Kategori: Hukum Pidana Ekonomi
KEJAHATAN KORPORASI DAN PERILAKU MENYIMPANG OLEH KELOMPOK ELIT TERKAIT DENGAN KEGIATAN BISNIS OLEH PERUSAHAAN
A.
Pendahaluan
Berbicara masalah kejahatan, selama ini
masyarakat lebih familiar dan bahkan para aparat penegak hukum lebih fokus
terhadap pelaku kejahatan-kejahatan konvensional (streets crimes). Mereka memandang, pelaku kejahatan konvensional
lebih berbahaya terhadap keamanan. Padahal, kalau ditelisik lebih jauh,
kejahatan korporasi yang melibatkan kaum elit (elite deviance) baik melalui cara kolusi, penipuan dan korupsi
implikasinya lebih berat terhadap perekonomian negara dan dapat menurunkan
tingkat kesejahteraan masyarakat. Hal ini terbukti dari krisis ekonomi yang
pernah terjadi di tahun 1998 di Indonesia.
Dalam tulisan ini, penulis akan
menyoroti tentang kejahatan kerah putih dan perilaku menyimpang oleh kelompok
elit yang seringkali terjadi dalam dunia bisnis melalui cara persekongkokolan (kolusi).
Praktek kejahatan model seperti ini dalam banyak fakta telah menimbulkan
kerugian yang besar terhadap Negara dan masyarakat bahkan kegoncangan terhadap
perekonomian suatu Negara.
Dalam tulisan ini Penulis akan mengambil
pelajaran dari studi 3 (tiga) kasus besar yang pernah menggoncang perekonomian
Amerika Serikat, yaitu kasus Enron, Subprime
Mortgage, dan Bernard L. Madoff. Ketiga
kasus tersebut, pada hakekatnya mencerminkan praktik kejahatan di dunia
bisnis/korporasi yang merupakan bagian dari kejahaan kerah putih (white collar crime/white collar criminality
/WCC) [1],
dimana para pelakunya bisa terdiri dari persengkokolan atau kolusi antara para
politikus, birokrat pemerintah, pimpinan perusahaan, bankir, konsultan auditor
keuangan, broker investasi, penegak hukum, dan lain-lain.
Perilaku menyimpang dari kelompok elit (elite deviance) ini masih merupakan
bagian pengembangan dari WCC, yang dilakukan oleh David R. Simon & D.
Stanley Eitzen. Dalam hal ini, kelompok elit yang dimaksud
adalah elit bisnis dan elit politik. Kedua kelompok elit ini dalam bekerjanya
dilakukan melalui lobi-lobi politik, seperti untuk mendapatkanproyek atau
kontrak dari pemerintah dan sebagai imbalannya memberi suap guna mempengaruhi
keputusan pemerintah.
Berdasarkan uraian di atas, pembahasan
dalam tulisan ini akan dibatasi untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan, sebagai
berikut:
1. Bagaimana
peran kejahatan kerah putih dan elite
deviance pada kasus Enron, Subprime Mortgage, dan Bernard L. Madoff?
2. Apa
pelajaran yang bisa diambil dari kasus kejahatan kerah putih dan elite deviance pada kasus Enron,
Subprime Mortgage, dan Bernard L. Madoff?
Dalam
tulisan ini, selanjutnya Penulis akan memberikan komentar terhadap ketiga kasus
tersebut.
1. Kasus
Enron
Enron
merupakan perusahaan multinasional Amerika Serikat yang mulai berkembang tahun
1985. Kegiatan usahanya bergerak dalam perdagangan bahan energi (minyak dan
gas). Kinerja perusahaan ini sebenarnya terus mengalami kerugian, tetapi agar
tidak terlihat merugi di mata investor, pengurus perusahaan melakukan tipu
muslihat dengan mengalihkan hutang-hutangnya kepada sejumlah anak perusahaan.
Kebobrokan
Enron baru terlihat tahun 2001 setelah jatuh pailit dan telah merugikan para
investornya jutaan dollar. Kerugian para pemegang saham mencapai 11 milyar
dolar AS. Kepailitan Enron ini merupakan yang terbesar dalam sejarah kepailitan
perusahaan di AS.
Kejatuhan
Enron, ternyata telah menyeret perusahaan akuntan publik terbesar di dunia
Arthur Andersen, sampai harus menutup kantor-kantor cabangnya di seluruh dunia
karena dianggap turut terlibat dalam “corporate fraud” oleh perusahaan
Enron yang dipersalahkan telah melakukan
audit ceroboh, dan diduga turut serta dalam kejahatan dengan cara memusnahkan
sebagian arsip pemeriksaan audit Enron.
Kejahatan
oleh perusahaan Enron ini, dilakukan oleh pimpinan perusahaan Kenneth L. Lay
(KL) dan Jeffrey K. Skilling (JS) dengan cara manipulasi (white collar crime)
menyembunyikan hutang-hutang dan kerugian Enron ke dalam sejumlah anak
perusahaan Enron. KL sebagai CEO dan wakilnya JS didakwa telah melakukan
kejahatan di bidang keuangan keuangan berupa “conspiracy to defraud investors” dan “lying to banks”. Di Amerika Serikat ini termasuk accounting scandal terbesar oleh suatu
perusahaan dengan 60 milyar dolar kerugian bagi para investornya (pemegang
saham dan perbankan).
Dalam
menjalankan bisnisnya Enron ternyata memiliki kedekatan dengan Jaksa Agung
(Attorney General) John Ashcroft yang mundur dalam penyidikan, karena mengakui
ia menerima sumbangan dana untuk kampanye dari Enron. Enron juga memiliki
kedekatan dengan Presiden Bush dan Wapres Dick Cheney, Alan Greenspan (Ketua
Federal Reserve), Paul O’Nell (Menteri Keuangan); dan Donald Evans (Menteri
Perdagangan).
2. Kasus
Subprime Mortgages
Kasus
ini termasuk skandal keuangan yang menciptakan krisis ekonomi dan
menggoncangkan pasar keuangan di Amerika Serikat di tahun 2007 ketika George
Bush sebagai Presiden. Bermula dari kemudahan pemberian kredit perumahan yang
diperlunak dengan bunga rendah (subprime lendings/loans). Karena banyaknya
permintaan, maka harga rumah mulai naik dan mencapai puncak di pertengahan
tahun 2006. Kemudian, karena bunga bank naik, permintaan mulai turun tajam,
yang menaikkan pula pembayaran cicilan bulanan. Akibatnya bisa ditebak, banyak
kegagalan pembayaran cicilan kredit.
Selanjutnya,
jaminan-jaminan hipotek rumah (house mortgages) ini oleh dunia perbankan
dikemas menjadi surat berharga “baru” (mortgage-backed
securities-MBS) yang dijual ke lembaga-lembaga keuangan dan kemudian
diperdagangkan sebagai investasi dan dibeli oleh berbagai perusahaan yang
memiliki uang lebih.
Kasus
Subprime Mortgages menjadi heboh berawal dari banyaknya kredit perumahan
mengalami gagal bayar, sementara yang dijamin dengan “subprime mortgages”, maka akibatnya nilai dari surat berharga ini
juga turun tajam. Saat itu, akibat dari banyak nya gagal bayar dari debitor perumahan
murah ini telah menimbulkan kecemasan di dunia keuangan. Pasar uang dan
surat berharga ikut terguncang khususnya
di Amerika Serikat dan Eropa. Maka, terjadi pengetatan pemberian kredit secara
global dan efek ikutan nya pertumbuhan ekonomi dunia menjadi lambat.
Pada
waktu harga rumah meningkat, banyak terjadi spekulasi ditambah dengan
persyaratan kredit diperlunak (subprime credits), didorong pula oleh perusahaan
real estate yang memerlukan refinancing. Banyak spekulasi dilakukan
antara lain dengan membeli rumah yang masih dalam kontruksi dan kemudian
menjualnya kembali setelah selesai dibangun dengan harapan memperoleh
keuntungan. Di sisi lain, Bank juga ceroboh dengan memberi kredit tanpa cukup
memperhatikan kemampuan debitor untuk melunasi utangnya. Risiko dari debitor
ini dipindahkan oleh Bank melalui surat berharga “securities backed by mortgages” kepada investor-investor pembeli
surat berharga ini.
Dalam
penyelidikannya FBI menduga banyak terjadi mortgage
fraud dalam pembuatan surat-surat berharga, sehingga banyak terjadi
kerugian pada investor. Kemungkinan
telah terjadi juga penipuan melalui mortgage
financing companies, seperti perusahaan Fannie Mae dan Freddy Mac yang
dikenal di Amerika Serikat sebagai dua perusahaan terbesar dalam bidang kredit
perumahan. Dikatakan bahwa telah terjadi suatu shadow banking system
(investments banks and hedge funds) yang aktif memperjualbelikan surat-surat
berharga yang tidak menaati aturan-aturan yang berlaku di dunia perbankan.
Hebat nya perdagangan efek ini sampai ke benua Eropa.
3. Kasus
Tentang Bernard L. Madoff
Kasus
penipuan ini bermula dari pendirian perusahaan bernama Bernard Lawrence Madoff Investment Securities LLC, perusahaan
pialang dan perusahaan yang mengelola
dana-dana warga kaya. Pendirian sekaligus direktur utamanya, Bernard Lawrence Bernie” Madoff, adalah pengusaha dan
mantan kepala bursa saham Nasdaq.
Pada tahun 2008 kedok perusahaan terbongkar. Saat puncak krisis ekonomi AS,
dimana perusahaan tidak lagi bias memberi keuntungan. Bahkan, kemudian ketahuan
semua dana investasi ludes. Diperkirakan, total dana investasi yang lenyap
lebih dari 80 miliar dollar AS.
Dalam
siding pengadilan Federal di New York (AS), 13 Maret 2009 Madoff mengakui telah
melakukan penipuan berkedok investasi dengan meraup uang para korban sedikitnya
USD 64,8 miliar. Ini merupakan kasus penipuan terbesar dalam kejahatan kerah
putih di AS. Madoff didakwa melakukan penipuan sekuritas, investasi, surat dan
pencucian uang. Madoff juga didakwa telah melakukan keterangan palsu, memberi
laporan keuangan palsu pada Komisi Sekuritas, dan mencuri dana jaminan tenaga
kerja.
Dalam
persidangan, para juri di pengadilan menyimpulkan perusahaan yang dikelola
Madoff bukan murni sebagai pialang saham dan broker investasi, melainkan
melakukan semacam arisan berantai yang dinamakan Skema Ponzi.[2]
Ini merujuk pada pemberian keuntungan kepada investor yang masuk lebih awal
dari dana-dana investasi yang disetor para investor yang masuk belakangan.
Dari
penelitian ribuan dokumen, Juri menemukan adanya unsur pemalsuan dalam
perdagangan saham, penipuan perbankan, kebohongan pajak, dan pemalsuan
catatan. Pemalsuan ini seolah-olah
perusahaan melakukan jual beli saham, tetapi itu tidak pernah terjadi. Mereka
hanya menutup-nutupi dengan memalsukan berbagai dokumen.
Dalam
akhir persidangan, hakim memutuskan para eksekutif perusahaan Bernard Lawrence Madoff Investment
Securities LLC turut melakukan penipuan. dan hukuman penjara yang merupakan
hukuman terberat dijatuhkan, yang
penting bagi korban dan sebagai sarana pencegahan (deterrent) bagi orang lain.
Atas perbuatannya, Madoff dihukum 150 tahun atas dakwaan penipuan.
C.
Pembahasan
1. Kasus
Enron Sebagai Kejahatan Kerah Putih dan Perilaku Menyimpang Kelompok Elit
Kasus
Enron jelas merupakan kejahatan kerah putih dalam suatu korporasi yang
melibatkan tidak saja pimpinan perusahaan tetapi juga adanya kolusi dengan
kelompok elit lainnya baik dengan pemegang kekuasaan saa itu, tetapi juga
otoritas pasar modal, kaum professional, lembaga auditor bahkan lembaga penegak
hukum (attorney justice) ikut
terseret karena menerima dana dari Enron.
Modus
yang dilakukan Enron adalah membohongi dan melakukan kecurangan terhadap public
dan pemegang saham, dimana pimpinan Enron diduga melakukan manipulasi penipuan dengan
mengalihkan hutang-hutang nya kepada anak perusahaan (windows dressing) agar terlihat seolah-olah likuiditas perusahaan
tidak ada masalah. Kedok ini terbongkar dan
telah mempermalukan banyak pihak, tidak saja para elit pemegang kekuasaan saat
itu. Melihat modusnya yang rapi, sekilas cara manipulasi yang dilakukan Enron
sedikit terorganisir, karena melibatkan kaum elit dan lembaga auditor ternama
Arthur Andersen yang turut berperan dalam menghindari audit dari SEC (semacam
Bapepam).
Pada
mulanya, skandal kejahatan yang dilakukan Enron sulit dilacak karena dilakukan
oleh pihak yang punyak kuasa. Selain itu, sebagaimana ciri kejahatan kerah
putih, pada kasus Enron praktik kejahatan berlangsung dalam lingkungan
tertutup. Di sisi lain, kasus Enron dan Arthur Andersen juga merupakan
kejahatan korporasi (corporate crime),
karena seluruh penipuan dan kecurangan dilakukan melalui suatu perusahaan.
Perilaku
menyimpang dari kelompok elit (elite
deviance) yang terjadi pada Enron terjadi melalui persekongkolan dan kolusi
yang melibatkan para pemimpin perusahaan (Kenneth L. Kay dan Jeffrey K.
Skilling), kantor akuntan publik terkemuka Arthur Anderson, dan para politisi
(anggota senat baik dari partai Republik maupun Demokrat).
Adanya,
kedekatan hubungan antara pimpinan Enron dan petinggi-petinggi pemerintahan,
menjadi indikasi dan petunjuk yang jelas adanya perilaku menyimpang kelompok
elit. Oleh karenanya, dalam kejahatan korporasi, tidak hanya pelaku-pelakunya
(pengurus perusahaan) yang didakwa dan dipidana, melain juga perusahaannya
(korporasi/badan hukum).[3]
Kasus
pada Enron ini sebenarnya sudah diperingatkan oleh lembaga internasional PBB
tentang akan munculnya kejahatan model baru dalam bisnis yang bersumber dari
kolusi antara korporasi sebagai pemegang kuasa ekonomi (economic power) dengan pemegang kuasa birokrasi (political power).[4]
Penyalahgunaan kuasa (abuse of power)
ini dilakukan oleh birokrasi pemerintah bersama dengan perusahaan bisnis besar,
yang mempunyai kuasa ekonomi untuk mempengaruhi kebijakan pemerintah.
Model-model perilaku penyimpangan elit (alite
deviance) ini dalam banyak fakta di Indonesia seringkali terjadi dan tidak
banyak diketahui, padahal pengaruhnya terhadap ekonomi dan kesejahteraan rakyat
sangat besar, hal ini terbukti dari adanya krisis ekonomi di tahun 1998 yang
pernah dialami Indonesia.
Dari
kasus Enron ini, dapat diambil beberapa pelajaran. Pertama: Bagaimanapun rapinya sebuah persekongkolan jahat, cepat
atau lambat pasti akan terungkap. Dalam sebuah sistem yang terbuka seperti
manajemen organisasi Enron, sulit untuk melakukan manipulasi secara
terus-menerus. Kedua, skandal dan
kejahatan ekonomi tingkat tinggi selalu berdampak luas dan mengorbankan
kepentingan orang banyak. Konspirasi segelintir elit korporasi dan penguasa
untuk menikmati dana haram, dengan memanfaatkan pengetahuan dan kewenangan yang
dimiliki telah mengelabui masyarakat awam. Skandal Enron telah mendatangkan
nestapa pada banyak, pekerja, pemegang saham, pemasok, kreditor dan pihak-pihak
lain. Ketiga, terungkapnya praktik
kejahatan kerah putih pada kasus Enron, menunjukkan bahwa praktik bisnis yang
bersih dan transparan akan lebih menjamin keberlanjutan.
Keempat,
pentingnya perusahaan untuk menerapkan prinsip-prinsip tata kelola perusahaan
yang baik (good corporate governance/GCG)
meskipun dalam kondisi perusahaan kurang baik, hal ini penting untuk
menghindari terjadinya manipulasi yang melibatkan elit perusahaan. Bisnis harus
dikelola secara transparan, fair, akuntabel, dengan tetap mengedepankan tanggung
jawab sosial dan keseimbangan lingkungan hidup.
Skandal
Enron memperlihatkan dengan jelas adanya perubahan wajah pelaku kejahatan yang
tidak lazim dalam pemikiran Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Sebagaimana dinyatakan oleh Suntherland, bahwa kejahatan kerah putih digerakkan
oleh para manajemen/pimpinan perusahaan yang melakukan perbuatan-perbuatan yang
merugikan masyarakat, untuk keuntungan perusahaan yang dipimpinnya.
Diterbitkannya Sarbanes-Oxley Act (SOA)
2002 yang menjadi payung hukum untuk
melindungi whitle-blower, menjadi
langkah yang strategis untuk mengungkap kejahatan-kejahatan korporasi yang
selama ini tersembunyi. [5] Dalam
hal ini Indonesia pantas untuk meniru perlindungan terhadap white-blower dalam mengungkap kejahatan
ekonomi khususnya. Apapun tujuannya baik untuk mengungkap kejahatan hukum harus
melindungi, bukan nya dalam beberapa kasus yang mengungkap kejahatan malah
dijadikan tersangka.
2. Kasus
Subprime Mortgage
Kejahatan
kerah putih (white collar crime/WCC) yang nampak dari kasus subprime mortgage atau kredit hipoteik
adalah adanya sifat immoral dan egois yang tinggi dari petinggi dunia
bisnis dan para spekulan yang menyalahgunakan kebijakan pemerintahan Presiden
George W. Bush dalam memberikan kemudahan kepemilikan rumah bagi rakyatnya.
Kejahatan
ekonomi dalam kasus subprime mortgage
ini terjadi, ketika harga rumah meningkat, spekulan dan institusi lembaga
keuangan pun ikut bermain. Terlebih lagi persyaratan kredit diperlunak tanpa
memperhatikan prinsip kehati-hatian yang seharusnya menjadi pedoman petinggi
perbankan. Dalam hal ini, FBI menduga banyak juga terjadi mortgage fraud dalam pembuatan surat-surat berharga, sehingga pada
gilirannya merugikan para investor. Kemungkinan penipuan ini juga terjadi
melalui mortgage financing companies
seperti pada perusahaan Fannie Mae dan Freddy Mac sebagai perusahaan kredit
perumahan terbesar di AS. Selain itu, juga terjadi aksi memperjualbelikan
surat-surat berharga, yang tidak menaati aturan-aturan yang berlaku di dunia
perbankan. Semua tindakan tersebut hanya mungkin dilakukan oleh orang yang
memiliki kedudukan tinggi, pengetahuan dan keterampilan tinggi serta memiliki
kewenangan karena jabatannya di perusahaan.
Sedangkan
Corporate Elite Deviance dalam kasus
ini terjadi dari persekongkolan elit bisnis dan pemerintah untuk memperoleh
keuntungan dengan memanfaatkan kekuasaan ekonomi di dunia perbankan. Dalam hal
ini para pelaku utamanya (kelompok elit) tidak merasa bersalah, bahkan meminta
dana talangan pemerintah. Dengan kata lain di sini juga telah terjadi moral hazard, suatu kondisi yang
bersumber dari sikap mental seseorang yang sifatnya negatif dan disengaja untuk
menimbulkan potensi kerugian bagi pihak lain, dan menguntungkan dirinya.
Selanjutnya,
keconcangan ekonomi yang tidak terduga terjadi yang menimbulkan krisis di pasar
finansial sebagai akibat rontok nya pasar kredit hipotik di Amerika Serikat
saat itu, dan ini berdampak luas ke berbagai belahan dunia dan turut
mempengaruhi target pertumbuhan ekonomi Negara-negara lain, termasuk Indonesia.
Ada
beberapa pelajaran yang diambil dari kasus Subprime Mortgages ini:
Pertama, ada
sifat tamak dan rakus dari pelaku bisnis dan juga lembaga perbankan yang tidak
mengindahkan etika dan prinsip-prinsip bisnis yang baik dan hati-hati. Dimana
jaminan-jaminan hipotek rumah (house
mortgages) oleh dunia perbankan telah dikemas menjadi surat berharga baru
yang dijual ke lembaga-lembaga keuangan dan kemudian diperdagangkan sebagai
investasi dan dibeli oleh berbagai perusahaan yang memiliki uang lebih dengan
tujuan untuk mendapatkan keuntungan
lebih, padahal kalaupun ada benefit semua bersumber dari debitor kredit
kepemilikan rumah masyarakat kelas bawah yang memiliki dana pas-pasan.
Kedua, motivasi
dari perilaku menyimpang kelompok elit perusahaan (corporate elite deviance) termasuk institusi lembaga keuangan tidak
semata-mata untuk kepentingan pribadi, melainkan untuk mencari keuntungan
organisasi perusahaan yang kemungkinan ditopang oleh kebijakan organisasi
melalui para pengurusnya. Dalam kasus Subprime
Mortgages, kebijakan pemerintah AS untuk memberikan kemudahan bagi
masyarakat dalam memiliki rumah tinggal, telah dimanfaatkan oleh pengelola bank
dengan memberikan KPR kepada orang-orang yang tidak layak. Kebijakan ceroboh
ini dalam dunia perbankan telah menyalahi prinsip kehati-hatian yang harus
dipegang teguh dalam penyaluran kredit bank.
Ketiga, adanya
sikap korporasi dan badan-badan peradilan yang tidak memandang
pelanggaran-pelanggaran oleh korporasi sebagai “kejahatan atau penjahat”.
Bahkan permisif terhadap perilaku untuk mengejar keuntungan sebanyak-banyaknya,
untuk memperoleh perizinan yang lebih cepat, dan penegakkan hukum yang lemah.
3. Kasus
Bernard L. Madoff
Kasus
Bernard L. Madoff model nya hampir sama
dengan Enron, yaitu membohongi dan menipu, tetapi dalam Kasus Bernard L. Madoff yang ditipu adalah orang-orang kaya AS
melalui apa yang dikenal dengan Ponzi
Scheme. Kejahatan korporasi model Bernard
Lawrence Madoff Investment Securities LLC, yang katanya sebagai lembaga
sekuritas, dapat dikategorikan sebagai kejahatan kerah putih (White Collar Crime/WCC).
Perilaku
menyimpang dari elit seperti Bernard L. Madoff ini pada dasarnya hanya untuk gali
lubang untuk tutup lubang” atau dikenal juga sebagai: “rampok si Abu untuk
membayar si Badu (rob Peter to pay Paul)”,
demikian kata Mardjono Reksodiputro.[6]
Para investor diiming-imingi mendapatkan keuntungan lebih besar dari pada
simpanan di lembaga perbankan dan lembaga keuangan normal lainnya. Nasabah
dibuai dengan tawaran untung tinggi walau hanya dinyatakan dalam laporan rutin.
Keuntungan itu tidak dibayarkan seluruhnya, bahkan nasabah dirangsang untuk
tidak melakukan penarikan dana, tetapi melakukan investasi dalam jangka
panjang.
Lalu
perusahaan membuat laporan seolah dana-dana itu ditanamkan di bursa saham Wall
Street. Badan Pengawas Pasar Modal AS (SEC) menyebutkan, Madoff melakukan
penipuan dengan memalsukan kop surat-surat SEC.
Berdasarkan
pengelompokkan WCC, skandal Madoff ini dapat dikelompokkan ke dalam WCC yang
bersifat individual, berskala besar dan dengan modus operandi yang kompleks dan
terorganisir karena semata-mata untuk meniputi klien bukan untuk menjalankan
bisnis secara formal. Pola ini biasanya tenggang waktu perencanaan yang lama
dan sistematis, menjalin kolusi dengan akuntan, penasihat hukum, penasihat
investasi atau ahli lainnya. Persekongkolan inilah yang menjadi indikasi adanya
elite deviance.
Model-model
penipuan dengan kedok menanamkan investasi ini sudah sering terjadi di
Indonesia yang berujung pada kerugian besar pada nasabah. Para pelaku kejahatan
kerah putih iniberprinsip bahwa untuk merampok uang tidak perlu lagi
menggunakan senjata tajam atau senjata api, memakai topeng dan membawa karung
untuk memasukan uang rampokan, cukup dengan pola seperti dengan skema Ponzi.
Melalui
skandal investasi bodong ala Madoff ini, ada beberapa yang bisa diambil
pelajaran, antara lain:
Pertama, pentingnya
kehati-hatian dari investor/nasabah dalam menanamkan saham atau model bisnis
investasi agar masyarakat tidak mudah tergiur investasi yang menjanjikan
keuntungan besar namun tidak jelas.
Ketiga, perlu
adanya pengawasan atau kontrol yang lebih ketat dari pemerintah atau otoritas
jasa keuangan (OJK) terhadap praktik-praktik bisnis model menanamkan investasi.
D.
Penutup
Apa yang diperingatkan oleh PBB tentang potensi munculnya
kejahatan wajah baru dalam dunia bisnis, kini terbukti. Bahkan di negara
Amerika Serikat yang menerapkan standar ketat terhadap undang-undang dan etika
bisnis, masih sering terjadi seperti dalam kasus Enron, Subprime Mortgages dan
lain-lain.
Kemunculan bentuk kejahatan wajah baru yang tak lazim dalam
pemikiran KUHP ini seringkali terjadi dalam bentuk kejahatan kerah putih (white collar crimes) yang merupakan
bagian dari kejahatan oleh organisasi (KKO). Selain itu ada juga kejahatan
terorganisir (KTO) yang sama-sama berbahayanya bagi ekonomi suatu negara dan
masyarakat.
Bentuk (dimensi) baru kejahatan seperti yang diingatkan PBB
sejak tahun 1975 tersebut pada dasarnya bersumber pada kolusi antara pemegang
kuasa politik atau birokrasi dengan pemegang kuasa ekonomi. Penyalahgunaan
kuasa-kuasa ini dengan perusahaan bisnis besar dapat mempengaruhi kebijakan
pemerintah. Apabila perusahaan-perusahaan ini tidak memperhatikan etika bisnis
yang baik, m aka dengan mudah mereka akan melakukan praktek bisnis curang, dan
menganggap perilaku praktek melawan hukum ini oleh mereka sebagai perilaku yang
wajar. Oleh karena itu, sebagai penegakan hukum, subjek hukumnya tidak saja
pada orangnya (pengurus organisasi) akan tetapi korporasi sebagai badan yang
menggerakkan kejahatan bisnis curang harus dipidana. Karena, kalau pengurusnya
dipidana, sedangkan institusi bisnis atau perusahaannya tetap jalan dengan
kejahatannya, maka akan sama saja. Oleh karena itu, keduanya-duanya baik
pengurus maupun korporasi nya harus menjadi subjek hukum dalam penegakan hukum,
sehingga diharapkan akan menimbulkan efek jera dan korporasi akan bertindak
hati-hati dalam mengankat pimpinannya.
Oleh karena itu, disarankan pada aparat penegak hukum dan
Pemerintah khususnya untuk tidak mengabaikan terhadap bahayanya dari
praktek-praktek bisnis curang seperti yang banyak dilakukan selama ini oleh
kaum elit baik melalui kolusi, manipulasi maupun membohongi publik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar