODASI SEBANYAK -BANYAK ASPIRASI MASYARAKAT
--------------------------------------------------------------------
Oleh:Wilson Colling


Jakarta, WCALAWFIRM ~ Salah satu Wakil Ketua Dewan Pimpinan Cabang (DPC) Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi-Rumah Bersama Advokat) Jakarta Pusat, Pengacara Wilson Colling, S.H, M.H.,  dan juga sebagai orang obi, buka suara menilai soal rencana relokasi warga Desa Kawasi, Kecamatan Obi, Kabupaten Halmahera Selatan , merupakan suatu hal yang sangat serius dan krusial. Menyangkut eksistensi dan masa depan seluruh warga Desa Kawasi. Dan bukan hanya terkait dengan kepentingan bisnis HARITA GROUP dan beberapa elit politik serta penguasa Desa Kawasi.

Oleh karena itu wajar jika sebanyak mungkin komponen masyarakat Desa Kawasi berpartisipasi dalam pengambilan keputusan dan pengujian. Salah satu pilihan adalah musyawarah mufakat oleh masyarakat kampung Kawasi.

Ujar Wilson, pendekatan proses konsensus untuk menentukan apakah akan merelokasi dan/atau mentransfer warga merupakan wujud nyata membuka peluang masyarakat seluas-luasnya kemungkinan untuk berpartisipasi. Dan persyaratan pemindahan itu harus tercantum dalam peraturan daerah (Perda) karena Desa Kawasi merupakan Desa tertua di Pulau Obi, tidak mudah dicabut dari akar budaya dan identitas sebagai warga Desa Kawasi.

“Saya menyayangkan relokasi warga Desa Kawasi yang hanya disetujui oleh Pemerintahan Daerah Kabupaten Halmahera Selatan dengan pihak Perusahaan PT Harita Group, hanya dengan nota kesepahaman atau Memorandum of Understanding (MOU) semata, tanpa menelaah peraturan, tetapi dalam proses pembahasannya tidak membuka partisipasi masyarakat secara luas- luasnya selama ini. masalah kesepakatan warga, pemerintah dan PT Harita Group dalam sosialisasi rencana relokasi."

Agar hal ini masyarakat dapat mengetahui apa alasan objektif mengapa Pemerintah dan perusahaan Harita Group melakukan relokasi Desa Kawasi tersebut, guna kepentingan hak-hak warga dan untuk mendapatkan kepastian hukum yang diatur dalam Peraturan Daerah (Perda). Terbukti banyak kritik pro dan kontra yang terjadi di kalangan masyarakat dari para elit politik dan Tokoh agama, Tokoh adat, pemerintah desa dan lintas organisasi mendatangi DPRD Halmahera Selatan, juga dari JATAM, bahkan perlawanan dari masyarakat Desa Kawasi rencana relokasi akan melakukan perlawanan.” Jakarta, Rabu (29/3/2023).

Akibat tidak melibatkan masyarakat Desa Kawasi dalam rencana relokasi ketempat hunian baru, karena prosesnya tidak transparan belum ada kesepakatan, namun pembangunan rumah dan ruang publik tetap berjalan.
Bangunan itu bernama Eco Village. . Hal ini sangat merugikan penduduk Desa Kawasi, karena merampas hak-hak penduduk.

Wajar mereka menyampaikan sikapnya termasuk bila dipaksakan relokasi masyarakat akan melakukan perlawanan keras, yang tentu saja perlawanan yang dimaksud di sini adalah mempertahankan hak-hak hukum mereka tidak sebatas rumah ganti rumah semata. Ini masalah bisnis yang meraup keuntungan yang besar tidak bisa terlihat merelokasi warga tanpa alasan yang pasti.

Lebih lanjut, Wakil Ketua Peradi DPC Jakarta Pusat ini mengaku, dirinya juga mendapat banyak keberatan terhadap rencana relokasi warga Desa Kawasi. Hal tersebut disampaikan langsung oleh masyarakat baik langsung maupun melalui saluran WhatsApp dan lainnya. Oleh karena itu, sebagai orang obi punya kewajiban moral menyampaikan secara terbuka terhadap Pemerintah maupun pihak Perusahaan PT Harita Group

“Suara-suara itu disampaikan langsung kepada Saya, baik dari para tokoh maupun masyarakat biasa. Mereka tidak dalam rangka memblokir investasi dengan rencana relokasi warga. Tapi karena proses rencana relokasi penuh dengan intrik dan siasat busuk pihak perusahaan PT Harita Group mengalihkan resiko kepada Pemerintah Daerah, bahwa rencana relokasi pemukiman warga Desa merupakan program pemerintah daerah, sedangkan pihak Perusahaan PT Harita Group hanya sebagai program pendidukung pemerintah
. Yang artinya proses relokasi tidak berdasarkan alasan tujuan guna menghindari hak dan kewajiban yang timbul di kemudian hari.

KESIMPULAN DAN SARANA:

Berdasarkan deskripsi tersebut di atas, maka saya sebagai putra Obi  memberikan saran agar rencana relokasi warga desa Kawasi Perlu dikaji kembali secara komprehensif melalui pendekatan sosiologis, antropologis dan akademis .

Meminta Pemerintah  Daerah  dan pihak Perusahaan PT Harita Group  secara terbuka dan kongkrit menyampaikan kepada masyarakat alasan rencana relokasi pemukiman warga Desa Kawasi.

Terkait ganti untung bukan sebatas rumah ganti rumah harus ada hak-hak lain yang perlu di pertimbangkan dan di bicara secara transparan. Ini urusan bisnis yang meraup keuntungan yang besar, bukan yayasan

Alasan Objektif : Rencana relokasi pemukiman warga karena kegiatan tambang nikel PT Harita Group yang sudah mengepung pemukiman warga Desa Kawasi sehingga hak konstitusional masyarakat terganggu yakni hidup sehat, menghirup udara segar dan lainnya telah dilanggar oleh pihak Perusahaan, maka alasan objektifnya harus di relokasi.

Jadi Pemerintah Daerah dan pihak Perusahaan PT Harita Group - jangan  membuat karangan bebas alasan relokasi karena daerah tersebut rawan gempa bumi. Ini yang namanya siasat busuk.

Tidak ada urgensi pemerintah daerah membuat program relokasi warga Desa Kawasi

Senin, 27 Maret 2023

PERLINDUNGAN HAK ATAS LINGKUNGAN HIDUP YANG BAIK DAN SEHAT SEBAGAI BAGIAN DARI HAK ASASI MANUSIA

 











WCALAWFIRM ~ Ketentuan Pasal 28 H Ayat (1) Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dengan tegas menyatakan, “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan ” .

Konstitusionalitas HAM atas lingkungan hidup  semakin ditekankan dalam  UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Pasal 9 ayat (3) menegaskan: “setiap orang berhak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat”.

Hal ini kemudian di pertegas lagi dengan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH). UUPPLH merupakan payung hukum dan jaminan perlindungan HAM atas lingkungan hidup. 

Berdasarkan Pasal 5 Ayat (1) UUPLH yang berbunyi: “Setiap orang mempunyai hak yang sama atas lingkungan hidup yang baik dan sehat”. Namun demikian, disamping mempunyai hak, menurut Pasal 6 Ayat (1) UUPLH: ”setiap orang berkewajiban memelihara kelestarian fungsi lingkungan hidup serta mencegah dan menanggulangi pencemaran dan perusakan lingkungan hidup”.



Selasa, 21 Maret 2023

KEADILAN RESTORATIF SEBAGAI TUJUAN PELAKSANAAN DIVERSI PADA SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK

 











______________________________________________
KEADILAN RESTORATIF SEBAGAI TUJUAN PELAKSANAAN DIVERSI PADA SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK
-------------------------------------------------------------------
Oleh: Wilson Colling

WCALAWFIRM, ~ Kejaksaan Tinggi (Kejati) DKI Jakarta menawarkan restorative justice (RJ) dalam menyelesaikan kasus penganiayaan oleh Mario Dandy Satriyo (20) terhadap David Ozora (17). Kendati demikian, keputusan apakah keadilan restoratif itu diterapkan atau tidak tergantung keluarga David.

Hal itu dikatakan oleh Kepala Kejaksaan Tinggi (Kajati) DKI Jakarta, Reda Manthovani selepas menjenguk David di RS Mayapada, Kuningan, Jakarta Selatan. Reda mengungkapkan penawaran untuk keadilan restoratif itu dilakukan sesuai dengan hukum acara yang berlaku.

“Kami akan tetap menawarkan, masalah dilakukan RJ atau tidak tergantung para pihak, khususnya keluarga korban,” jelas Reda kepada wartawan, Kamis (26/3/2023).

Akibat dari Peryataan Kepala Kejaksaan Tinggi (Kejati) mendapat reaksi keras dari kalangan masyarakat apa yang ditawarkan oleh pihak Kajati DKI Jakarta. Untuk menanggapi pernyataan Kejati kita dapat melihat dari sudut pandang undang-undang perlindungan anak apakah pernyataan Kejati DKI tersebut, menyalahi ketentuan yang ada, atau memang undang-undang mensyaratkan demikian.?

PEMBAHASAN :

Dalam kasus di atas, kita harus melihat terlebih dahulu korban usia dan pelaku tindak pidana untuk menentukan peraturan perundang-undangan yang tepat dalam penanganan kasus tersebut. Indonesia sejak tahun 2002 telah memiliki undang-undang khusus (lex specialis) dalam memberikan perlindungan terhadap anak.

Selain menjamin perlindungan selama dalam proses penyelidikan dan penyidikan, Undang-undang Nomor  35 tahun 2014 perubahan terhadap Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak  (UU PA) juga telah memberikan jaminan hukum berupa rangkaian perlindungan khusus bagi anak yang menjadi korban tindak pidana, yaitu: bayarhabilitasi (pemulihan) baik anak dalam lembaga maupun di luar lembaga, upaya perlindungan dari pemberitaan identitas melalui media massa dan untuk menghindari lebelisasi, pemberian jaminan keselamatan bagi saksi korban dan saksi ahli, baik fisik, ntar mental, maupun sosial, dan, pemberian aksesibilitas untuk mendapatkan informasi mengenai perkembangan perkara yang telah menjadikannya sebagai korban penganiayaan


Dalam undang-undang tersebut dijelaskan bahwa anak adalah seorang yang belum berusia 18 tahun (delapan belas tahun), termasuk anak yang masih dalam kandungan.
Merujuk pada ketentuan ini baik korban ( DO) maupun pelaku (AG) sama-sama berusia ABH.

Oleh karena itu, salam penanganan kasus
tersebut menggunakan dua undang-undang yakni: undang-undang nomor 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak (UU Perlindungan Anak) dan undang-undang Nomor 11 tahun 2012 tentang sistem peradilan anak (UU Sistem Peradilan Anak), dalam penanganan anak sebagai pelaku tindak pidana.

Maka menurut hemat saya Kepala Kejaksaan Tinggi (Kejati) DKI, sudah tepat menawarkan keadilan restoratif (keadilan restoratif), terlepas dari korban keluarga korban menolak tawaran tersebut, namun pihak Kejati harus menawarkan opsi itu karena merupakan sistem peradilan anak yang mengatur demikian sebagai amanat konstitusi.

Memberikan Keadilan Restoratif, bukan dalam rangka rasionalisasi tindakan pemukulan/kekerasan yang dilakukan anak di bawah umur.
Namun dimaksudkan agar penyelesaian perkara ini, dapat dimusyawarahkan secara bersama-sama dalam menjatuhkan hukuman bagi anak pelaku tindak pidana, sebagai bentuk pertanggungjawaban pelaku terhadap korban, serta memberikan efek jera meskipun bukan melalui penjara. persetujuan dan persetujuan dari pihak korban menjadi wajib dalam Keadilan dipulihkan /Diversi

KESIMPULAN

Berdasarkan deskripsi yuridis di atas, kesimpulan menjadi saya, Anak merupakan amanat dari Tuhan Yang Maha Esa yang di dalam melekat harkat dan martabat sebagai manusia seutuhnya. Hak-hak setiap anak wajib dijunjung tinggi tanpa anak tersebut meminta.

Kasus anak di bawah umur yang dibawa dalam proses peradilan adalah kasus-kasus yang serius saja, itu pun harus selalu mengutamakan prinsip kepentingan terbaik bagi anak, serta proses penghukuman adalah jalan terakhir (ultimum remedium) dengan tetap tidak mengabaikan hak-hak anak.
Di luar itu kasus-kasus anak dapat diselesaikan melalui mekanisme non formal yang berpedoman pada pedoman yang baku. Bentuk penanganan non formal dapat dilakukan dengan keadilan dipulihkan/diversi sebagaimana proses mediasi yang difasilitasi oleh penegak hukum pada setiap tingkat untuk mencapai keadilan restoratis yang dapat diselesaikan dengan kewajiban anak yang berhadapan dengan hukum yang mengikuti pendidikan dan atau pelatihan lembaga tertentu seperti berupa tindakan lain yang dilakukan dengan pemulihan bagi anak serta korban, ataupun jika terpaksa terjadi penghukuman hak anak tidak boleh diabaikan.
Sehingga pada akhirnya penanganan non formal dapat dilaksanakan dengan baik jika diimbangi dengan upaya menciptakan sistem peradilan yang kondusif

Sesungguhnya, diversi dapat digambarkan sebagai suatu sistem dimana fasilitator mengatur proses penyelesaian pihak-pihak yang bertikai untuk mencapai penyelesaian yang memuaskan sebagai keadilan restoratif. Tradisi dan mekanisme musyawarah mufakat merupakan wujud nyata dalam memperkuat hukum yang hidup dalam masyarakat sejak dulu. Dengan demikian, inti dari keadilan restoratif adalah penyembuhan, pembelajaran, moral, partisipasi dan perhatian masyarakat, dialog, rasa memaafkan, tanggung jawab dan membuat perubahan, semua ini merupakan pedoman bagi proses pemulihan dalam perspektif keadilan restoratif.(WCA)

---------------------------------------------------------------------

Dasar Hukum :
Undang-undang Nomor 17 Tahun 2016 tentang perubahan kedua atas undang-undang nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Kemudian diubah dengan UU Nomor  35 tahun 2014 (UUPA)
Undang-undang Nomor 11 tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Anak

//_________
#lawyerlifestyle
#lawyermotivation
#wcalafirm #edukasihukum
#justice # lawyered #lawyersday
#wcalawfirm #firmahukum #lawfirmjakarta
#lawfirmjakartaselatan #kantorhukumjakarta
#kantorhukumjakartaselatan #kantorhukumindonesia
#lawyerjakarta #lawyerjakartaselatan #advokatjakarta #advokatindonesia #advokatperadi #lawyerlife#kutipanbijak
#lawyerindonesia #pengacaraindonesia
#pengacarajakarta #advokatindonesia
#kutipantokoh #queteslawyer #kutipanhukum #quoteslawyer