Wikipedia

Hasil penelusuran

Kamis, 06 Agustus 2020

KEJAHATAN KORPORASI DAN PERILAKU MENYIMPANG OLEH KELOMPOK ELIT TERKAIT DENGAN KEGIATAN BISNIS OLEH PERUSAHAAN

   Kategori: Hukum Pidana Ekonomi


 


 

KEJAHATAN KORPORASI DAN PERILAKU MENYIMPANG OLEH KELOMPOK ELIT TERKAIT DENGAN KEGIATAN BISNIS OLEH PERUSAHAAN


A.    Pendahaluan

Berbicara masalah kejahatan, selama ini masyarakat lebih familiar dan bahkan para aparat penegak hukum lebih fokus terhadap pelaku kejahatan-kejahatan konvensional (streets crimes). Mereka memandang, pelaku kejahatan konvensional lebih berbahaya terhadap keamanan. Padahal, kalau ditelisik lebih jauh, kejahatan korporasi yang melibatkan kaum elit (elite deviance) baik melalui cara kolusi, penipuan dan korupsi implikasinya lebih berat terhadap perekonomian negara dan dapat menurunkan tingkat kesejahteraan masyarakat. Hal ini terbukti dari krisis ekonomi yang pernah terjadi di tahun 1998 di Indonesia.

Dalam tulisan ini, penulis akan menyoroti tentang kejahatan kerah putih dan perilaku menyimpang oleh kelompok elit yang seringkali terjadi dalam dunia bisnis melalui cara persekongkokolan (kolusi). Praktek kejahatan model seperti ini dalam banyak fakta telah menimbulkan kerugian yang besar terhadap Negara dan masyarakat bahkan kegoncangan terhadap perekonomian suatu Negara.

Dalam tulisan ini Penulis akan mengambil pelajaran dari studi 3 (tiga) kasus besar yang pernah menggoncang perekonomian Amerika Serikat, yaitu kasus Enron, Subprime Mortgage, dan Bernard L. Madoff.  Ketiga kasus tersebut, pada hakekatnya mencerminkan praktik kejahatan di dunia bisnis/korporasi yang merupakan bagian dari kejahaan kerah putih (white collar crime/white collar criminality /WCC[1], dimana para pelakunya bisa terdiri dari persengkokolan atau kolusi antara para politikus, birokrat pemerintah, pimpinan perusahaan, bankir, konsultan auditor keuangan, broker investasi, penegak hukum, dan lain-lain.

Perilaku menyimpang dari kelompok elit (elite deviance) ini masih merupakan bagian pengembangan dari WCC, yang dilakukan oleh David R. Simon & D. Stanley Eitzen.    Dalam hal ini, kelompok elit yang dimaksud adalah elit bisnis dan elit politik. Kedua kelompok elit ini dalam bekerjanya dilakukan melalui lobi-lobi politik, seperti untuk mendapatkanproyek atau kontrak dari pemerintah dan sebagai imbalannya memberi suap guna mempengaruhi keputusan pemerintah.

Berdasarkan uraian di atas, pembahasan dalam tulisan ini akan dibatasi untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan, sebagai berikut:

1.      Bagaimana peran kejahatan kerah putih dan elite deviance pada kasus Enron, Subprime Mortgage, dan Bernard L. Madoff?

2.      Apa pelajaran yang bisa diambil dari kasus kejahatan kerah putih dan elite deviance pada kasus Enron, Subprime Mortgage, dan Bernard L. Madoff?

Dalam tulisan ini, selanjutnya Penulis akan memberikan komentar terhadap ketiga kasus tersebut.

 

B.     Kasus Enron,Subprime Mortgage, dan Bernard L. Madoff (Kejahatan Kerah Putih dan Perilaku Menyimpang Kelompok Elit dalam Bisnis)

 

1.      Kasus Enron

Enron merupakan perusahaan multinasional Amerika Serikat yang mulai berkembang tahun 1985. Kegiatan usahanya bergerak dalam perdagangan bahan energi (minyak dan gas). Kinerja perusahaan ini sebenarnya terus mengalami kerugian, tetapi agar tidak terlihat merugi di mata investor, pengurus perusahaan melakukan tipu muslihat dengan mengalihkan hutang-hutangnya kepada sejumlah anak perusahaan.

Kebobrokan Enron baru terlihat tahun 2001 setelah jatuh pailit dan telah merugikan para investornya jutaan dollar. Kerugian para pemegang saham mencapai 11 milyar dolar AS. Kepailitan Enron ini merupakan yang terbesar dalam sejarah kepailitan perusahaan di AS.

Kejatuhan Enron, ternyata telah menyeret perusahaan akuntan publik terbesar di dunia Arthur Andersen, sampai harus menutup kantor-kantor cabangnya di seluruh dunia karena dianggap turut terlibat dalam “corporate fraud” oleh perusahaan Enron  yang dipersalahkan telah melakukan audit ceroboh, dan diduga turut serta dalam kejahatan dengan cara memusnahkan sebagian arsip pemeriksaan audit Enron.

Kejahatan oleh perusahaan Enron ini, dilakukan oleh pimpinan perusahaan Kenneth L. Lay (KL) dan Jeffrey K. Skilling (JS) dengan cara manipulasi (white collar crime) menyembunyikan hutang-hutang dan kerugian Enron ke dalam sejumlah anak perusahaan Enron. KL sebagai CEO dan wakilnya JS didakwa telah melakukan kejahatan di bidang keuangan keuangan berupa “conspiracy to defraud investors” dan “lying to banks”. Di Amerika Serikat ini termasuk accounting scandal terbesar oleh suatu perusahaan dengan 60 milyar dolar kerugian bagi para investornya (pemegang saham dan perbankan).

Dalam menjalankan bisnisnya Enron ternyata memiliki kedekatan dengan Jaksa Agung (Attorney General) John Ashcroft yang mundur dalam penyidikan, karena mengakui ia menerima sumbangan dana untuk kampanye dari Enron. Enron juga memiliki kedekatan dengan Presiden Bush dan Wapres Dick Cheney, Alan Greenspan (Ketua Federal Reserve), Paul O’Nell (Menteri Keuangan); dan Donald Evans (Menteri Perdagangan).

2.      Kasus Subprime Mortgages

Kasus ini termasuk skandal keuangan yang menciptakan krisis ekonomi dan menggoncangkan pasar keuangan di Amerika Serikat di tahun 2007 ketika George Bush sebagai Presiden. Bermula dari kemudahan pemberian kredit perumahan yang diperlunak dengan bunga rendah (subprime lendings/loans). Karena banyaknya permintaan, maka harga rumah mulai naik dan mencapai puncak di pertengahan tahun 2006. Kemudian, karena bunga bank naik, permintaan mulai turun tajam, yang menaikkan pula pembayaran cicilan bulanan. Akibatnya bisa ditebak, banyak kegagalan pembayaran cicilan kredit.

Selanjutnya, jaminan-jaminan hipotek rumah (house mortgages) ini oleh dunia perbankan dikemas menjadi surat berharga “baru” (mortgage-backed securities-MBS) yang dijual ke lembaga-lembaga keuangan dan kemudian diperdagangkan sebagai investasi dan dibeli oleh berbagai perusahaan yang memiliki uang lebih.

Kasus Subprime Mortgages menjadi heboh berawal dari banyaknya kredit perumahan mengalami gagal bayar, sementara yang dijamin dengan “subprime mortgages”, maka akibatnya nilai dari surat berharga ini juga turun tajam. Saat itu, akibat dari banyak nya gagal bayar dari debitor perumahan murah ini telah menimbulkan kecemasan di dunia keuangan. Pasar uang dan surat  berharga ikut terguncang khususnya di Amerika Serikat dan Eropa. Maka, terjadi pengetatan pemberian kredit secara global dan efek ikutan nya pertumbuhan ekonomi dunia menjadi lambat.

Pada waktu harga rumah meningkat, banyak terjadi spekulasi ditambah dengan persyaratan kredit diperlunak (subprime credits), didorong pula oleh perusahaan real estate yang memerlukan refinancing. Banyak spekulasi dilakukan antara lain dengan membeli rumah yang masih dalam kontruksi dan kemudian menjualnya kembali setelah selesai dibangun dengan harapan memperoleh keuntungan. Di sisi lain, Bank juga ceroboh dengan memberi kredit tanpa cukup memperhatikan kemampuan debitor untuk melunasi utangnya. Risiko dari debitor ini dipindahkan oleh Bank melalui surat berharga “securities backed by mortgages” kepada investor-investor pembeli surat berharga ini.

Dalam penyelidikannya FBI menduga banyak terjadi mortgage fraud dalam pembuatan surat-surat berharga, sehingga banyak terjadi kerugian pada investor.  Kemungkinan telah terjadi juga penipuan melalui mortgage financing companies, seperti perusahaan Fannie Mae dan Freddy Mac yang dikenal di Amerika Serikat sebagai dua perusahaan terbesar dalam bidang kredit perumahan. Dikatakan bahwa telah terjadi suatu shadow banking system (investments banks and hedge funds) yang aktif memperjualbelikan surat-surat berharga yang tidak menaati aturan-aturan yang berlaku di dunia perbankan. Hebat nya perdagangan efek ini sampai ke benua Eropa.

 

3.      Kasus Tentang Bernard L. Madoff

Kasus penipuan ini bermula dari pendirian perusahaan bernama Bernard Lawrence Madoff Investment Securities LLC, perusahaan pialang dan perusahaan  yang mengelola dana-dana warga kaya. Pendirian sekaligus direktur utamanya, Bernard Lawrence Bernie” Madoff, adalah pengusaha dan mantan kepala bursa saham Nasdaq. Pada tahun 2008 kedok perusahaan terbongkar. Saat puncak krisis ekonomi AS, dimana perusahaan tidak lagi bias memberi keuntungan. Bahkan, kemudian ketahuan semua dana investasi ludes. Diperkirakan, total dana investasi yang lenyap lebih dari  80 miliar dollar AS.

Dalam siding pengadilan Federal di New York (AS), 13 Maret 2009 Madoff mengakui telah melakukan penipuan berkedok investasi dengan meraup uang para korban sedikitnya USD 64,8 miliar. Ini merupakan kasus penipuan terbesar dalam kejahatan kerah putih di AS. Madoff didakwa melakukan penipuan sekuritas, investasi, surat dan pencucian uang. Madoff juga didakwa telah melakukan keterangan palsu, memberi laporan keuangan palsu pada Komisi Sekuritas, dan mencuri dana jaminan tenaga kerja.

Dalam persidangan, para juri di pengadilan menyimpulkan perusahaan yang dikelola Madoff bukan murni sebagai pialang saham dan broker investasi, melainkan melakukan semacam arisan berantai yang dinamakan Skema Ponzi.[2] Ini merujuk pada pemberian keuntungan kepada investor yang masuk lebih awal dari dana-dana investasi yang disetor para investor yang masuk belakangan.

Dari penelitian ribuan dokumen, Juri menemukan adanya unsur pemalsuan dalam perdagangan saham, penipuan perbankan, kebohongan pajak, dan pemalsuan catatan.  Pemalsuan ini seolah-olah perusahaan melakukan jual beli saham, tetapi itu tidak pernah terjadi. Mereka hanya menutup-nutupi dengan memalsukan berbagai dokumen.

Dalam akhir persidangan, hakim memutuskan para eksekutif perusahaan Bernard Lawrence Madoff Investment Securities LLC turut melakukan penipuan. dan hukuman penjara yang merupakan hukuman terberat  dijatuhkan, yang penting bagi korban dan sebagai sarana pencegahan (deterrent) bagi orang lain. Atas perbuatannya, Madoff dihukum 150 tahun atas dakwaan penipuan.

 

C.    Pembahasan

1.      Kasus Enron Sebagai Kejahatan Kerah Putih dan Perilaku Menyimpang Kelompok Elit

Kasus Enron jelas merupakan kejahatan kerah putih dalam suatu korporasi yang melibatkan tidak saja pimpinan perusahaan tetapi juga adanya kolusi dengan kelompok elit lainnya baik dengan pemegang kekuasaan saa itu, tetapi juga otoritas pasar modal, kaum professional, lembaga auditor bahkan lembaga penegak hukum (attorney justice) ikut terseret karena menerima dana dari Enron.

Modus yang dilakukan Enron adalah membohongi dan melakukan kecurangan terhadap public dan pemegang saham, dimana pimpinan Enron diduga melakukan manipulasi penipuan dengan mengalihkan hutang-hutang nya kepada anak perusahaan (windows dressing) agar terlihat seolah-olah likuiditas perusahaan tidak ada masalah. Kedok ini terbongkar  dan telah mempermalukan banyak pihak, tidak saja para elit pemegang kekuasaan saat itu. Melihat modusnya yang rapi, sekilas cara manipulasi yang dilakukan Enron sedikit terorganisir, karena melibatkan kaum elit dan lembaga auditor ternama Arthur Andersen yang turut berperan dalam menghindari audit dari SEC (semacam Bapepam).

Pada mulanya, skandal kejahatan yang dilakukan Enron sulit dilacak karena dilakukan oleh pihak yang punyak kuasa. Selain itu, sebagaimana ciri kejahatan kerah putih, pada kasus Enron praktik kejahatan berlangsung dalam lingkungan tertutup. Di sisi lain, kasus Enron dan Arthur Andersen juga merupakan kejahatan korporasi (corporate crime), karena seluruh penipuan dan kecurangan dilakukan melalui suatu perusahaan.

Perilaku menyimpang dari kelompok elit (elite deviance) yang terjadi pada Enron terjadi melalui persekongkolan dan kolusi yang melibatkan para pemimpin perusahaan (Kenneth L. Kay dan Jeffrey K. Skilling), kantor akuntan publik terkemuka Arthur Anderson, dan para politisi (anggota senat baik dari partai Republik maupun Demokrat).

Adanya, kedekatan hubungan antara pimpinan Enron dan petinggi-petinggi pemerintahan, menjadi indikasi dan petunjuk yang jelas adanya perilaku menyimpang kelompok elit. Oleh karenanya, dalam kejahatan korporasi, tidak hanya pelaku-pelakunya (pengurus perusahaan) yang didakwa dan dipidana, melain juga perusahaannya (korporasi/badan hukum).[3]

Kasus pada Enron ini sebenarnya sudah diperingatkan oleh lembaga internasional PBB tentang akan munculnya kejahatan model baru dalam bisnis yang bersumber dari kolusi antara korporasi sebagai pemegang kuasa ekonomi (economic power) dengan pemegang kuasa birokrasi (political power).[4] Penyalahgunaan kuasa (abuse of power) ini dilakukan oleh birokrasi pemerintah bersama dengan perusahaan bisnis besar, yang mempunyai kuasa ekonomi untuk mempengaruhi kebijakan pemerintah. Model-model perilaku penyimpangan elit (alite deviance) ini dalam banyak fakta di Indonesia seringkali terjadi dan tidak banyak diketahui, padahal pengaruhnya terhadap ekonomi dan kesejahteraan rakyat sangat besar, hal ini terbukti dari adanya krisis ekonomi di tahun 1998 yang pernah dialami Indonesia.

Dari kasus Enron ini, dapat diambil beberapa pelajaran. Pertama: Bagaimanapun rapinya sebuah persekongkolan jahat, cepat atau lambat pasti akan terungkap. Dalam sebuah sistem yang terbuka seperti manajemen organisasi Enron, sulit untuk melakukan manipulasi secara terus-menerus. Kedua, skandal dan kejahatan ekonomi tingkat tinggi selalu berdampak luas dan mengorbankan kepentingan orang banyak. Konspirasi segelintir elit korporasi dan penguasa untuk menikmati dana haram, dengan memanfaatkan pengetahuan dan kewenangan yang dimiliki telah mengelabui masyarakat awam. Skandal Enron telah mendatangkan nestapa pada banyak, pekerja, pemegang saham, pemasok, kreditor dan pihak-pihak lain. Ketiga, terungkapnya praktik kejahatan kerah putih pada kasus Enron, menunjukkan bahwa praktik bisnis yang bersih dan transparan akan lebih menjamin keberlanjutan.

Keempat, pentingnya perusahaan untuk menerapkan prinsip-prinsip tata kelola perusahaan yang baik (good corporate governance/GCG) meskipun dalam kondisi perusahaan kurang baik, hal ini penting untuk menghindari terjadinya manipulasi yang melibatkan elit perusahaan. Bisnis harus dikelola secara transparan, fair,  akuntabel, dengan tetap mengedepankan tanggung jawab sosial dan keseimbangan lingkungan hidup.

Skandal Enron memperlihatkan dengan jelas adanya perubahan wajah pelaku kejahatan yang tidak lazim dalam pemikiran Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Sebagaimana dinyatakan oleh Suntherland, bahwa kejahatan kerah putih digerakkan oleh para manajemen/pimpinan perusahaan yang melakukan perbuatan-perbuatan yang merugikan masyarakat, untuk keuntungan perusahaan yang dipimpinnya. Diterbitkannya Sarbanes-Oxley Act (SOA) 2002 yang menjadi payung hukum  untuk melindungi whitle-blower, menjadi langkah yang strategis untuk mengungkap kejahatan-kejahatan korporasi yang selama ini tersembunyi. [5] Dalam hal ini Indonesia pantas untuk meniru perlindungan terhadap white-blower dalam mengungkap kejahatan ekonomi khususnya. Apapun tujuannya baik untuk mengungkap kejahatan hukum harus melindungi, bukan nya dalam beberapa kasus yang mengungkap kejahatan malah dijadikan tersangka.

2.      Kasus Subprime Mortgage

Kejahatan kerah putih (white collar crime/WCC) yang nampak dari kasus subprime mortgage atau kredit hipoteik adalah adanya sifat immoral dan egois yang tinggi dari petinggi dunia bisnis dan para spekulan yang menyalahgunakan kebijakan pemerintahan Presiden George W. Bush dalam memberikan kemudahan kepemilikan rumah bagi rakyatnya.

Kejahatan ekonomi dalam kasus subprime mortgage ini terjadi, ketika harga rumah meningkat, spekulan dan institusi lembaga keuangan pun ikut bermain. Terlebih lagi persyaratan kredit diperlunak tanpa memperhatikan prinsip kehati-hatian yang seharusnya menjadi pedoman petinggi perbankan. Dalam hal ini, FBI menduga banyak juga terjadi mortgage fraud dalam pembuatan surat-surat berharga, sehingga pada gilirannya merugikan para investor. Kemungkinan penipuan ini juga terjadi melalui mortgage financing companies seperti pada perusahaan Fannie Mae dan Freddy Mac sebagai perusahaan kredit perumahan terbesar di AS. Selain itu, juga terjadi aksi memperjualbelikan surat-surat berharga, yang tidak menaati aturan-aturan yang berlaku di dunia perbankan. Semua tindakan tersebut hanya mungkin dilakukan oleh orang yang memiliki kedudukan tinggi, pengetahuan dan keterampilan tinggi serta memiliki kewenangan karena jabatannya di perusahaan.

Sedangkan Corporate Elite Deviance dalam kasus ini terjadi dari persekongkolan elit bisnis dan pemerintah untuk memperoleh keuntungan dengan memanfaatkan kekuasaan ekonomi di dunia perbankan. Dalam hal ini para pelaku utamanya (kelompok elit) tidak merasa bersalah, bahkan meminta dana talangan pemerintah. Dengan kata lain di sini juga telah terjadi moral hazard, suatu kondisi yang bersumber dari sikap mental seseorang yang sifatnya negatif dan disengaja untuk menimbulkan potensi kerugian bagi pihak lain, dan menguntungkan dirinya.

Selanjutnya, keconcangan ekonomi yang tidak terduga terjadi yang menimbulkan krisis di pasar finansial sebagai akibat rontok nya pasar kredit hipotik di Amerika Serikat saat itu, dan ini berdampak luas ke berbagai belahan dunia dan turut mempengaruhi target pertumbuhan ekonomi Negara-negara lain, termasuk Indonesia.

Ada beberapa pelajaran yang diambil dari kasus Subprime Mortgages ini:

Pertama, ada sifat tamak dan rakus dari pelaku bisnis dan juga lembaga perbankan yang tidak mengindahkan etika dan prinsip-prinsip bisnis yang baik dan hati-hati. Dimana jaminan-jaminan hipotek rumah (house mortgages) oleh dunia perbankan telah dikemas menjadi surat berharga baru yang dijual ke lembaga-lembaga keuangan dan kemudian diperdagangkan sebagai investasi dan dibeli oleh berbagai perusahaan yang memiliki uang lebih dengan tujuan  untuk mendapatkan keuntungan lebih, padahal kalaupun ada benefit semua bersumber dari debitor kredit kepemilikan rumah masyarakat kelas bawah yang memiliki dana pas-pasan.

Kedua, motivasi dari perilaku menyimpang kelompok elit perusahaan (corporate elite deviance) termasuk institusi lembaga keuangan tidak semata-mata untuk kepentingan pribadi, melainkan untuk mencari keuntungan organisasi perusahaan yang kemungkinan ditopang oleh kebijakan organisasi melalui para pengurusnya. Dalam kasus Subprime Mortgages, kebijakan pemerintah AS untuk memberikan kemudahan bagi masyarakat dalam memiliki rumah tinggal, telah dimanfaatkan oleh pengelola bank dengan memberikan KPR kepada orang-orang yang tidak layak. Kebijakan ceroboh ini dalam dunia perbankan telah menyalahi prinsip kehati-hatian yang harus dipegang teguh dalam penyaluran kredit bank.

Ketiga, adanya sikap korporasi dan badan-badan peradilan yang tidak memandang pelanggaran-pelanggaran oleh korporasi sebagai “kejahatan atau penjahat”. Bahkan permisif terhadap perilaku untuk mengejar keuntungan sebanyak-banyaknya, untuk memperoleh perizinan yang lebih cepat, dan penegakkan hukum yang lemah.

3.      Kasus Bernard L. Madoff

Kasus Bernard L. Madoff  model nya hampir sama dengan Enron, yaitu membohongi dan menipu, tetapi dalam  Kasus Bernard L. Madoff  yang ditipu adalah orang-orang kaya AS melalui apa yang dikenal dengan Ponzi Scheme. Kejahatan korporasi model Bernard Lawrence Madoff Investment Securities LLC, yang katanya sebagai lembaga sekuritas, dapat dikategorikan sebagai kejahatan kerah putih (White Collar Crime/WCC).

Perilaku menyimpang dari elit seperti Bernard L. Madoff ini pada dasarnya hanya untuk gali lubang untuk tutup lubang” atau dikenal juga sebagai: “rampok si Abu untuk membayar si Badu (rob Peter to pay Paul)”, demikian kata Mardjono Reksodiputro.[6] Para investor diiming-imingi mendapatkan keuntungan lebih besar dari pada simpanan di lembaga perbankan dan lembaga keuangan normal lainnya. Nasabah dibuai dengan tawaran untung tinggi walau hanya dinyatakan dalam laporan rutin. Keuntungan itu tidak dibayarkan seluruhnya, bahkan nasabah dirangsang untuk tidak melakukan penarikan dana, tetapi melakukan investasi dalam jangka panjang.

Lalu perusahaan membuat laporan seolah dana-dana itu ditanamkan di bursa saham Wall Street. Badan Pengawas Pasar Modal AS (SEC) menyebutkan, Madoff melakukan penipuan dengan memalsukan kop surat-surat SEC.

Berdasarkan pengelompokkan WCC, skandal Madoff ini dapat dikelompokkan ke dalam WCC yang bersifat individual, berskala besar dan dengan modus operandi yang kompleks dan terorganisir karena semata-mata untuk meniputi klien bukan untuk menjalankan bisnis secara formal. Pola ini biasanya tenggang waktu perencanaan yang lama dan sistematis, menjalin kolusi dengan akuntan, penasihat hukum, penasihat investasi atau ahli lainnya. Persekongkolan inilah yang menjadi indikasi adanya elite deviance.

Model-model penipuan dengan kedok menanamkan investasi ini sudah sering terjadi di Indonesia yang berujung pada kerugian besar pada nasabah. Para pelaku kejahatan kerah putih iniberprinsip bahwa untuk merampok uang tidak perlu lagi menggunakan senjata tajam atau senjata api, memakai topeng dan membawa karung untuk memasukan uang rampokan, cukup dengan pola seperti dengan skema Ponzi.

Melalui skandal investasi bodong ala Madoff ini, ada beberapa yang bisa diambil pelajaran, antara lain:

Pertama, pentingnya kehati-hatian dari investor/nasabah dalam menanamkan saham atau model bisnis investasi agar masyarakat tidak mudah tergiur investasi yang menjanjikan keuntungan besar namun tidak jelas.

Ketiga, perlu adanya pengawasan atau kontrol yang lebih ketat dari pemerintah atau otoritas jasa keuangan (OJK) terhadap praktik-praktik bisnis model menanamkan investasi.

          

D.    Penutup

Apa yang diperingatkan oleh PBB tentang potensi munculnya kejahatan wajah baru dalam dunia bisnis, kini terbukti. Bahkan di negara Amerika Serikat yang menerapkan standar ketat terhadap undang-undang dan etika bisnis, masih sering terjadi seperti dalam kasus Enron, Subprime Mortgages dan lain-lain.

Kemunculan bentuk kejahatan wajah baru yang tak lazim dalam pemikiran KUHP ini seringkali terjadi dalam bentuk kejahatan kerah putih (white collar crimes) yang merupakan bagian dari kejahatan oleh organisasi (KKO). Selain itu ada juga kejahatan terorganisir (KTO) yang sama-sama berbahayanya bagi ekonomi suatu negara dan masyarakat.

Bentuk (dimensi) baru kejahatan seperti yang diingatkan PBB sejak tahun 1975 tersebut pada dasarnya bersumber pada kolusi antara pemegang kuasa politik atau birokrasi dengan pemegang kuasa ekonomi. Penyalahgunaan kuasa-kuasa ini dengan perusahaan bisnis besar dapat mempengaruhi kebijakan pemerintah. Apabila perusahaan-perusahaan ini tidak memperhatikan etika bisnis yang baik, m aka dengan mudah mereka akan melakukan praktek bisnis curang, dan menganggap perilaku praktek melawan hukum ini oleh mereka sebagai perilaku yang wajar. Oleh karena itu, sebagai penegakan hukum, subjek hukumnya tidak saja pada orangnya (pengurus organisasi) akan tetapi korporasi sebagai badan yang menggerakkan kejahatan bisnis curang harus dipidana. Karena, kalau pengurusnya dipidana, sedangkan institusi bisnis atau perusahaannya tetap jalan dengan kejahatannya, maka akan sama saja. Oleh karena itu, keduanya-duanya baik pengurus maupun korporasi nya harus menjadi subjek hukum dalam penegakan hukum, sehingga diharapkan akan menimbulkan efek jera dan korporasi akan bertindak hati-hati dalam mengankat pimpinannya.

Oleh karena itu, disarankan pada aparat penegak hukum dan Pemerintah khususnya untuk tidak mengabaikan terhadap bahayanya dari praktek-praktek bisnis curang seperti yang banyak dilakukan selama ini oleh kaum elit baik melalui kolusi, manipulasi maupun membohongi publik.




#

#

pengacara wilson colling site:wcalawfirm.blogspot.com dari wcalawfirm.blogspot.com
29 Des 2020 — Ruang Konsultasi Hukum Pengacara Profesional | Wilson Colling,S.H, M.H.| WCALAWFIRM| ☎️ +6281315211206 |  ...
Anda mengunjungi halaman ini pada 25/01/21.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar